Kendati terdapat faktor anomali cuaca akibat siklon Senyar, kerusakan lingkungan akibat ekspansi industri agrikultur dan industri ekstraktif yang menghancurkan hutan membuat dampak dari siklon tersebut menjadi lebih masif dibandingkan dengan yang semestinya.
Tak ayal, bencana di ketiga provinsi tersebut menjadi alarm keras perlunya ada upaya reoreintasi dalam pembangunan di Indonesia.
Bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menorah duka mendalam bagi Indonesia. Data mencapat sudah lebih dari seribu orang meninggal dunia, 200 lebih lainnya hilang, dan di atas 1 juta orang kehilangan tempat tinggalnya akibat bencana tersebut.
Dengan jumlah korban yang kemungkinan besar akan terus bertambah seiring berjalannya proses evakuasi dan pemulihan, bencana di Sumatera menjadi bencana terbesar sepanjang tahun ini.
Bencana hidrometerologi yang terjadi di penghujung November lalu ini dipantik oleh anomali cuaca akibat munculnya siklon Senyar. Di satu sisi, kemunculan siklon yang tidak wajar ini membuat bencana tersebut sulit untuk diprediksi dan dimitigasi sebelumnya.
Namun di sisi lain, sejumlah pihak melihat, kerusakan ekologis yang telah terjadi sebelumnya membuat bencana ini menjadi lebih mematikan. Menurut mereka, apabila faktor kerusakan lingkungan tidak ada, dampak dari siklon Senyar bisa teredam oleh padatnya vegetasi di kawasan kini terdampak.
Kerusakan lingkungan di wilayah yang kini terdampak bencana ini bukan omong kosong belaka. Hasil penelusuran Tim Jurnalisme Data Kompas menunjukkan, luas hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, selama 30 tahun terakhir menyusut sebesar lebih dari 1,9 juta ha. Artinya, jika dirata-rata, terjadi pengerusakan terhadap hampir 100 ha hutan tiap harinya dalam periode waktu tersebut.
Ditelaah lebih dalam, dari hampir 2 juta hutan yang raib tersebut, hampir 700 ribu ha disulap menjadi kawasan hutan sawit dan tambang. Sedangkan, 9.000 ha lainnya berubah menjadi wilayah perkotaan.
Tidak hanya itu, dari hasil pemetaan tim Jurnalisme Data Kompas, sebagian besar dari wilayah kebun kelapa sawit yang sebelumnya berupa hutan di Aceh dan Sumatera Utrara menjadi titik-titik terjadinya bencana hidrometeorologis akibat siklon Senyar.
Lapisan data antara alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan pemetaan titik bencana ini menjadi bukti kongkret bahwa pembangunan tanpa adanya perspektif ekologis akan sangat beresiko menimbulkan bencana.
Dalam sejarah pembangunan Indonesia, proyek-proyek serampangan termasuk penggundulan dan alih fungsi kawasan hutan kerap kali memunculkan konflik dan eksklusi sosial.
Tak jarang juga komunitas lokal kehilangan akses terhadap tanah dan sumber penghidupan akibat prioritas yang diberikan pada proyek investasi besar.
Hal ini selaras dengan apa yang terjadi di Sumatera di mana aktivitas ekonomi yang berlebihan menyebabkan bencana mematikan untuk rakyat.
Pola ini konsisten dengan diagnosis David Harvey tentang accumulation by dispossession, yakni alih kekayaan dan hak dari komunitas ke korporasi melalui instrumen hukum, kebijakan dan dalam beberapa kasus, kekerasan negara.
Adanya akumulasi tidak sehat dari elite ekonomi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat konstitusi. Setelah adanya amandemen UUD 1945 pada 2002, terdapat perubahan penting di Pasal 33.
Dalam pasal tersebut, tepatnya pada ayat (4) dan (5), masuk sejumlah istilah baru seperti “efisiensi berkeadilan”, “berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.
Artinya, pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia yang diatur oleh negara seharusnya patuh dengan asas-asas tersebut.
Sayangnya, mandat konstitusi ini hanya berhenti di kertas saja, tepatnya pada kata “efisiensi” . Bahkan, ketidaktaatan terhadap mandat konstitusi ini pun dilakukan juga oleh aktor negara. Salah satunya terlihat dari berbagai persoalan yang muncul dari proyek Proyek Strategis Nasional (PSN).
PSN di bawah pemerintahan Joko Widodo ditopang oleh serangkaian kebijakan relaksasi regulasi, pemberian insentif khusus bagi investor, serta penyederhanaan prosedur perizinan dan pengadaan tanah, yang keseluruhannya dibingkai sebagai implementasi prinsip efisiensi dan percepatan pembangunan.
PSN menjadi alat utama untuk menggenjot pembangunan melalui skema pembiayaan “kreatif”, termasuk kerja sama pemerintah – swasta dan konsesi jangka panjang atas lahan dan sumber daya alam.
Dengan rumusan “efisiensi berkeadilan” yang tidak dijabarkan secara tegas, tafsir yang dilakukan oleh pemerintah cenderung mengedepankan aspek efisiensi dalam arti ekonomi neoliberal.
Hal ini dimaksudkan penggunaan sumber daya secara biaya minimal untuk hasil maksimal, diukur dengan indikator investasi, cost–benefit dan daya saing. Sementara keadilan diartikan sempit atau dikesampingkan sebagai hasil yang baru akan nampak pada jangka waktu yang panjang.
Pembelotan dari titah konstitusi ini terbukti menimbulkan persoalan kemanusiaan yang serius. Data dari Komnas HAM menunjukkan, hingga 2023, terdapat lebih dari seratus aduan dugaan pelanggaran HAM terkait dengan PSN. Jika dilihat dari sejumlah kasus, persoalan utama dari PSN ini adalah konflik agraria dan pelanggaran HAM.
Pada akhirnya, bencana hebat yang terjadi di Sumatera ini perlu menjadi momen reflektif bagi pemerintah untuk benar-benar memikirkan ulang orientasi pembangunan Indonesia ke depan.
Selain bertentangan dengan konstitusi, apa yang terjadi di Sumatera ini menunjukkan bahwa menafikan aspek ekologi dan sosial dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan akan meninggalkan “hutang” yang akan ditagih di masa mendatang. Ketika hutang tersebut ditagih, masyarakat lah yang harus membayar dengan harga yang paling mahal.
Serial Artikel
Bencana dan Utang Pembangunan
Banjir Bali-NTT adalah alarm nasional. Pembangunan yang mengabaikan lingkungan adalah utang yang selalu ditagih alam—dengan nyawa dan kerugian besar.




