JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian Indonesia tetap tumbuh solid di kisaran 5 persen, tetapi kualitas lapangan kerja yang tercipta dipertanyakan. Laporan terbaru Bank Dunia bertajuk ”Indonesia Economic Prospect: Fondasi Digital untuk Pertumbuhan” mengungkapkan, kenaikan penyerapan tenaga kerja sepanjang setahun terakhir lebih banyak disumbang sektor berupah rendah dan informal, dengan kaum muda menjadi kelompok yang paling terdorong masuk ke pekerjaan bernilai tambah rendah.
Kondisi ini menjadi peringatan bahwa ketahanan ekonomi belum sepenuhnya sejalan dengan peningkatan kesejahteraan sekaligus menegaskan pentingnya agenda reformasi untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas.
Laporan ”Indonesia Economic Prospects: Fondasi Digital untuk Pertumbuhan” dirilis dan diumumkan oleh Bank Dunia pada Selasa (16/12/2025).
Dalam laporan itu, Bank Dunia secara jelas menyebut walaupun stabilitas makroekonomi Indonesia tetap terjaga, tantangan muncul dari pasar tenaga kerja yang berdampak terhadap kesejahteraan rumah tangga.
Perekonomian Indonesia tetap tangguh di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian. Produk domestik bruto (PDB) riil tumbuh 5 persen tahun ke tahun selama tiga triwulan pertama 2025. Capaian itu didorong oleh investasi yang kuat dan kontribusi ekspor komoditas.
Berdasarkan isi laporan, Wael Mansour, Senior Economist Bank Dunia, saat ditemui Kompas, Senin (15/12/2025), di Jakarta, mengatakan, meski inflasi meningkat sepanjang tahun, hal ini tetap berada dalam target Bank Indonesia. Kondisi yang tetap stabil atau cenderung stagnan ialah konsumsi rumah tangga dan swasta.
Kontribusi konsumsi swasta terhadap pertumbuhan sedikit menurun dari 54,8 persen dari PDB pada 2024 menjadi 53,3 persen terhadap PDB saat ini.
Untuk menyikapi situasi itu, pemerintah berupaya mendukung dengan memperkenalkan berbagai paket stimulus. Namun, efektivitas paket stimulus ini berhadapan dengan dua kenyataan. Pertama, fakta bahwa Indonesia memiliki pendapatan yang lemah sehingga pajak dan pendapatan lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya, yang berarti bahwa pengeluaran harus disesuaikan agar tetap sesuai dengan aturan defisit fiskal. Kedua, kenyataan bahwa Indonesia memiliki kekurangan anggaran pengeluaran pada beberapa program prioritas utama.
Selanjutnya, kebijakan moneter telah dilonggarkan dengan tujuan untuk merangsang kredit swasta dan merangsang permintaan. Misalnya, BI telah menurunkan suku bunganya sebesar 150 basis poin sepanjang tahun. Kementerian Keuangan telah memberikan suntikan likuiditas ke bank sebesar Rp 270 triliun.
Terlepas dari pelonggaran moneter dan suntikan likuiditas ini, Bank Dunia belum melihat kredit swasta di Indonesia mencapai target BI. Situasi ini diduga dipengaruhi oleh kondisi sejumlah perusahaan yang tidak memiliki cukup aktivitas ekonomi dan proyek untuk mengambil kredit tambahan ini.
”Itulah mengapa kami melihat pertumbuhan kredit untuk modal kerja di Indonesia tetap lemah. Mengapa demikian? Mengapa konsumsi stagnan dan permintaan agak lemah? Kami percaya ini terkait dengan hasil pasar tenaga kerja,” ujar Wael.
Sesuai isi laporan, dia menyebutkan, Bank Dunia melihat pengangguran di Indonesia telah turun. Penyerapan tenaga kerja di Indonesia naik 1,3 persen dari Agustus 2024 hingga Agustus 2025, tetapi lapangan pekerjaan yang tercipta untuk mereka cenderung datang dari sektor-sektor dengan nilai tambah rendah, seperti jasa bernilai tambah rendah dan pertanian.
Kaum muda yang memasuki dunia kerja sebagian besar dipekerjakan di sektor-sektor bernilai tambah rendah, sektor informal. Kondisi itu berdampak pada keterampilan dan pendapatan yang akan mereka peroleh di masa depan. Kondisi ini terlihat sejak usai pandemi Covid-19.
”Jadi itulah mengapa upah riil mengalami tren penurunan. Bahkan, upah riil sejak 2018 sudah turun,” katanya.
Di masyarakat muncul anggapan bahwa informalitas di kalangan pekerja usia muda disebabkan oleh teknologi kecerdasan buatan (AI). Wael mengatakan, AI, digitalisasi, dan otomatisasi itu penting. Ketiganya akan mengubah pasar tenaga kerja.
Meski Bank Dunia belum bisa memastikan seberapa besar perubahan di pasar kerja Indonesia karena otomasi dan AI belum begitu besar di Indonesia, Bank Dunia menyarankan, Indonesia harus mulai sekarang mempersiapkan tenaga kerja ke arah itu.
”Faktanya, sektor-sektor yang paling berkembang sekarang di Indonesia ialah sektor-sektor yang memiliki nilai tambah rendah atau sektor-sektor yang padat modal, pertambangan, hilir, yang tidak mempekerjakan manusia tetapi lebih banyak menggunakan modal,” tutur Wael.
Bank Dunia merekomendasikan beberapa hal, misalnya program pasar tenaga kerja aktif yang dapat membantu meningkatkan keterampilan kaum muda. Bank Dunia mengapresiasi salah satu upaya Pemerintah Indonesia, yaitu menyelenggarakan program magang untuk kaum muda.
Rekomendasi lainnya yaitu pemerintah Indonesia harus memiliki agenda yang mendorong penciptaan lapangan kerja lebih baik. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan merangsang permintaan dan konsumsi, tetapi lewat reformasi yang membantu bisnis berkembang.
”Yang dibutuhkan lebih banyak oleh Indonesia adalah reformasi di sisi penawaran ekonomi, reformasi yang meningkatkan produktivitas ekonomi dan meningkatkan kapasitas ekonomi. Dengan demikian, perusahaan dapat berinvestasi, mengembangkan bisnis mereka, dan mempekerjakan orang,” kata Wael.
Reformasi yang telah dimulai pemerintah Indonesia sebenarnya sudah ada. Sebagai contoh, agenda deregulasi, membuka investasi asing, meningkatkan persaingan dan daya saing dalam ekonomi, memperdalam bisnis, sektor keuangan, menangani masalah perizinan usaha, mempermudah perusahaan mengakses kredit untuk melakukan operasi.
”Semua reformasi ini sudah ada di Indonesia, tetapi perlu dipercepat. Mengapa? Karena masalahnya sebenarnya bukan apakah ekonomi membutuhkan stimulus, tetapi lebih tepatnya, apakah ekonomi menghasilkan lapangan kerja bagi kelas menengah?” tegas Wael.
Bangun fondasi
Menanggapi laporan Bank Dunia itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam, saat dihubungi Selasa (16/12/2025), di Jakarta, mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bersumber kepada konsumsi dan ekspor komoditas. Indonesia harus tumbuh lebih cepat dan berkualitas untuk optimalisasi periode emas demografi (bonus demografi).
Sebagai foundasi ekonomi ke depan sumber daya alam dan konsumsi sangat rapuh. Pemerintah Indonesia semestinya harus bangun fondasi ekonomi dari kegiatan yang bersifat kewirausahaan dan innovasi, serta manufaktur yang kuat.
Bob berpendapat juga, kebijakan pemerintah Indonesia di bidang peningkatan keterampilan masih kurang, terutama terkait langsung alokasi anggaran untuk isu itu. Program yang ada hanyalah peningkatan keterampilan bagi pencari kerja lewat Kartu Prakerja yang ternyata ilmu diajarkan relatif pragmatis. Kebijakan beasiswa perguruan tinggi pun cenderung berorientasi pada pekerja kerah putih.
”Universitas di Indonesia juga kurang update dengan perkembangan bisnis. Kolaborasi yang mereka lakukan dengan dunia usaha masih terbatas,” tutur Bob.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, secara terpisah, berpendapat, peningkatan produktivitas tenaga kerja dinilai belum signifikan dalam menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri. Gagasan program magang nasional dinilai positif, namun perlu percepatan agar benar-benar mampu menjembatani kebutuhan pasar kerja, terutama bagi anak muda.
”Tanpa akses ke lapangan kerja bernilai tambah tinggi, banyak anak muda akhirnya terserap ke sektor informal dengan kepastian kerja rendah. Akibatnya, mereka rentan menghadapi keputusasaan dan mobilitas sosial ekonomi mereka tertahan,” kata dia.
Sebelumnya, saat menghadiri Indonesia Productivity Summit (IPS), Jumat (12/12/2025), di Jakarta, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, pada 2026, Kemenaker akan fokus pada tiga agenda utama peningkatan produktivitas nasional. Pertama, penyiapan tenaga ahli produktivitas melalui program sertifikasi. Kedua, penguatan klinik produktivitas di balai-balai pelatihan kerja. Ketiga, operasionalisasi klinik produktivitas dengan fokus pada perusahaan skala menengah yang bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengakui isu utama yang kini menjadi perhatian banyak orang ialah penciptaan lapangan pekerjaan. Isu ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi global.
(*Embargo sampai jam 10.00 WIB ini)



