Selama berpuluh-puluh tahun pembangunan di Papua dinilai belum signifikan. Sejumlah institusi dan dokumen percepatan pembangunan Papua kemudian dilahirkan. Lantas mau ke mana arah upaya-upaya percepatan pembangunan ini?
Pada Selasa (16/12/2025) pemerintah resmi meluncurkan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP) 2025-2029. Dokumen ini resmi diluncurkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), di Jakarta.
Adapun rancangan yang telah disusun sejak Desember 2023 ini dirampungkan pada Oktober 2025. Di dalamnya memuat 19 program prioritas dalam misi mewujudkan ”Papua Sehat, Cerdas, dan Produktif.”
Dokumen ini didorong menjadi pegangan bagi kepala daerah serta dua institusi percepatan pembangunan. Dua institusi itu yakni Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (dibentuk pada 2023) dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua (dibentuk pada Oktober 2025).
Dalam acara peluncuran RAPP Kementerian PPN/Bappenas, turut dilaksanakan forum diskusi panel pada Selasa pagi hingga siang. Dalam forum ini turut dihadiri kementerian terkait, kepala daerah se-Papua, institusi percepatan pembangunan Papua, hingga tokoh dari berbagai bidang.
Salah satu yang disorot yakni mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua. Berdasarkan data yang disajikan Kementerian Dalam Negeri, pada 2025, empat provinsi di Papua berturut-turut menempati posisi daerah dengan IPM terendah.
Catatan terendah ditempati oleh Papua Pegunungan dengan skor 54,91, kemudian Papua Tengah (60,64 persen), Papua Barat (68,48), dan Papua Selatan (69,54).
Kendati IPM Papua terus bergerak tahun demi tahun, tetapi capaian ini dianggap masih terlalu lamban. Apalagi mengingat aliran dana ratusan triliun yang telah mengalir sejak otonomi khusus pertama kali disalurkan sejak 2001.
Sementara itu, pada Maret 2025, Lima dari enam provinsi di wilayah Papua menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Papua Pegunungan berada di urutan teratas dengan persentase penduduk miskin mencapai 30,03 persen, disusul Papua Tengah (28,9 persen), Papua Barat (20,66 persen), Papua Selatan (19,71 persen), serta Papua (19,16 persen).
Meki Nawipa, Gubernur Papua Tengah sekaligus Ketua Asosiasi Gubernur se-Papua, menyatakan, upaya percepatan pembangunan menghadapi beragam dinamika. Kondisi geografis hingga keragaman sosial budaya menjadi tantangan dalam upaya ini.
Oleh karena itu, lanjut Meki, kondisi keuangan daerah di Papua harusnya diperkuat. Namun, saat ini, pemerintah daerah termasuk di Papua justru harus menghadapi kebijakan pemangkasan yang berlaku secara nasional.
Menurut Meki, penguatan kondisi keuangan daerah ini juga untuk mengakselerasi percepatan pembangunan sumber daya manusia Papua. Salah satunya, kata Meki, hal bisa dilakukan melalui pemberian dana lebih dari PT Freeport Indonesia.
“Beri kami 10 persen dari dana Freeport itu yang diberikan kepada pemerintah pusat, maka (persoalan) pendidikan akan selesai,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, percepatan pembangunan Papua harus diikuti dengan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini, penyelenggaraan yang tidak efektif membuat program untuk peningkatan kesejahteraan justru tidak maksimal.
Tito mencontohkan, pada 2025, capaian realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) daerah-daerah di Papua tidak terserap dengan baik. Hingga akhir tahun, masih ada realisasi pendapatan masih 60-an persen.
“Kalau pendapatannya 60 persen, pasti belanjanya di bawah itu, katakanlah belanjanya 50 persen. Prediksi saya, itu 40-an persen untuk belanja pegawai. Artinya apa? untuk rakyat pasti hanya sekitar lima persen, artinya pendidikan tertatih-tatih, sekolah juga engga bagus, dan kesehatan tidak akan jalan,” ujarnya.
Oleh karena itu, dokumen RAPPP dianggap sebagai upaya untuk menyusun dan mengevaluasi arah pembangunan Papua. Di sisi lain, para kepala daerah perlu diajak untuk meninjau kembali dokumen ini. Apalagi, semuaa kepala daerah ini dilantik setelah penyusunan dokumen RAPPP ini.
Hasil koordinasi ini diharapkan akan menjadi kepala daerah dan dikoordinasikan oleh Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua.
Kalau pendapatannya 60 persen, pasti belanjanya di bawah itu, katakanlah belanjanya 50 persen. Prediksi saya, itu 40-an persen untuk belanja pegawai. Artinya apa? untuk rakyat pasti hanya sekitar lima persen.
Ketua Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua Velix V Wanggai mengatakan, pihaknya akan fokus menjalankan fungsi dalam sinkronisasi dan harmonisasi, pengawasan, serta pelaporan dan evaluasi. Dengan begitu, agenda-agenda strategis di Papua bisa dikelola secara terarah.
Dalam dua bulan terakhir, kata Felix, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, kementerian/lembaga, hingga mitra internasional. Velix menyebut, langkah ini sebagai bagian dari peta jalan yang disusun untuk lima tahun.
Secara bertahap, komite ini akan melakukan konsolidasi awal, pemantapan program hasil terbaik cepat (quick win), percepatan ekonomi lokal dan investasi, perluasan pembedayaan/perlindungan sosial masyarakat, hingga penguatan peran orang Papua dalam kehidupan sosial politik.
Di sisi lain, upaya percepatan pembangunan di Papua perlu diwujudkan dalam komitmen kebijakan yang produktif. Hal ini diutarakan oleh Profesor Yohanes Surya, akademi dan pegiat pendidikan yang banyak memberi perhatian kepada anak-anak di Papua.
Menurut Yohanes, keberpihakan ini berkaitan dengan komitmen untuk memberi kesempatan anak Papua mendapatkan metode pembelajaran yang tepat. Hal ini telah dibuktikan dengan sejumlah anak Papua yang diberi kesempatan belajar dengannya bisa juara olimpiade hingga tingkat internasional.
Yohanes melanjutkan, dengan berbagai dinamika yang terjadi di Papua, perlu ada upaya untuk mencetak pengajar berkualitas dari orang asli Papua. Dengan begitu, kesempatan belajar yang tepat itu bisa dirasakan oleh anak hingga pelosok penjuru.
“Perlu komitmen dari kepala daerah untuk mendorong agar setiap anak asli Papua mendapatkan kesempatan (pendidikan yang tepat), termasuk dari gunung-gunung dan pelosok,” ujar Yohanes Surya.
Pandangan terkait komitmen keberpihakan ini juga disampaikan oleh Direktur RSUD Biak Numfor Richard Ricardo Mayor. Kurangnya keberpihakan ini membuat banyak fasilitas kesehatan di Papua tidak maksimal.
Selama ini, kata Richard, masalah pemerataan tenaga medis belum terselesaikan. Banyak fasilitas kesehatan tidak memiliki tenaga dokter. Papua masih kesulitan mencetak dokter lokal, sementara dokter dari luar masih terbatas yang ingin mengabdi.
“Sementara itu pembiayaan untuk setiap rumah sakit sangat kecil dianggarkan oleh pemerintah daerah. Rata-rata rumah sakit kabupaten/kota termasuk provinsi itu pembiayaannya sangat rendah. Kuncinya itu kita butuh komitmen,” ujarnya.




