Untuk pertama kalinya di Indonesia, para peneliti mengonfirmasi temuan neonatal atau bayi baru lahir hiu paus di alam liar, dengan ukuran hanya sekitar 135–145 cm. Temuan luar biasa yang diumumkan di jurnal Diversity ini terjadi di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Peristiwa ini menempatkan teluk tersebut sebagai salah satu kandidat terkuat pengasuhan anakan hiu paus di dunia. Temuan ini juga membuka peluang terungkapnya salah satu misteri terbesar dalam biologi laut mengenai lokasi hiu paus melahirkan.
Hiu paus (Rhincodon typus) adalah ikan terbesar di dunia. Ironisnya, fase paling awal kehidupannya hampir sepenuhnya tidak pernah teramati.
Hingga saat ini, belum ada satu pun lokasi melahirkan atau pupping ground hiu paus yang terkonfirmasi secara ilmiah di dunia. Dalam lebih dari satu abad penelitian, catatan kemunculan bayi hiu paus berukuran di bawah 1,5 meter secara global baru tercatat sebanyak 33 kali. Sebagian besar di antaranya merupakan hasil observasi singkat, tanpa dokumentasi visual yang memadai, dan tidak terjadi secara berulang di satu lokasi.
Di Teluk Saleh, situasinya berbeda. Pada Agustus hingga September 2024, nelayan lokal melaporkan melihat sedikitnya lima kali kemunculan hiu paus kecil berukuran 1,2–1,5 meter di sekitar bagan. Salah satu individu bahkan sempat terjaring tanpa sengaja sebelum dilepaskan kembali ke laut.
Dalam kejadian tersebut, bayi hiu paus sempat berada di dalam boks styrofoam berisi air laut, yang memungkinkan nelayan melakukan estimasi ukuran tubuh secara presisi menggunakan analisis visual berbasis objek pembanding. Dengan dimensi boks 120x42x32 cm, panjang total hiu paus itu diperkirakan sekitar 135–145 cm.
Berdasarkan kurva pertumbuhan dari studi Chang et al. (1997) yang mendokumentasikan pertumbuhan neonatal hiu paus dari 60 cm menjadi hampir 140 cm dalam waktu sekitar 120 hari, ukuran bayi baru lahir hiu paus Teluk Saleh ini mengindikasikan usia sekitar empat bulan. Artinya, bayi hiu paus tersebut masih berada pada fase kehidupan yang sangat dini dan sangat jarang berhasil teramati di alam bebas.
“Secara ilmiah, ini adalah sinyal yang sangat kuat dan mengindikasikan Teluk Saleh kemungkinan besar memiliki fungsi ekologis sebagai area melahirkan dan pengasuhan anakan hiu paus,” ujar Mochamad Iqbal Herwata Putra, Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia, dalam siaran pers, Selasa (16/12).
Iqbal menambahkan, jika terbukti sebagai lokasi hiu paus melahirkan, Teluk Saleh akan menjadi lokasi pertama di dunia yang pernah teridentifikasi secara pasti.
Edy Setyawan, Lead Conservation Scientist di Elasmobranch Institute Indonesia, menilai penemuan ini menandai kemajuan yang sangat signifikan dalam riset hiu paus global. “Catatan bayi hiu paus sangat langka di seluruh dunia. Setiap pengamatan baru memperkuat basis data global. Temuan ini memberikan wawasan krusial tentang di mana dan bagaimana hiu paus memulai kehidupannya,” kata Edy.
Meski demikian, para peneliti menegaskan bahwa secara ilmiah Teluk Saleh masih berada pada status strong potential pupping ground dan belum dapat disebut sebagai lokasi kelahiran yang terkonfirmasi sepenuhnya. Perlu beberapa bukti lagi untuk memastikannya.
“Mulai dari memastikan kemunculan bayi secara reguler dalam jangka panjang, bukti keberadaan induk betina yang sedang hamil atau menjelang melahirkan, bukti bahwa bayi benar-benar bertahan di dalam teluk, serta konfirmasi biologis bahwa bayi hiu paus tersebut benar-benar lahir di perairan Teluk Saleh, bukan bermigrasi dari laut dalam,” kata Iqbal.
Konservasi Indonesia bersama para mitra tengah bekerja sama dengan otoritas pemerintah untuk membentuk kawasan konservasi perairan (Marine Protected Area/MPA) berbasis hiu paus pertama di Indonesia, di Teluk Saleh. Iqbal mengatakan, dengan temuan ini, status kawasan penting Teluk Saleh berpotensi ditingkatkan menjadi lebih tinggi, dan menjadikannya sebagai dasar ilmiah yang lebih kuat untuk perlindungan resmi.
Bayi Hiu Paus Hadapi Risiko TinggiPerairan Teluk Saleh relatif tenang dan terlindung dari gelombang besar laut lepas, sekaligus memiliki produktivitas plankton yang tinggi. Iqbal mengatakan, suplai nutrien dari mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, ditambah keberadaan bagan yang secara konsisten menarik ikan kecil dan udang rebon, menjadikan Teluk Saleh sebagai ‘meja makan’ alami yang stabil bagi bayi hiu paus yang sedang berada pada fase pertumbuhan kritis.
Meski begitu, di balik potensi ilmiah yang luar biasa, bayi hiu paus di Teluk Saleh juga menghadapi risiko yang nyata seperti jerat jaring nelayan, penurunan kualitas air akibat aktivitas pesisir, serta meningkatnya lalu lintas kapal yang dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup bayi hiu paus yang masih sangat rentan. Iqbal menilai, tingkat kelangsungan hidup pada fase awal ini akan sangat menentukan masa depan populasi hiu paus secara global.
Berdasarkan temuan ini, Konservasi Indonesia berencana melakukan pemantauan lanjutan untuk mengonfirmasi bayi dan anakan hiu paus ini secara regular. Konservasi Indonesia juga akan memperluas sistem pelaporan berbasis masyarakat dan memajukan rencana pembentukan MPA berbasis hiu paus yang melindungi spesies ini, sekaligus memperkuat konservasi berbasis komunitas. Terlebih, kemunculan bayi hiu paus ini pertama kali dilihat oleh para nelayan.
Temuan ini menegaskan kuatnya peran nelayan lokal dalam riset konservasi modern berbasis masyarakat. Laporan dari nelayan yang memungkinkan para peneliti merespons cepat kemunculan neonatal hiu paus yang sangat langka ini.
"Nelayan adalah mata para peneliti di laut. Mereka menangkap momen yang hampir mustahil terdeteksi oleh survei ilmiah konvensional,” ujar Ismail Syakurachman, Lead Studi First Evidence of Neonatal Whale Sharks in Saleh Bay ini.
Tanpa keterlibatan para nelayan, tahap paling awal kehidupan hiu paus kemungkinan besar akan tetap tersembunyi dari sains.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5315745/original/063323700_1755169832-20250808AA_BRI_Super_League_Persebaya_Surabaya_Vs_PSIM_Yogyakarta__23_of_75_.jpg)

