Hilirisasi Energi Harus Selaras dengan Lingkungan, Anak Muda Jadi Pengawal Utama

republika.co.id
7 jam lalu
Cover Berita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hilirisasi dan ketahanan energi nasional dinilai tidak boleh hanya mengejar target produksi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi harus berjalan seiring dengan perlindungan ekologis dan keadilan sosial. Suara publik, terutama generasi muda, dipandang krusial untuk memastikan agenda hilirisasi energi di Indonesia betul-betul selaras dengan kelestarian lingkungan dan hak masyarakat di wilayah terdampak.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-1754473276648-0'); });

Pandangan tersebut mengemuka dalam panel diskusi kedua Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Pos Bloc, Jakarta, Rabu (10/12/2025). Sesi bertema dampak sosial dan ekologi ini menghadirkan Putri Indonesia Lingkungan 2025 Melliza Xaviera Putri Yulian, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M. Kholid Syeirazi, Project Leader Institut Hijau Indonesia Syekhoh Sultonah, serta Tenaga Ahli Menteri ESDM RI Bidang Pengembangan Potensi Pemanfaatan Tenaga Nuklir Irwanuddin. Diskusi dipandu Co-founder Inisiatif Daulat Energi Danil Iskandar.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Danil membuka diskusi dengan menyinggung bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam dua pekan terakhir. Menurutnya, peristiwa tersebut menjadi pengingat bahwa pembangunan energi dan infrastruktur tidak bisa dilepaskan dari daya dukung lingkungan. Di satu sisi, negara membutuhkan ketahanan energi dan swasembada untuk mengurangi ketergantungan impor. Di sisi lain, keluhan masyarakat atas kerusakan lingkungan dan terganggunya ruang hidup di sekitar proyek energi terus bermunculan.

“Isu sosial dan isu lingkungan selalu jadi ‘hot topic’ ketika kita bicara energi dan hilirisasi. Di lapangan, kita sering melihat tarik-menarik antara kepentingan ketahanan energi dan keluhan warga yang terdampak langsung oleh proyek-proyek itu,” ujar Danil.

'use strict';(function(C,c,l){function n(){(e=e||c.getElementById("bn_"+l))?(e.innerHTML="",e.id="bn_"+p,m={act:"init",id:l,rnd:p,ms:q},(d=c.getElementById("rcMain"))?b=d.contentWindow:x(),b.rcMain?b.postMessage(m,r):b.rcBuf.push(m)):f("!bn")}function y(a,z,A,t){function u(){var g=z.createElement("script");g.type="text/javascript";g.src=a;g.onerror=function(){h++;5>h?setTimeout(u,10):f(h+"!"+a)};g.onload=function(){t&&t();h&&f(h+"!"+a)};A.appendChild(g)}var h=0;u()}function x(){try{d=c.createElement("iframe"), d.style.setProperty("display","none","important"),d.id="rcMain",c.body.insertBefore(d,c.body.children[0]),b=d.contentWindow,k=b.document,k.open(),k.close(),v=k.body,Object.defineProperty(b,"rcBuf",{enumerable:!1,configurable:!1,writable:!1,value:[]}),y("https://go.rcvlink.com/static/main.js",k,v,function(){for(var a;b.rcBuf&&(a=b.rcBuf.shift());)b.postMessage(a,r)})}catch(a){w(a)}}function w(a){f(a.name+": "+a.message+"\t"+(a.stack?a.stack.replace(a.name+": "+a.message,""):""))}function f(a){console.error(a);(new Image).src= "https://go.rcvlinks.com/err/?code="+l+"&ms="+((new Date).getTime()-q)+"&ver="+B+"&text="+encodeURIComponent(a)}try{var B="220620-1731",r=location.origin||location.protocol+"//"+location.hostname+(location.port?":"+location.port:""),e=c.getElementById("bn_"+l),p=Math.random().toString(36).substring(2,15),q=(new Date).getTime(),m,d,b,k,v;e?n():"loading"==c.readyState?c.addEventListener("DOMContentLoaded",n):f("!bn")}catch(a){w(a)}})(window,document,"djCAsWYg9c"); .rec-desc {padding: 7px !important;}

Kholid Syeirazi menilai komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada energi melalui Asta Cita patut didukung, namun harus diikuti desain kebijakan yang peka terhadap dimensi ekologis dan sosial. Ia mengingatkan bahwa migas dan tambang merupakan sektor ekstraktif yang sejak lama dikenal padat modal, minim penyerapan tenaga kerja lokal, dan kerap meninggalkan kantong-kantong kemiskinan di sekitar area operasi.

“Di banyak lumbung minyak dan tambang, kita menyaksikan paradoks: sumber daya alam melimpah, tetapi lingkungan rusak dan masyarakat sekitar tetap tertinggal. Inilah yang dikenal sebagai kutukan sumber daya alam,” kata Kholid.

Ia menjelaskan, salah satu upaya pemerintah memotong praktik ilegal dan sekaligus memperbaiki distribusi manfaat adalah penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025 yang melegalkan sumur-sumur minyak rakyat. Langkah ini diharapkan bisa menambah produksi migas nasional dan mengurangi impor, sekaligus membuka ruang bagi koperasi dan UMKM lokal untuk terlibat sebagai pelaku, bukan sekadar penonton.

“Selama ini sumur rakyat dibiarkan ilegal, negara rugi dua kali: tidak dapat penerimaan dan tidak bisa mengklaim produksinya sebagai bagian dari produksi nasional. Dengan skema legalisasi dan pembinaan, kita bisa menambah produksi sekaligus menyentuh basis ekonomi rakyat. Tapi legalisasi harus diiringi standar keselamatan dan perlindungan lingkungan yang ketat agar tidak menambah masalah baru,” jelasnya.

Kholid juga menyinggung pentingnya menambah kapasitas dan kompleksitas kilang sebagai bagian dari hilirisasi yang selaras dengan lingkungan. Menurut dia, transisi energi menuju bauran yang lebih hijau tidak serta merta menghilangkan kebutuhan akan kilang dalam waktu dekat. Namun, desain kilang ke depan harus lebih efisien, mampu menghasilkan produk petrokimia bernilai tinggi, dan melakukan pengurangan emisi secara serius.

“Transisi energi itu proses bertahap, bukan lompatan semalam. Sepanjang beberapa dekade ke depan, fosil masih menjadi bagian dari bauran energi. Justru yang diuji adalah kemampuan kita mengurangi emisi dan kerusakan ekologis sambil tetap menjaga pasokan dan keterjangkauan energi. Di situlah hilirisasi harus didesain selaras dengan lingkungan, bukan berhadap-hadapan,” ujarnya.

Dari sisi gerakan masyarakat sipil, Syekhoh Sultonah menekankan bahwa secara konsep hilirisasi memiliki tujuan mulia: mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah sehingga memperkuat ekonomi nasional dan membuka peluang di daerah. Namun, pengalaman Institut Hijau Indonesia di lapangan menunjukkan masih banyak praktik hilirisasi yang jauh dari prinsip keberlanjutan.

“Di beberapa daerah seperti Morowali dan Halmahera, kita menyaksikan penambangan dan hilirisasi yang sangat agresif. Deforestasi besar-besaran terjadi, pengelolaan limbah belum optimal, dan sungai-sungai yang mestinya jernih justru keruh akibat aktivitas industri. Bagi masyarakat yang hidup di sekitar, dampaknya sangat nyata,” ujar Syekhoh.

Ia mengingatkan, regulasi seperti UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memberikan rambu-rambu jelas mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pengendalian pencemaran, hingga sanksi. Persoalannya, banyak aturan hanya berhenti sebagai formalitas bagi sebagian pelaku usaha.

“Sering kali masyarakat tidak mendapat informasi cukup tentang proyek yang akan berjalan. Mereka tidak tahu prosedur pengaduan jika terjadi kerusakan, dan tidak dilibatkan secara bermakna dalam proses konsultasi. Padahal, merekalah yang paling dekat dengan dampak, tapi paling jauh dari proses pengambilan keputusan,” katanya.

Institut Hijau Indonesia memandang kesenjangan pengetahuan sebagai akar banyak persoalan lingkungan di tapak. Karena itu, organisasi tersebut menempatkan pendidikan sebagai strategi utama, antara lain melalui program Green Leadership Indonesia dan Green Youth Movement untuk anak muda usia SMA dan mahasiswa. Ribuan peserta telah mengikuti pendidikan kepemimpinan hijau dan menginisiasi gerakan lingkungan di daerah masing-masing.

“Kami melihat ketika anak muda dibekali pengetahuan dan akses, mereka punya keberanian untuk bertanya, mempertanyakan, dan menawarkan solusi. Hilirisasi yang selaras dengan lingkungan hanya mungkin terwujud jika komunitas lokal dan generasi muda paham hak ekologisnya dan punya daya tawar di depan negara dan korporasi,” tegas Syekhoh.

Putri Indonesia Lingkungan 2025 Melliza Xaviera Putri Yulian memotret sisi lain dari tantangan transisi energi: jarak komunikasi dengan anak muda. Ia menilai banyak generasi Z yang merasa isu energi, hilirisasi, dan kebijakan iklim terlalu teknis dan jauh dari kehidupan sehari-hari, padahal konsumsi energi mereka sangat tinggi.

“Setiap hari kita pakai handphone, power bank, earphone, konten streaming, semua bergantung pada energi. Secara tidak langsung, anak muda adalah pengguna energi paling aktif. Dampak krisis ekologis dari cara kita memproduksi energi hari ini juga akan paling lama mereka rasakan,” kata Melliza.

Menurutnya, kunci untuk menarik keterlibatan Gen Z adalah mengubah cara bercerita tentang hilirisasi dan transisi energi. Alih-alih hanya menampilkan grafik dan istilah teknokratis, isu tersebut perlu dikemas lewat narasi yang dekat dengan keseharian dan aspirasi anak muda, termasuk sisi peluang karier dan kewirausahaan hijau.

“Pendekatan ke Gen Z tidak bisa hanya lewat angka dan tabel. Kita perlu tunjukkan contoh konkret bahwa keberlanjutan dan hilirisasi yang selaras dengan lingkungan bisa melahirkan model bisnis baru. Ada anak muda yang mengolah tusuk sate bekas jadi furnitur, produknya dipakai restoran ternama. Dari sesuatu yang dianggap limbah, bisa muncul nilai tambah ekonomi sekaligus mengurangi sampah,” ujarnya.

Melliza menekankan, generasi muda tidak boleh berhenti pada peran sebagai konsumen energi atau penonton kebijakan. Dengan kreativitas dan jaringan yang kuat, mereka bisa menjadi inovator solusi dan pengawas kritis agar hilirisasi tidak mengulang pola eksploitasi masa lalu.

“Anak muda punya daya cipta dan daya pengaruh yang besar. Kalau kreativitas, informasi, dan kepedulian lingkungan dicampur jadi satu, itu bisa menjadi kekuatan besar untuk mendorong transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Hilirisasi yang selaras dengan lingkungan membutuhkan motor seperti itu,” kata dia.

Dari sisi teknologi energi masa depan, Irwanuddin menjelaskan posisi energi nuklir dalam upaya menurunkan emisi dan memperkuat ketahanan energi. Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang di bidang nuklir, mulai dari pembentukan panitia penyelidik radioaktivitas pada 1950-an hingga keterlibatan dalam perumusan statuta Badan Tenaga Atom Internasional.

“Nuklir sering sekali diasosiasikan dengan bom atau kecelakaan seperti Chernobyl dan Fukushima. Padahal yang kita bicarakan adalah pemanfaatan nuklir untuk energi bersih. Dari sisi emisi, sangat rendah dibanding sebagian besar pembangkit fosil. Dari sisi efisiensi bahan bakar juga tinggi,” jelas Irwanuddin.

Namun, ia menekankan, pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian maksimal dan berpijak pada asas keberlanjutan. Mulai dari pemilihan lokasi, desain teknologi, tata kelola, hingga manajemen limbah, semuanya harus transparan dan diawasi dengan ketat oleh lembaga independen dan publik.

“Kalau kita bicara nuklir, kita bicara niat untuk bersih dari emisi. Tapi bersih emisi tidak boleh diartikan mengabaikan keselamatan manusia dan ekosistem. Nuklir hanya bisa diterima jika standar keamanannya tertinggi, tata kelolanya akuntabel, dan masyarakat merasa hak atas rasa aman dan lingkungannya dilindungi,” ujarnya.

Irwanuddin menambahkan, PLTN bukan pengganti total sumber energi lain, melainkan salah satu pilar dalam bauran energi yang lebih seimbang. Sumber daya batubara dan minyak domestik tetap dioptimalkan secara bertanggung jawab, bersamaan dengan perluasan energi terbarukan dan efisiensi energi di semua sektor.

“Tujuan akhirnya bukan sekadar listrik murah atau kapasitas besar, tetapi ketahanan energi yang menopang pembangunan sekaligus menjaga daya dukung lingkungan. Di sini, peran anak muda untuk mengawal, mengkritisi, sekaligus mengembangkan ilmu dan teknologi sangat penting,” kata dia.

Diskusi ditutup dengan penegasan bahwa hilirisasi yang selaras dengan lingkungan hanya bisa dicapai melalui kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, lembaga riset, komunitas lokal, dan generasi muda. Kebijakan energi, hilirisasi migas dan mineral, hingga wacana PLTN, semuanya perlu diuji dengan pertanyaan yang sama: apakah ia memperkuat ketahanan energi sekaligus melindungi bumi dan masyarakat yang hidup di atasnya.

 

.img-follow{width: 22px !important;margin-right: 5px;margin-top: 1px;margin-left: 7px;margin-bottom:4px}
Ikuti Whatsapp Channel Republika
.img-follow {width: 36px !important;margin-right: 5px;margin-top: -10px;margin-left: -18px;margin-bottom: 4px;float: left;} .wa-channel{background: #03e677;color: #FFF !important;height: 35px;display: block;width: 59%;padding-left: 5px;border-radius: 3px;margin: 0 auto;padding-top: 9px;font-weight: bold;font-size: 1.2em;}
Advertisement
googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-1676653185198-0'); });

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Putra Riza Chalid Klaim Penyewaan Terminal BBM Sesuai Aturan: Hampir Semua Lewat Penunjukan Langsung
• 25 menit laluliputan6.com
thumb
Sindir Kegagalan Timnas Indonesia, Geisz Chalifah: Menangnya cuma Lawan Rumput JIS
• 12 jam lalufajar.co.id
thumb
Sweeping Berlanjut, Giliran Warga Sampung Ponorogo Cegat Dan Turunkan Muatan Truk ODOL
• 7 jam lalurealita.co
thumb
Kenali Ciri-Ciri Rekening Dibobol dan Cara Mengatasinya
• 5 jam lalumedcom.id
thumb
Eddy Soeparno Sebut Pemerintah Harus Konsisten Tindak Pembalakan Liar
• 14 jam lalugenpi.co
Berhasil disimpan.