Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
- Sampai di mana proses perundingan tarif AS-RI?
- Dari mana muncul kabar perundingan terancam batal?
- Bagaimana duduk perkara tarif AS-RI?
- Apa kompleksitas perundingan bagi Indonesia?
- Apa dampaknya bagi ekonomi nasional jika perundingan gagal?
- Jika perundingan batal, apa dampaknya bagi industri furnitur domestik?
- Bagaimana dengan industri ban?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (12/12/2025), mengatakan, pemerintah telah berkomunikasi langsung dengan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) terkait kelanjutan perundingan tarif antara Indonesia dan AS. Pembahasan itu dilakukan bersama Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer.
Airlangga menegaskan, perjanjian tarif resiprokal Indonesia-AS akan terus dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan awal kedua negara. Pemerintah menargetkan seluruh hasil pembahasan tersebut dapat dituangkan ke dalam dokumen resmi sebelum akhir tahun ini.
”Harapannya, sampai dengan akhir tahun ini, apa yang sudah diperjanjikan oleh kedua pemimpin, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump, bisa dituangkan dalam draft agreement,” ujar Airlangga di Jakarta.
Menurut Airlangga, hasil diskusi terbaru antara Indonesia dan AS menunjukkan perkembangan yang positif. Ia menyebut Indonesia menjadi negara ketiga yang telah mencapai kesepakatan dengan kebijakan tarif AS.
Airlangga juga membantah kabar yang menyebutkan kesepakatan tarif Indonesia-AS terancam gagal akibat Pemerintah Indonesia menarik kembali sejumlah komitmen yang telah disepakati pada Juli 2025. Ia menegaskan, isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan Indonesia.
”Itu perjanjian yang bukan dengan Indonesia, jadi berbeda. Itu akan kita finalkan minggu depan,” kata Airlangga tanpa merinci lebih lanjut.
Airlangga mengatakan, dirinya bersama tim delegasi Indonesia akan bertolak ke AS pada pekan depan untuk menyelesaikan proses finalisasi dokumen kerja sama tersebut. Kunjungan itu ditujukan untuk merampungkan proses legal drafting.
Proses penyusunan dokumen hukum ditargetkan selesai pada Desember 2025, sesuai dengan joint statement yang telah disepakati kedua negara pada 22 Juli 2025. Kesepakatan tersebut diharapkan menjadi payung hukum baru bagi hubungan dagang Indonesia dan AS ke depan.
Financial Times dan Reuters pada Rabu (10/12/2025) melaporkan, kesepakatan dagang RI–AS yang dicapai pada Juli 2025 berisiko batal. Washington disebut frustrasi karena menilai Jakarta memperlambat dan mengingkari komitmen penurunan bea masuk ekspor Indonesia ke AS.
Salah satu sumber yang dikutip Financial Times menyatakan, Indonesia meminta renegosiasi atas komitmen awal yang telah disepakati.
Menurut laporan tersebut, Amerika Serikat menilai Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah memberi persetujuan atas komitmen Juli 2025, tetapi kemudian mempertimbangkan ulang setelah muncul penolakan di dalam negeri.
Utusan Dagang AS, Jamieson Greer, disebut berupaya kembali membuka komunikasi dengan Airlangga untuk menyelamatkan kesepakatan, dengan perundingan dijadwalkan berlangsung pekan ini.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent sempat menyebut Indonesia sebagai ”anak bandel” terkait implementasi kesepakatan dagang, tanpa menjelaskan lebih jauh maksud pernyataannya. Di sisi lain, Malaysia dipandang lebih kooperatif karena bersedia menghapus sejumlah bea masuk impor komoditas dari AS.
Sejumlah pihak di AS memperkirakan Indonesia berpotensi dikenai tarif lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, atau Kamboja. Pada April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Indonesia dikenai bea masuk impor sebesar 32 persen. Setelah perundingan Juli 2025, tarif tersebut turun menjadi 19 persen.
Pada Juli 2025, AS-RI menyepakati kerangka kerja untuk perjanjian perdagangan resiprokal atau timbal balik. Kerangka kerja itu tidak hanya mencakup sektor perdagangan barang, tetapi juga sektor investasi, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, ekonomi digital, dan keamanan ekonomi.
Pemerintah AS sepakat akan menurunkan tarif BMI komoditas RI ke AS. Sementara itu, Jakarta akan menghapuskan BMI bagi 99 persen komoditas AS ke Indonesia. Penghapusan berlaku untuk komoditas pertanian; kesehatan; perikanan, termasuk produk olahan hasil laut, teknologi informasi dan komunikasi; otomotif; dan bahan kimia.
Indonesia juga akan membebaskan kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk aneka ekspor AS ke Indonesia. RI akan menerima sertifikasi AS untuk produk pangan, obat, otomotif, farmasi, alat kesehatan, dan kosmetika. Produk-produk itu tidak perlu lagi mengurus sertifikasi, termasuk kehalalan, di Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga berjanji mengetatkan aturan soal asal-usul barang untuk memastikan tidak ada ekspor ulang komoditas negara dari lain dari RI ke AS. Klausul ini diduga untuk produk China.
Di sisi lain, Pemerintah AS meminta Indonesia menghapus hambatan perdagangan digital serta mendukung moratorium permanen bea masuk atas transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) segera dan tanpa syarat.
RI diminta menyetujui pemindahan data pribadi warganya ke peladen di AS. Trump juga menyatakan keberatan pada penggunaan QRIS dan meminta kebijakan khusus perluasan penggunaan Visa dan Mastercard. Permintaan lain tentu saja impor besar-besaran produk AS ke Indonesia mulai pesawat hingga produk pertanian AS.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Riandy Laksono, menilai, struktur proteksi perdagangan Indonesia sangat bergantung pada kebijakan nontarif (NTM).
NTM merupakan kebijakan selain tarif bea masuk yang diterapkan pemerintah untuk mengatur, membatasi, atau mengawasi arus perdagangan internasional suatu barang dan jasa. Berbeda dengan tarif yang berupa pungutan pajak, NTM bekerja melalui aturan, standar, dan persyaratan administratif.
”Titik masalahnya ada pada negosiasi regulasi NTM, termasuk produk digital. Tarif impor Indonesia untuk produk AS sebenarnya sudah relatif rendah,” kata Riandy.
Ia menjelaskan, dokumen USTR berulang kali kali menyoroti rezim nontarif Indonesia yang dinilai terlalu menyeluruh. Hambatan tersebut mencakup mayoritas pos tarif, mulai dari perizinan impor produk pertanian, kuota impor, hingga kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Menurut Riandy, kebergantungan Indonesia pada kebijakan nontarif membedakannya dengan Malaysia dan Kamboja yang telah lebih dahulu mencapai kesepakatan dengan AS. Kedua negara tersebut memiliki ruang negosiasi lebih luas karena tidak terlalu mengandalkan NTM sebagai instrumen proteksi industri.
”Kita ini negara ASEAN dengan NTM paling exhaustive. Terlalu banyak yang harus diubah jika ingin memenuhi standar Amerika Serikat,” ujarnya.
Riandy menambahkan, tuntutan penghapusan NTM memiliki konsekuensi teknis dan politis yang berat. Reformasi regulasi nontarif sulit diterapkan hanya untuk satu mitra dagang karena umumnya berlaku universal.
”Satu kali regulasi nontarif direformasi, itu harus berlaku untuk semua mitra dagang. Risikonya, negara lain menjadi free rider, menikmati relaksasi pasar tanpa memberi insentif tambahan kepada Indonesia,” katanya.
Kondisi tersebut membuat posisi tawar Indonesia menjadi terjepit. Manfaat yang diperoleh dari kesepakatan dengan AS belum sebanding dengan biaya perubahan kebijakan yang harus ditanggung.
Pengajar Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai, pemerintah perlu melakukan langkah maksimal agar risiko batalnya kesepakatan tarif resiprokal tersebut tidak menjadi kenyataan. Menurut dia, dampak ekonomi akan signifikan jika tarif ekspor Indonesia ke AS kembali ke level 32 persen.
Wijayanto mengatakan, AS memiliki posisi strategis dalam perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor nasional dan hampir 50 persen dari total surplus perdagangan Indonesia.
”Selain penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, surplus tersebut juga menjadi sumber aliran devisa yang krusial. Apalagi, neraca pembayaran kita memburuk dalam beberapa waktu terakhir,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika Indonesia menghadapi tarif 32 persen sementara negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina menikmati tarif sekitar 20 persen, risiko trade diversion dan investment diversion akan sangat besar.
”Ekonomi kita bisa sangat terpukul. Perhitungan awal saya, pertumbuhan ekonomi berpotensi tergerus 0,1 persen hingga 0,2 persen,” kata Wijayanto.
Selain pertumbuhan ekonomi, tekanan juga diperkirakan akan terjadi pada nilai tukar rupiah. ”Dalam satu tahun ini rupiah sudah melemah terhadap 84,5 persen mata uang dunia,” ujarnya.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengatakan, industri furnitur domestik akan terpukul jika produk Indonesia dikenai tarif hingga 32 persen. Belum lagi, produk Indonesia akan dikenakan tarif tambahan yang mengacu pada Section 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962 untuk produk berbasis kayu.
Jika skenario itu terjadi, daya saing produk Indonesia di pasar AS akan anjlok. Dalam kondisi biaya logistik dan material global yang masih tinggi, tarif tambahan membuat harga furnitur Indonesia semakin kalah bersaing dengan produk dari Vietnam, Malaysia, Meksiko, dan Kanada.
”AS adalah pasar furnitur nomor satu di dunia. Jika tarif tinggi diberlakukan, eksportir menengah akan tertekan. Pemain besar mungkin melakukan reposisi pasar,” kata Sobur.
Kedua, potensi relokasi produksi ke negara ketiga dapat meningkat, seperti yang terjadi saat perang dagang AS–China. Perusahaan dapat memindahkan sebagian proses produksi ke negara yang bebas tarif.
Meski demikian, menurut Sobur, Indonesia tetap memiliki peluang melalui skema co-production, misalnya perakitan di negara mitra yang memiliki preferensi tarif lebih baik. Hilirisasi bahan baku domestik juga diyakini tetap berjalan karena kualitas kayu Indonesia diakui global.
Ketiga, tarif tinggi berpotensi menekan utilisasi pabrik dan arus kas pelaku usaha. Industri furnitur yang menyerap 2,1 juta tenaga kerja rentan mengalami kontraksi jika permintaan AS anjlok. ”Namun, ini bukan kondisi permanen. Perdagangan global selalu mencari titik keseimbangan baru,” ujarnya.
Sobur menegaskan, dinamika perjanjian perdagangan Indonesia-AS sekali lagi perlu menjadi momentum untuk mempercepat penguatan pasar domestik, perlindungan dari impor tidak adil, dan diversifikasi tujuan ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) sekaligus Ketua Dewan Karet Indonesia Aziz Pane mengatakan, potensi kegagalan perundingan dagang Indonesia–AS dapat membawa dampak besar bagi sektor karet olahan, terutama ban dan komponen otomotif berbahan karet. Ketidakpastian negosiasi yang dinilai berlarut-larut dikhawatirkan membuat Indonesia kehilangan momentum perdagangan yang adil dan setara.
Menurut Aziz, AS masih menjadi pasar yang sangat penting bagi industri karet nasional. Nilai belanja masyarakat yang tinggi serta posisi AS sebagai importir utama ban dan suku cadang karet membuat ketergantungan Indonesia terhadap pasar tersebut cukup besar.
”Amerika itu pasar besar bagi komoditas karet. Indonesia sudah lama menyuplai ban dan suku cadang karet ke sana. Jika perundingan dagang gagal, dampaknya sangat besar bagi industri yang iklim usahanya saja belum benar-benar membaik,” kata Aziz.
Menurut Aziz, proses negosiasi perdagangan Indonesia–AS berlangsung terlalu lama dan tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kondisi ini, katanya, bisa menjadi indikasi bahwa tidak ada upaya diplomasi yang cukup kuat sehingga peluang untuk memperoleh kesepakatan perdagangan yang lebih adil dan setara semakin mengecil.
”Ini perlu diplomasi tingkat tinggi. Presiden Prabowo harus bertemu dengan Presiden Trump secara khusus. Sampai sekarang belum pernah ada pertemuan langsung yang fokus untuk ini. Trump itu sosok yang sangat transaksional,” ujar Aziz.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5442614/original/027307500_1765547343-9.jpg)