Makassar (ANTARA) - Ombak kecil di area Dermaga Maccini Baji, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) saat matahari terbit di ufuk Timur, bergerak lincah mengiringi perahu kayu menuju Pulau Sabutung.
Perahu yang dikenal dengan nama Jolloro yang memuat 10 - 20 orang itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Dermaga Maccini Baji.
Selain Jolloro, juga terdapat kapal Ferry sebagai bagian aktivitas tol laut yang melayani penumpang dua kali sehari ke pulau tersebut.
Para pegawai negeri sipil yang berprofesi sebagai guru, perawat, dokter, pegawai kelurahan dan kecamatan, berada di antara penumpang dengan tujuan serupa ke pulau yang dihuni sekitar 1.453 jiwa dengan luas daratan 272.167 meter persegi.
Pulau Sabutung merupakan pulau kecil yang berada di gugusan kepulauan Spermonde perairan selat Makassar menjadi pionir bagi pulau-pulau kecil lainnya, karena penghuninya sudah mulai melakukan inovasi dan beradaptasi dengan lingkungannya meski dengan kondisi keterbatasan.
Tim Advokasi dan Pengorganisasian Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YPM), Nurhayati, selaku pendamping masyarakat pada 2020 bersama Tim Dinas, tapimenjadi awal tonggak kesadaran itu terbangun.
Salah satu tonggak itu adalah dengan terbentuknya Sekolah Perempuan yang menjadi lentera penuntun para perempuan pesisir untuk lebih percaya diri menyuarakan aspirasi dan menjadi garda terdepan dalam beradaptasi dengan perubahan iklim yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Hal itu diakui Ketua Sekolah Perempuan di Pulau Sabutung, Sabariah (42). Menurut perempuan yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 5 Sekolah Dasar ini, keberadaan Sekolah Perempuan telah membangun kepercayaan diri perempuan di pulau untuk berani berbicara di publik.
Kesetaraan gender dalam berpendapat dan menyampaikan aspirasi sudah menjadi pandangan umum di Pulau Sabutung.
Sangat berbeda jauh dengan 10 tahun lalu, ketika perempuan hanya di belakang layar menyiapkan konsumsi saat Musrembang.
Selain kemampuan berpendapat di depan umum, para perempuan juga sudah mampu bekerja tim dan bahu-membahu menyikapi persoalan yang terjadi di sekitarnya.
Sebagai gambaran, untuk menghalau ombak besar dan ancaman abrasi, perempuan-perempuan tangguh di Pulau Sabutung ini, membuat tanggul dari karung-karung berisi pasir, sementara para suami melaut mencari ikan atau kepiting.
Kemandirian perempuan pesisir tidak diragukan lagi, mulai dari mengurus anak dan sekolahnya, mencegah terpaan ombak besar yang kerap masuk menggenangi dapur rumah mereka, dan membantu mengedukasi masyarakat terkait dampak perubahan iklim.
Sahariah Daeng Kerra (41) telah membuktikan dengan status orang tua tunggal setelah ditinggal wafat oleh suami. Ia berupaya bangkit dari sisi psikologis dan ekonomi.
Dengan modal seadanya, ia membuka warung kelontong dan memproduksi ikan asin. Perempuan bersahaja ini mampu menyekolahkan ketiga anaknya, bahkan seorang diantaranya sudah menyandang gelar sarjana.
Menurut dia, pencapaian tersebut tidak terlepas dari bimbingan Sekolah Perempuan yang mengedukasi perempuan pesisir agar mampu bertahan dan berjuang di tengah krisis dan serba kekurangan. Termasuk lahirnya pemberdayaan masyarakat yang mampu menghasilkan kerajinan tangan berupa miniatur perahu Pinisi, pernak-pernik unik dan alat-alat dapur dari limbah yang dipungut di bibir pulau.
Ketua Pemberdayaan Perempuan Pulau
Sabutung, Sitti Salehah Daeng Singara, mengaku, kerajinan tangan kelompok perempuan di pulau wilayah Pangkep sudah banyak dijual ke daratan dan juga dibeli pengunjung yang datang berlibur.
Dari hasil menjual souvenir maupun ikan asin yang dikembangkan oleh isteri nelayan tersebut, setidaknya dapat menyambung asap dapur dan biaya anak sekolah
Baca juga: Kisah perempuan visioner pencegah pernikahan anak dari Pulau Sabutung
Rakom SP Siporennu
Rakom Suara Perempuan Sipurannu, sebuah radio komunitas yang diperuntukkan untuk kalangan tertentu, menjadi wadah menyuarakan informasi yang dibutuhkan masyarakat nelayan, khususnya yang berdomisili di Pulau Sabutung dan sekitarnya di Kepulauan Pangkep.
Dengan bilik siar sederhana yang mengandalkan empat penyiar dari perempuan di pulau tersebut, informasi menyasar untuk kalangan anak-anak, ibu rumah tangga dan nelayan yang berada di radius sekitar 2,5 kilometer dengan daya pancar maksimum 50 watt.
Rakom Suara Perempuan Sipurannu fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal, meskipun kini bisa diperluas melalui siaran online (streaming) untuk menjangkau pendengar lebih luas. Aturan ini diatur oleh pemerintah (Kominfo) untuk memastikan radio komunitas melayani komunitasnya secara spesifik, bukan komersial.
Fitri, salah seorang penyiar menyebutkan informasi sederhana tentang membangun ekonomi keluarga, mengajak anak-anak nelayan memperhatikan kebersihan tangan sebelum makan, hingga memberikan informasi kondisi cuaca sebagai perpanjangan tangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi tugas keseharian penyiar tersebut.
Kerelaan bekerja ikhlas dan senang berbagi informasi adalah modal utama menjadi penyiar di Rakom SP Sipurannu.
Hal itu dibenarkan penyiar lainnya, Kharismah.
Dia mengatakan, keberadaan Rakom pada awal COVID -19 pada 2020, sangat berperan penting, khususnya dalam mengedukasi siswa di wilayah pesisir. Pasalnya tidak sedikit guru sekolah jenjang SD hingga SMA menyampaikan pelajarannya melalui Rakom.
Setelah masa pandemi berlalu, peran Rakom mulai bergerak pada isu gender, kesehatan reproduksi, pencegahan pernikahan anak, serta dampak perubahan iklim dan tips untuk bertahan.
Tak sedikit petugas penyuluh khusus diberi waktu untuk memberikan edukasi pada masyarakat pesisir melalui sistem tanya jawab melalui Rakom SP Sipurannu
Khusus mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, Rakom inipun tampil memberikan informasi kepada masyarakat pesisir dengan mengenali ancaman cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan dampak kehidupan pesisir.
Rakom yang menjadi penguat Sekolah Perempuan di Pulau Sabutung, Kabupaten Pangkep, telah menempatkan lembaga ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat perempuan memetakan persoalan, berdialog, dan mencari solusi bersama.
Aktivitas seperti itu yang awalnya menjadi percontohan, kini telah menularkan pada sembilan pulau lainnya yakni Pulau Kulambing, Satando, Layya, Saugi, Sabangko, Sagara, Sakuala, Bangko-bangkoang dan Sapuli.
Di setiap pulau, kelompok perempuan nelayan berkumpul dalam kelas bulanan forum diskusi dan aksi komunitas yang turut melibatkan pemerintahan desa.
Selain membantu melakukan pemetaan risiko bencana, mencatat kasus perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap rumah tangga, mereka juga membantu memantau layanan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan kesehatan ibu dan anak.
Kolaborasi Rakom dan Sekolah Perempuan di lapangan ini telah menjadi alat perubahan sosial melalui literasi, informasi kesiapsiagaan bencana, dan diskusi ringan antara perempuan muda tentang mimpi-mimpi mereka.
Mencermati kemajuan yang digerakkan oleh perempuan nelayan di Pulau Sabutung, wajar jika pulau kecil di gugusan kepulauan Spermonde ini menjadi contoh bagi pulau-pulau lainnya, sekaligus menjadi inspirasi bagi warga pesisir lainnya secara nasional
Perahu yang dikenal dengan nama Jolloro yang memuat 10 - 20 orang itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Dermaga Maccini Baji.
Selain Jolloro, juga terdapat kapal Ferry sebagai bagian aktivitas tol laut yang melayani penumpang dua kali sehari ke pulau tersebut.
Para pegawai negeri sipil yang berprofesi sebagai guru, perawat, dokter, pegawai kelurahan dan kecamatan, berada di antara penumpang dengan tujuan serupa ke pulau yang dihuni sekitar 1.453 jiwa dengan luas daratan 272.167 meter persegi.
Pulau Sabutung merupakan pulau kecil yang berada di gugusan kepulauan Spermonde perairan selat Makassar menjadi pionir bagi pulau-pulau kecil lainnya, karena penghuninya sudah mulai melakukan inovasi dan beradaptasi dengan lingkungannya meski dengan kondisi keterbatasan.
Tim Advokasi dan Pengorganisasian Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YPM), Nurhayati, selaku pendamping masyarakat pada 2020 bersama Tim Dinas, tapimenjadi awal tonggak kesadaran itu terbangun.
Salah satu tonggak itu adalah dengan terbentuknya Sekolah Perempuan yang menjadi lentera penuntun para perempuan pesisir untuk lebih percaya diri menyuarakan aspirasi dan menjadi garda terdepan dalam beradaptasi dengan perubahan iklim yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Hal itu diakui Ketua Sekolah Perempuan di Pulau Sabutung, Sabariah (42). Menurut perempuan yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 5 Sekolah Dasar ini, keberadaan Sekolah Perempuan telah membangun kepercayaan diri perempuan di pulau untuk berani berbicara di publik.
Kesetaraan gender dalam berpendapat dan menyampaikan aspirasi sudah menjadi pandangan umum di Pulau Sabutung.
Sangat berbeda jauh dengan 10 tahun lalu, ketika perempuan hanya di belakang layar menyiapkan konsumsi saat Musrembang.
Selain kemampuan berpendapat di depan umum, para perempuan juga sudah mampu bekerja tim dan bahu-membahu menyikapi persoalan yang terjadi di sekitarnya.
Sebagai gambaran, untuk menghalau ombak besar dan ancaman abrasi, perempuan-perempuan tangguh di Pulau Sabutung ini, membuat tanggul dari karung-karung berisi pasir, sementara para suami melaut mencari ikan atau kepiting.
Kemandirian perempuan pesisir tidak diragukan lagi, mulai dari mengurus anak dan sekolahnya, mencegah terpaan ombak besar yang kerap masuk menggenangi dapur rumah mereka, dan membantu mengedukasi masyarakat terkait dampak perubahan iklim.
Sahariah Daeng Kerra (41) telah membuktikan dengan status orang tua tunggal setelah ditinggal wafat oleh suami. Ia berupaya bangkit dari sisi psikologis dan ekonomi.
Dengan modal seadanya, ia membuka warung kelontong dan memproduksi ikan asin. Perempuan bersahaja ini mampu menyekolahkan ketiga anaknya, bahkan seorang diantaranya sudah menyandang gelar sarjana.
Menurut dia, pencapaian tersebut tidak terlepas dari bimbingan Sekolah Perempuan yang mengedukasi perempuan pesisir agar mampu bertahan dan berjuang di tengah krisis dan serba kekurangan. Termasuk lahirnya pemberdayaan masyarakat yang mampu menghasilkan kerajinan tangan berupa miniatur perahu Pinisi, pernak-pernik unik dan alat-alat dapur dari limbah yang dipungut di bibir pulau.
Ketua Pemberdayaan Perempuan Pulau
Sabutung, Sitti Salehah Daeng Singara, mengaku, kerajinan tangan kelompok perempuan di pulau wilayah Pangkep sudah banyak dijual ke daratan dan juga dibeli pengunjung yang datang berlibur.
Dari hasil menjual souvenir maupun ikan asin yang dikembangkan oleh isteri nelayan tersebut, setidaknya dapat menyambung asap dapur dan biaya anak sekolah
Baca juga: Kisah perempuan visioner pencegah pernikahan anak dari Pulau Sabutung
Rakom SP Siporennu
Rakom Suara Perempuan Sipurannu, sebuah radio komunitas yang diperuntukkan untuk kalangan tertentu, menjadi wadah menyuarakan informasi yang dibutuhkan masyarakat nelayan, khususnya yang berdomisili di Pulau Sabutung dan sekitarnya di Kepulauan Pangkep.
Dengan bilik siar sederhana yang mengandalkan empat penyiar dari perempuan di pulau tersebut, informasi menyasar untuk kalangan anak-anak, ibu rumah tangga dan nelayan yang berada di radius sekitar 2,5 kilometer dengan daya pancar maksimum 50 watt.
Rakom Suara Perempuan Sipurannu fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal, meskipun kini bisa diperluas melalui siaran online (streaming) untuk menjangkau pendengar lebih luas. Aturan ini diatur oleh pemerintah (Kominfo) untuk memastikan radio komunitas melayani komunitasnya secara spesifik, bukan komersial.
Fitri, salah seorang penyiar menyebutkan informasi sederhana tentang membangun ekonomi keluarga, mengajak anak-anak nelayan memperhatikan kebersihan tangan sebelum makan, hingga memberikan informasi kondisi cuaca sebagai perpanjangan tangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi tugas keseharian penyiar tersebut.
Kerelaan bekerja ikhlas dan senang berbagi informasi adalah modal utama menjadi penyiar di Rakom SP Sipurannu.
Hal itu dibenarkan penyiar lainnya, Kharismah.
Dia mengatakan, keberadaan Rakom pada awal COVID -19 pada 2020, sangat berperan penting, khususnya dalam mengedukasi siswa di wilayah pesisir. Pasalnya tidak sedikit guru sekolah jenjang SD hingga SMA menyampaikan pelajarannya melalui Rakom.
Setelah masa pandemi berlalu, peran Rakom mulai bergerak pada isu gender, kesehatan reproduksi, pencegahan pernikahan anak, serta dampak perubahan iklim dan tips untuk bertahan.
Tak sedikit petugas penyuluh khusus diberi waktu untuk memberikan edukasi pada masyarakat pesisir melalui sistem tanya jawab melalui Rakom SP Sipurannu
Khusus mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, Rakom inipun tampil memberikan informasi kepada masyarakat pesisir dengan mengenali ancaman cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan dampak kehidupan pesisir.
Rakom yang menjadi penguat Sekolah Perempuan di Pulau Sabutung, Kabupaten Pangkep, telah menempatkan lembaga ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat perempuan memetakan persoalan, berdialog, dan mencari solusi bersama.
Aktivitas seperti itu yang awalnya menjadi percontohan, kini telah menularkan pada sembilan pulau lainnya yakni Pulau Kulambing, Satando, Layya, Saugi, Sabangko, Sagara, Sakuala, Bangko-bangkoang dan Sapuli.
Di setiap pulau, kelompok perempuan nelayan berkumpul dalam kelas bulanan forum diskusi dan aksi komunitas yang turut melibatkan pemerintahan desa.
Selain membantu melakukan pemetaan risiko bencana, mencatat kasus perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap rumah tangga, mereka juga membantu memantau layanan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan kesehatan ibu dan anak.
Kolaborasi Rakom dan Sekolah Perempuan di lapangan ini telah menjadi alat perubahan sosial melalui literasi, informasi kesiapsiagaan bencana, dan diskusi ringan antara perempuan muda tentang mimpi-mimpi mereka.
Mencermati kemajuan yang digerakkan oleh perempuan nelayan di Pulau Sabutung, wajar jika pulau kecil di gugusan kepulauan Spermonde ini menjadi contoh bagi pulau-pulau lainnya, sekaligus menjadi inspirasi bagi warga pesisir lainnya secara nasional



