jpnn.com, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam putusannya berkesimpulan Hakim Konstitusi Arsul Sani tidak terbukti melakukan perbuatan yang diduga melanggar etik yang dikaitkan dengan pemalsuan dokumen atau dengan sengaja menggunakan dokumen, in casu ijazah pendidikan doktoral, palsu dalam memenuhi syarat sebagai hakim.
Terkait hal itu, pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, menilai putusan MKMK semestinya menjadi rujukan penting dalam menilai proses hukum lain yang berjalan.
BACA JUGA: Rekam Jejak Arsul Sani, dari Aktivis hingga Hakim MK
MKMK, kata dia, telah memeriksa dugaan pelanggaran etik dan menyimpulkan tidak adanya pelanggaran.
“Yang diperiksa oleh MKMK terkait dugaan etik dan MKMK berkeyakinan tidak ada pelanggaran etika. Sehingga sebenarnya, MKMK meyakini bahwa proses gelar S3 yang diperoleh Pak Arsul itu benar, sehingga tidak ada pelanggaran etika,” ujar Denny saat dikonfirmasi, Senin (15/12).
BACA JUGA: MKMK Pastikan Arsul Sani Tak Lakukan Pemalsuan Ijazah
Menurut dia, meski MKMK tidak masuk ke ranah pidana karena berada di luar kewenangannya, secara logika hukum putusan etik tersebut memiliki konsekuensi.
Jika tidak ditemukan pelanggaran etika, maka seharusnya tidak ada unsur pemalsuan dokumen.
BACA JUGA: Dituduh Ijazah Palsu, Hakim Konstitusi Arsul Sani Tunjukkan Bukti Studi S3 di Polandia
“Secara logika, konsisten mestinya kalau tidak ada pelanggaran etika, tidak terjadi pemalsuan dokumen. Tapi MKMK memang tidak masuk ke sana karena bukan ranah mereka,” jelasnya.
Denny menambahkan, proses pidana memang terpisah dari mekanisme etik di MKMK.
Namun, ia menilai akan menjadi problematik apabila proses pemidanaan berjalan tidak sejalan dengan putusan MKMK.
“Menjadi problematik kalau kemudian proses pidananya tidak sesuai dengan putusan MKMK. Karena kalau MKMK mengatakan tidak ada pelanggaran etika, harusnya berarti juga pemidanaannya tidak terjadi,” ucapnya.
Meski demikian, Denny menegaskan bahwa MKMK tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara pidana, sehingga jalur hukum tersebut tetap berada di tangan aparat penegak hukum.
“Lagi-lagi, proses pemidanaannya memang bukan kewenangan MKMK untuk memutuskan,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif



