Semarang semakin dikenal sebagai kota pesisir yang terus bergerak maju. Jalan-jalan dibuat lebih lebar, kawasan pelabuhan ditata ulang, dan gedung-gedung modern tumbuh di pusat kota. Namun hanya beberapa kilometer dari jantung kota, ada sebuah kampung yang seolah berjalan dengan ritme berbeda. Tambak Lorok. Di tempat inilah kehidupan nelayan Tambak Lorok membentuk dunia kecil tersendiri diapit kemajuan kota sekaligus bayang-bayang keterpinggiran.
Wilayah ini berada di Semarang Utara, menempel langsung dengan Pelabuhan Tanjung Emas. Setiap hari, truk-truk tronton berlalu-lalang menuju area pergudangan dan kapal kargo. Akses menuju kampung sering kali padat, bising, dan terasa terasingkan oleh aktivitas industri. Tidak sedikit orang yang bahkan tidak sadar bahwa di balik hiruk-pikuk logistik ini, ada sebuah komunitas yang sudah menempati pesisir sejak puluhan tahun lalu.
Ruang Hidup yang Bertumpu Pada Laut
Bagi masyarakat Tambak Lorok, laut bukan sekadar lanskap atau tempat mencari nafkah, tetapi bagian dari diri mereka. Pagi hari adalah waktu paling hidup: deretan kapal kecil bersandar membawa hasil tangkapan, sebagian dibersihkan di tepi pantai, sebagian langsung dibawa ke pasar. Suara mesin perahu, bau asin yang tajam, dan aktivitas ibu-ibu yang menjemur ikan asin menjadi rutinitas yang tetap melekat hingga hari ini.
Namun kehidupan di pesisir tidak pernah lepas dari tantangan. Abrasi, banjir rob, serta pengikisan tanah menjadi ancaman yang terus dihadapi warga. Pada masa ketika hutan mangrove banyak berkurang, genangan air bahkan terasa seperti bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dari Citra Kumuh ke Kampung Bahari
Dulu, Tambak Lorok identik dengan permukiman padat dan kumuh. Banyak rumah dibangun seadanya, tidak mengikuti tata ruang, dan sebagian berdiri sangat dekat dengan bibir pantai. Kombinasi antara pembangunan informal dan ancaman abrasi membuat kampung ini rentan secara fisik maupun sosial.
Perlahan kondisi itu mulai berubah. Pemerintah kota memberi perhatian lebih pada kawasan pesisir salah satunya lewat program kampung bahari. Apalagi setelah Semarang meraih Adipura, wilayah seperti Tambak Lorok mendapat dorongan untuk ditata ulang. Sejak masa pemerintahan Jokowi tahun 2014, akses jalan diperbaiki, beberapa rumah dibenahi, dan ruang publik kecil mulai muncul.
Saat memasuki pintu gerbang kampung bahari hari ini, suasana terasa berbeda. Rumah-rumah tampak lebih teratur, dan jalanan utama jauh lebih nyaman untuk dilewati. Tetapi semakin mendekati kawasan pantai, jejak lama Tambak Lorok masih terlihat jelas: permukiman padat, bau asin yang menyengat, dan beberapa fasilitas hasil pembangunan yang sudah rusak karena kurang perawatan. Kontras ini memperlihatkan bahwa pembangunan tidak selalu menyentuh seluruh lapisan secara merata.
Di Tengah Industri, Kehidupan Berjalan Berbeda
Keberadaan kawasan industri dan pelabuhan di sekitar Tambak Lorok menciptakan sebuah ironi. Di satu sisi, ribuan orang bekerja di pabrik dan gudang sekitar, menikmati stabilitas pekerjaan formal. Di sisi lain, warga Tambak Lorok masih bergantung pada laut dan tambak dengan segala ketidakpastiannya.
Namun perubahan perlahan terjadi. Banyak warga desa, terutama generasi muda, kini mencari penghidupan sebagai buruh pabrik atau pegawai logistik. Pergeseran ini membawa dampak besar dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan.
Seorang nelayan yang saya temui menyebut, “Anak-anak sekarang banyak yang kerja di pabrik. Hasilnya lebih tetap, tapi jadi jarang ikut turun ke laut.”
Pergeseran ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas. Bagi banyak keluarga, laut bukan sekadar pekerjaan, melainkan warisan dan kebanggaan. Ketika anak-anak meninggalkan profesi itu, muncul kekhawatiran bahwa nilai-nilai komunitas perlahan memudar.
Dinamika Sosial yang Muncul
Perubahan mata pencaharian dari sektor tradisional ke industri menghasilkan dinamika sosial baru di Tambak Lorok. Beberapa fenomena yang tampak antara lain:
1. Pergeseran peran dalam keluarga.
Dengan lebih banyak perempuan bekerja sebagai pegawai pabrik atau pedagang di sekitar kawasan industri, pembagian peran rumah tangga menjadi lebih fleksibel. Laki-laki yang tetap menjadi nelayan kadang harus menyesuaikan jadwal melaut agar bisa berbagi tugas rumah.
2. Meningkatnya mobilitas sosial.
Pendapatan tetap dari sektor industri membantu sebagian keluarga memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Namun ini juga menciptakan kesenjangan baru antara mereka yang bekerja di sektor formal dan mereka yang masih bergantung pada laut.
3. Perubahan pola interaksi sosial.
Jika dulu warga banyak berkumpul di dermaga atau pasar ikan, kini ritme harian semakin dipengaruhi jadwal shift pabrik. Ruang komunal seperti warung kopi tetap hidup, tetapi mengalami perubahan siapa saja yang mengisinya dan kapan mereka berkumpul.
4. Adaptasi terhadap lingkungan yang berubah.
Pembangunan infrastruktur kadang membawa dampak baik berupa akses jalan yang lebih layak, tetapi juga memunculkan tantangan seperti meningkatnya volume transportasi berat yang makin mengisolasi kampung dari pusat kota.
Kampung Nelayan yang Menjadi Saksi Perubahan Kota
Tambak Lorok bukan sekadar kampung pesisir. Ia adalah cerminan bagaimana masyarakat tradisional berusaha bertahan di tengah arus urbanisasi yang terus menghimpit. Kota Semarang berkembang cepat, tetapi perkembangan itu tidak dirasakan merata. Tambak Lorok menjadi simbol kawasan yang berada di antara pembangunan dan keterpinggiran.
Walaupun demikian, kampung ini tetap memiliki kekuatan: solidaritas sosial yang kuat, identitas nelayan yang masih terjaga, dan potensi ekonomi dari sektor perikanan yang terus hidup. Perahu-perahu yang merapat, pasar ikan yang ramai saat pagi, dan aroma ikan asin yang dijemur adalah bukti bahwa kampung ini punya daya hidup yang tidak dipadamkan oleh perkembangan kota.
Pertanyaan terbesar untuk Tambak Lorok bukan hanya bagaimana bertahan, tetapi bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Generasi muda mungkin tidak lagi melaut, tetapi mereka membawa pulang keterampilan baru dari dunia industri. Komunitas nelayan mungkin mengecil, tetapi nilai-nilai kebersamaan tetap menjadi fondasi kehidupan kampung.
Pembangunan sebagai desa wisata bahari menyisakan peluang dan tantangan. Dengan pengelolaan yang serius, Tambak Lorok bisa menjadi kampung pesisir yang tidak hanya hidup dari laut, tetapi juga dari wisata edukasi, kuliner laut, hingga pemberdayaan masyarakat pesisir. Namun tanpa perawatan berkelanjutan, pembangunan itu bisa menjadi proyek sesaat yang akhirnya kembali terbengkalai.
Tambak Lorok adalah kisah tentang ketahanan tentang warga yang terus berjuang mempertahankan identitasnya di tengah arus modernisasi kota. Dari kampung kumuh yang terpinggirkan hingga menjadi kampung bahari, perjalanan mereka mencerminkan dinamika sosial yang kompleks sekaligus menarik untuk dipahami.



