OECD, ”Biro Jodoh” Mencari Mitra

kompas.id
8 jam lalu
Cover Berita

Perkembangan terakhir perang dagang global menunjukkan tren ke arah game of coalition yang merupakan kerja sama antarpemain atau cooperative game yang berbeda dari persaingan antarpelaku atau noncooperative game (Hara, 2022). Permainan besar ini sudah tidak lagi berpusat pada dua pemain utama, China-AS, melainkan sudah menjalar ke beberapa blok regional seperti ASEAN, Uni Eropa (EU) dan lainnya.

Secara perlahan strategi kompetisi antara China dan AS mulai terbaca. Tidak hanya produk akhir, keduanya juga menyasar rantai tengah dan hulu seperti semi-konduktor dan akses ke mineral langka. Tarik menarik pun terjadi, gencatan sangsi berlanjut dengan sangsi berbalas sangsi seperti permainan ‘petak umpet,’ yang akhirnya merembat ke negara lain.

Yang terkini adalah negosiasi perdagangan yang juga digunakan negara adidaya yang sedang berseteru tersebut untuk mengajak negara-negara lain untuk masuk lebih jauh ke lingkaran pengaruhnya. Tujuannya adalah mengisolasi lawannya dari rantai pasok dunia.

Dengan pertimbangan bahwa konflik kepentingan ini akan berlangsung lama, China dan AS masing-masing mendiversifikasikan risiko dengan mencari ‘sekutu’ atau mitra koalisi di berbagai forum internasional. Bagi AS dan China, fungsi forum atau organisasi internasional berfungsi sebagai pengganti mekanisme pasar perdagangan internasional dalam buku teks ilmu ekonomi dasar.

Negara-negara lainpun menirunya. Dalam bahasa teori permainan, setiap negara mempunyai fungsi obyektif sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Setiap negara dapat mengamati perilaku (reaction function) negara lainnya dan mempersiapkan strategi mitigasinya. Akibatnya fungsi forum internasional sudah bergeser lebih ke arah ‘biro jodoh’ (matchmaker), mencari potensi mitra kerjasama bilateral. 

Suatu kesepakatan bilateral antar dua negara dalam forum multilateral dapat digunakan sebagai daya tawar atau deterent bagi potensi kesepakatan dengan calon mitra baik anggota lain maupun nonanggota. Ini juga yang membatasi suatu negara untuk tidak menuntut yang berlebihan kepada negara lain karena akan mendorong calon mitra berpaling ke negara pesaingnya. Hasilnya adalah suatu keseimbangan berdasarkan diplomasi atau negosiasi tawar-menawar ala Nash bargaining model (Binmore et.al [1986]) sebagai pengganti keseimbangan mekanisme pasar.

Ilustrasi terkini adalah KTT ASEAN di Kuala Lumpur akhir Oktober 2025. Presiden Xi berkunjung ke Malaysia, Vietnam, dan Kamboja di pertengahan April 2025 untuk menegaskan komitmennya terhadap rantai pasoknya di Asia Tenggara. Presiden AS Trump mengemulasinya dengan turut hadir menyaksikan penandatanganan kesepakatan damai antara Kamboja dan Thailand atas konflik perbatasannya.

Sebagai tuan rumah, Malaysia memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya (host effect), untuk mereduksi tarif resiprokal AS, dari 25 persen ke 19 persen, dengan exemption alias nol persen untuk 1.711 produk termasuk cokelat, CPO, dan karet (Hannany dan Priambodo, IDNF Oktober [2026]).

Dalam situasi eksalasi ketegangan geopolitik di mana terjadi pergeseran rantai pasok global, klub atau koalisi strategis seperti OECD (Organization for Economic, Eooperation, and Development) merupakan platform mencari mitra kerjasama perdagangan, investasi, mobilitas SDM dan pasar ekspor yang baru. Dari singkatannya, OECD terselip kata kolaborasi.

Sudah dapat diduga bahwa menjadi anggota perkumpulan mempunyai manfaat (club effect). Di antaranya adalah memperbesar peluang kerjasama dengan negara lain baik anggota maupun nonanggota melalui peningkatan reputasi secara bertahap.

Konsekuensinya, keanggotaan klub seperti ini tidak otomatis karena faktor geografis negara seperti ASEAN atau komoditas tertentu seperti OPEC. Keanggotan OECD merujuk pada kemampuan anggota menjaga reputasi dan kredibilitas.

Dalam konteks perubahan iklim global, salah satu tema yang sedang bergaung adalah alam harus dirawat untuk dapat memakmurkan bangsa dan negara, bukan sekadar hanya diekploitasi. Indonesia dapat memanfatkannya untuk mengangkat reputasinya, dalam konteks infinitely repeated reputational game (Neral dan Ochs [1992]) yang diinterpretasikan sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Situasi di atas mirip dengan yang dihadapi Indonesia pada 1945 menjelang berakhirnya Perang Dunia II ketika tata dunia baru sedang dalam pembentukan meninggalkan aliansi lama. Belajar dari timbul dan tenggelamnya aliansi dunia, para founding fathers Republik Indonesia dalam suasana kebatinan seperti ini telah mempunyai visi jauh ke depan.

Sejarah konflik antar kekuatan adidaya yang berulang membuat mereka mempersiapkan strategi adaptif bagi Indonesia untuk masa depan. Strateginya adalah dengan mengadopsi politik luar negeri bebas dan aktif yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945.

Mereka memahami pentingnya bagi suatu negara untuk bergabung dalam koalisi strategis ala Gerakan Non-Blok untuk tidak terseret ke blok tertentu dalam konflik global. Langkah ini dengan kesadaran bahwa Indonesia tetap mempertahankan kebebasan memilih dan bertindak untuk kepentingan negara dan bangsa.

Kalimat bijak mengatakan, sejarah akan berulang. Kedatangan petinggi OECD ke Indonesia pekan lalu merupakan kelanjutan proses aksesi yang sudah dimulai pada 2024. Ini adalah strategi adaptif menghadapi eskalasi ketegangan geopolitik dengan menjadi anggota koalisi strategis. Untuk dapat menjadi anggota klub harus melewati proses ‘akreditisasi’ untuk memenuhi prasyarat tertentu.

Indonesia sudah memulai proses aksesi OECD sejak 2024, sebelum disrupsi perang dagang global yang dipicu kebijakan tarif Trump. Prosesnya dimulai dari penyerahan peta jalan menuju aksesi OECD dengan menyerahkan Initial Memorandum (IM) pada awal Juni 2025. Ada beberapa poin yang harus dipenuhi, yaitu penguatan tata kelola pemerintahan, sinergi antar lembaga pemerintah, sinkronisasi regulasi, dan komitmen anti suap.

Termasuk juga didalamnya adalah komitmen merawat dan pertukaran pengetahuan lingkungan. Ini misalnya hal yang berkaitan dengan perubahan iklim, efek pemanasan rumah kaca, hilangnya keragaman hayati, energi hijau, prilaku bisnis yang bertanggung jawab (responsible business conduct atau RBC) dan lainnya (OECD-FAO, Business Handbook on Deforestation, OECD [2023]).

Bagi Indonesia yang sedang melakukan pemulihan paska bencana di Sumatera, club effect ini sangat relevan. Ini menjadikan IM sebagai buah dari ‘pena bermata dua’. Di satu sisi, menjanjikan reputasi. Di sisi lain, perlu kesungguhan mengimplementasikan apa yang sudah menjadi komitmen sehingga terjadi perbaikan terus menerus.

Jika ini tidak terealisasi maka akan terjadi credibility gap yang justru akan mengganggu reputasi yang sedang dibangun. Dengan demikian keanggotaan dalam klub seperti OECD berperan sebagai patok ukur (benchmark) sekaligus mitra tanding (sparring partner) untuk perbaikan tata kelola secara berkelanjutan.    


Ari Kuncoro, Guru Besar FEB Universitas Indonesia


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Satgas PKH Kantongi Nama Perusahaan 'Biang Kerok' Kerusakan Hutan Sumatra
• 18 jam lalubisnis.com
thumb
6 Polisi Jadi Tersangka Buntut Kasus Mata Elang, Warganet: Giliran Kerja Benar Ditangkap, Maunya Pimpinan Seperti Apa?
• 22 jam lalufajar.co.id
thumb
Pramono Dorong Percepatan Renovasi Pasar Induk Kramat Jati Pascakebakaran
• 4 jam laluokezone.com
thumb
IHSG Ditutup Melemah, Dipicu Tekanan Eksternal dan Rotasi Saham
• 21 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
KKGI Tebar Dividen Interim Rp82,84 Miliar Pertengahan Januari 2026
• 22 jam laluidxchannel.com
Berhasil disimpan.