Oleh: Athirah Nur
Aktor dan Alumni Unhas
Benteng Rotterdam malam itu berubah menjadi sebuah ruang pengakuan. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada jarak antara penonton dan aktor, hanya ada panggung tapal kuda yang memberi ruang bagi suara-suara yang biasanya bergema di dalam kepala, suara rakyat biasa yang kewalahan dengan kehidupan di kota, suara tubuh perempuan yang terus bertahan atas pedihnya kehidupan, dan suara nurani yang mulai penat tetapi masih mendambakan kehidupan yang layak.
Makassar, 23 Oktober 2025 — Festival Kala Monolog 2025, resmi dibuka dengan mengusung tema Alè Lino, sebuah istilah dari kosmologi Bugis yang artinya Dunia Tengah. Tema ini terasa menawan karena tidak memilih kata-kata besar yang berlebihan, melainkan justru menunjuk pada dunia yang sungguh kita tempati: bukan surga, bukan neraka, bukan pula utopia atau ruang yang jauh, tetapi ruang keseharian tempat manusia benar-benar hidup.
Kala Monolog 2025 yang menjelma sebagai dunia tengah hadir sebagai ruang pertemuan berbagai suara yang beragam, kadang saling berbenturan, tetapi sering pula berjalan berdampingan. Malam pertama dibuka dengan dua monolog yang menjadi pintu masuk membaca dunia tengah itu: naskah Lubang karya Yessy Natalia yang dimainkan oleh Muh. Yusuf Rahim dan naskah Badut Kota karya Nirwana Aprianty diperankan oleh Wa Ode Siti Sabania. Menyajikan dua luka yang berlainan tetapi relevan untuk menggambarkan wajah kota.
Lubang: Jalan yang Tak Pernah Ditambal
Monolog Lubang dibuka dengan suasana hati yang gelisah. Di sebelah kiri panggung, sebuah kursi kayu dan meja berdiri sederhana, sementara di bagian tengah terdapat podium yang pada adegan lain digunakan untuk mengekspresikan sosok Ekawira saat berkampanye sebagai calon wakil rakyat. Di sisi panggung yang lain, berdiri sebuah warung kopi kecil. Ekawira, yang diperankan Yusuf, tampak menunduk, seolah sedang menahan sesuatu yang berat di benaknya. Tidak ada bantuan cahaya yang dramatis, hanya alunan musik tajam yang membantu mengantarkan beban yang ada di pikiran aktor ke penonton.
Melihat Ekawira membawa saya, sebagai penonton, gerah dengan kehidupan yang dijalaninya. Ekawira dulunya adalah seorang buruh pabrik yang setiap hari melewati jalanan berlubang di depan rumahnya. Lubang-lubang itu kecil pada awalnya, tetapi seiring waktu lubang itu semakin membesar. Lubang-lubang itu merupakan metafora yang pas bagi kehidupannya yang juga hancur pelan-pelan. Tubuh Yusuf juga berhasil mentransfer kehancuran itu lewat gestur-gestur sederhana. Setiap tarikan nafasnya, bahkan diamnya, menjadi bagian penting dari narasi yang bekerja di atas panggung.
Ruang pertunjukan yang terbatas membuat kita, sebagai penonton, benar-benar dekat dengan aktor. Energi aktor mengalir dengan cepat, jika dia bahagia, maka bahagia turut kita rasakan bersama. Begitu pula sebaliknya, kesedihan yang terjadi di panggung juga turut menjadi kesedihan penonton. Yusuf menuturkan kisah Lubang dengan tubuh yang ringkih dan penuh dengan makna. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah keluhan-keluhan hidup yang sudah lama terpendam dan akhirnya meledak di panggung malam itu. Ruang intim ini dimanfaatkan secara maksimal oleh aktor sehingga bahasa tubuh dan semua yang diadegankannya berhasil dirasakan oleh penonton.
Dialog-dialog dalam monolog Lubang juga banyak yang menggelitik. Satir seperti, “Jadi wakil rakyat itu tugas yang mulia,” lalu disambung dengan “bisa punya banyak uang.” menjadi salah satu momen yang membuat saya, sebagai penonton, tersenyum kecil. Namun tawa itu tidak dibiarkan lama tinggal. Emosi segera ditarik naik dan turun, sebab setelah dialog itu Ekawira mengujarkan lagi kejujuran atas kehidupannya yang sangat menyakitkan.
Kita semua pernah melihat sosok seperti Ekawira di sekitar kita, entah itu om, tetangga, atau bapak-bapak yang sejak pagi hingga malam hari menghabiskan waktu nongkrong di warung kopi. Mereka selalu memesan kopi hitam yang pahit, sepahit candaan mereka tentang politik, sambil menahan kenyataan bahwa hidup mereka tak banyak berubah.
Ekawira tidak gagal karena ia tidak berusaha, melainkan karena sistem kehidupan yang tak pernah benar-benar berpihak kepadanya. Ada keinginan besar dalam dirinya untuk memperbaiki jalanan berlubang di daerahnya, bahkan ia sempat menggenggam mimpi menjadi wakil rakyat. Namun mimpi itu kandas karena ia hanya memiliki satu suara dalam pemilihan itu. Pada akhirnya, yang sesungguhnya harus ia perbaiki bukan hanya jalanan berlubang itu, melainkan kehidupannya sendiri yang perlahan-lahan berantakan.
Tidak ada panggung besar di pertunjukan malam itu, hanya ada tubuh Ekawira. Dalam diamnya, Ekawira mendengar suara kota, kota yang tidak lagi mendengar suara warganya. Melalui monolog Lubang, Yusuf berhasil menggerakkan narasi kota dengan lugas dan membuat penonton menyadari bahwa kita semua hidup di sebuah kota yang lubang-lubangnya tak pernah benar-benar ditambal.
Badut Kota: Tawa yang Menyembunyikan Luka
Jika Monolog Lubang mengajak kita memandang sisi dunia laki-laki kelas bawah, maka Badut Kota memandu kita masuk ke dunia perempuan yang tidak kalah pedih.
Annisa, gadis lima belas tahun yang diperankan oleh Wa Ode Siti Sabania yang nyaman disapa Putri membuka pertunjukannya dengan menggunakan topeng badut sambil membaca buku cerita tentang perempuan pekerja malam. Hanya ada kursi sisi kiri dan meja jualan sisi kanan panggung. Panggung yang sederhana menjadi penuh tanda. Topeng, buku dongeng, dan aktor tanpa alas kaki memberi impresi yang kuat. Lampu hanya menyoroti Putri, tubuh yang akan mengantarkan kita pada cerita lain kota Makassar yang dipotret oleh Nirwana Aprianty sebagai penulis naskah.
Properti meja jualan Annisa adalah material penting yang merupakan pintu aktor menjabarkan kehidupan Annisa, remaja lima belas tahun yang bercita-cita menjadi penyanyi. Impian itu terinspirasi oleh ibunya, tapi mimpi itu gagal tumbuh dan bermekaran di kota yang tidak memberi ruang aman bagi perempuan utamanya bagi anak-anak dan remaja.
Setelah membuka pertunjukan dengan membaca buku, Annisa membuka topeng badut dan menunjukkan wajah penuh keceriaan, wajah kepolosan seorang anak remaja. Namun di sepanjang pertunjukan, keceriaan itu pelan-pelan mengungkap kepalsuan. Keceriaan yang ia tampakkan adalah penderitaaan seorang anak perempuan yang terpaksa bekerja hingga larut malam untuk bertahan hidup.
“Biarkan kami, orang-orang kecil, diledek,” kata Annisa pelan, nyaris seperti berbisik. Dialog ini menusuk dan menarasikan kehidupan banyak perempuan muda yang tumbuh di pinggir kota, di tepian harapan. Sebuah kalimat yang menampar realitas dengan cara sederhana. Ini menggambarkan bagaimana orang-orang kecil bukan hanya tidak didengar, tetapi sering kali ditertawakan lebih dulu sebelum akhirnya benar-benar ditolak.
Tubuh Putri dalam memerankan Annisa menjadi medium utama yang menghidupkan karakternya di atas panggung. Bahasa tubuhnya menjadi bagian penting dalam membangun psikologi tokoh. Saat Putri menunduk dalam berdialog, gestur itu tidak dibaca sebagai tanda kelemahan, melainkan sebagai strategi bertahan seorang perempuan yang telah lama belajar merendah agar tidak dilukai oleh kota lebih keras. Postur tubuhnya menyimpan sejarah tekanan sosial yang terus-menerus ia terima. Tubuh itu adalah hasil dari pengalaman merekam ketakutan, kepatuhan, sekaligus daya tahannya menghadapi dunia yang tak pernah benar-benar ramah utamanya terhadap anak remaja perempuan.
Menonton pertunjukan monolog Badut Kota membawa saya melihat kembali anak-anak di pinggir jalan lampu merah, trotoar, atau di sudut-sudut kota yang tak pernah menjadi bagian dari peta resmi. Putri memopong kita melihat Annisa perempuan kecil yang memiliki mimpi menjadi penyanyi dan suka bermain media sosial, tetapi dunia terlalu kejam untuk gadis seusianya. Dia dihakimi karena cara berpakaian, dituduh murahan, dan dijadikan simbol kerusakan moral. Padahal yang rusak bukan dirinya, tetapi tatanan kota yang tak memberinya tempat untuk hidup dengan layak.
“Ada api dalam diri saya, tapi seperti mawar.” Kalimat Annisa itu sangat membekas, seperti irisan halus yang perih: api yang ingin menyala namun sekaligus bunga yang ingin mekar. Ada sesuatu yang rapuh tetapi tetap ingin menjadi kuat. Ada yang indah, namun dipaksa berdiri di tengah belantara kota. Sebagai penonton, saya sempat menunduk, sebab di luar panggung monolog ini, ada begitu banyak Annisa yang berjalan di kota yang sama tetapi tak pernah memiliki panggung untuk bersuara.
Malam itu menjadi malam monolog Lubang dan Badut Kota yang sama-sama memanfaatkan ruang intim secara maksimal. Jarak dekat antara aktor dan penonton membuat kita menjadi saksi dan masuk lebih dalam pada alur cerita. Pertunjukan monolog ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi memapah kita melihat diri dan dunia tengah Alè Lino: dunia tinggal kita yang begitu retak, hilang, dan memberi luka. Festival Kala Monolog dapat berakhir, tetapi dialog tentang dunia yang kita tinggali bersama baru saja dimulai. **




