Krisis ketenagakerjaan yang dialami ratusan karyawan PT Perkebunan Mitra Ogan kian mengkhawatirkan. Setelah hampir dua tahun tidak menerima gaji, para pekerja kini berada di titik genting dan mendesak campur tangan langsung pemerintah pusat untuk menyelamatkan hak hidup mereka.
Sejak April 2024, sekitar 580 karyawan perusahaan perkebunan di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan (Sumsel), belum menerima upah. Janji manajemen untuk melunasi tunggakan hingga akhir 2025 kembali tak terealisasi, memicu aksi lanjutan para pekerja di Dinas Tenaga Kerja OKU, Senin (15/12/2025).
Ketua PP Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan SPSI, Cecep Wahyudin, menegaskan bahwa kesabaran buruh telah mencapai batas. Jika hingga pergantian tahun tidak ada kepastian, pekerja akan membawa persoalan ini langsung ke Jakarta.
“Kami siap mendatangi kementerian terkait, BPI Danantara, hingga Istana Negara. Ini soal keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya,” kata Cecep, Selasa (16/12/2025).
Mitra Ogan merupakan anak usaha BUMN pangan yang berada di bawah naungan holding Danantara. Namun hingga kini, menurut serikat pekerja, perusahaan tidak hanya menunggak gaji, tetapi juga lalai memenuhi kewajiban normatif lainnya, seperti iuran BPJS Ketenagakerjaan, dana pensiun, THR, uang lembur, dana pendidikan, hingga hak jubelium karyawan.
“Ini bukan sekadar masalah keuangan perusahaan, tapi sudah menjadi pelanggaran hak dasar pekerja,” tegas Cecep.
Ia menyebut, Ketua Umum KSPSI Moh Jumhur Hidayat akan ikut mengawal kasus ini dan melakukan komunikasi langsung dengan Kementerian Ketenagakerjaan serta pemegang saham perusahaan.
Di sisi lain, manajemen Mitra Ogan dikabarkan tengah mengupayakan penyelamatan perusahaan melalui restrukturisasi utang jangka panjang lewat skema PKPU dan kerja sama operasi dengan PTPN IV (PalmCo). Opsi lain adalah penjualan aset kantor direksi untuk menutup tunggakan, dengan prioritas pembayaran kepada karyawan.
Namun, hingga pertengahan Desember 2025, rencana tersebut belum menunjukkan hasil nyata. Kondisi di lapangan justru memburuk, dengan munculnya penjarahan, pencurian aset, hingga konflik lahan yang berpotensi memicu gesekan sosial.
Serikat pekerja juga mendorong pemegang saham, yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan PTPN III, agar mengambil langkah tegas. Jika RNI dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan, mereka mendesak agar Mitra Ogan dialihkan ke BUMN lain yang lebih siap.
Upaya hukum sebenarnya telah ditempuh. Pengaduan resmi ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Disnakertrans Sumsel telah berujung pada nota pemeriksaan pertama yang menyatakan adanya pelanggaran. Namun tindak lanjut dinilai lamban.
“Kami minta nota pemeriksaan kedua segera diterbitkan agar ada kekuatan hukum yang memaksa,” ujar Cecep.
Di akhir pernyataannya, Cecep juga menyentil sisi kemanusiaan persoalan ini. Ia berharap negara tidak abai terhadap penderitaan pekerja dan keluarganya.
“Di saat negara bicara gizi dan kesejahteraan, ratusan karyawan Mitra Ogan justru hidup dalam kondisi serba kekurangan. Kami minta Presiden mendengar jeritan ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, saat mediasi di Disnakertrans Sumsel, Selasa (23/9/2025), Direktur Utama PT Mitra Ogan Muzamzam Masyhudi mengatakan tak hanya pekerja yang tak digaji, tapi juga manajemen dan direksi perusahaan ikut terdampak.
"Sebenarnya kami juga merasakan hal yang sama dengan pekerja, selama 18 bulan tidak menerima gaji. Secara plus minus sekitar Rp 80 miliar total keseluruhan tunggakan untuk gaji, pensiunan pegawai dan kewajiban lain-lain yang belum dibayarkan sejak 2016," ujar Muzamzam.
Dari jumlah itu, dia merncikan jika tunggakan gaji 18 bulan berkisar Rp 35 miliar, uang pensiunan sekitar Rp 15 miliar dan kewajiban lain-lain sejak 2016 kisaran Rp 30 miliar.
Dia menyebut, perusahaan terus mengalami defisit sehingga tak bisa menutupi pengeluaran. Persoalan yang terjadi karena sistem budidaya yang tidak baik, beberapa tanaman sawit usianya di atas 40 tahun sehingga tak lagi produktif dan faktor lainnya.
"Sebagian kebun masih ada yang dikerjasamakan, untuk PKS kita sudah off sejak April 2024. Pada waktu itu teman-teman juga menyatakan berhenti bekerja, karena sudah tidak menghasilkan berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan. Kebun kita ada di OKU, Muba, dan Muara Enim," katanya.
Untuk pelepasan aset kantor di Palembang, pihaknya telah meminta persetujuan PT RNI dan kini telah berproses di Danantara. Penjualan aset itu untuk menutupi tunggakan kepada pegawai.
"Skenario lain dengan mengharapkan dana talangan dari mitra, dalam hal ini denga PalmCO," tambahnya.

