TIGA mantan pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dan Chrome Device Management (CDM) tahun anggaran 2019 hingga 2022. Ketiga terdakwa yang disidang adalah Konsultan Teknologi Kemendikbudristek Ibrahim Arief alias Ibam, Direktur SD Sri Wahyuningsih (tahun 2020–2021), dan Direktur SMP Mulyatsyah (tahun 2020–2021).
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut kerugian keuangan negara dalam perkara ini mencapai Rp2,18 triliun.
"Para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara senilai Rp2,18 triliun," kata JPU Roy Riady pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Selasa (16/12).
Kerugian tersebut meliputi Rp1,56 triliun terkait pengadaan laptop dan senilai US$44,05 juta (setara Rp621,39 miliar) akibat pengadaan CDM yang dinilai tidak diperlukan dan tidak bermanfaat.
JPU menyebutkan bahwa ketiga terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum tersebut bersama-sama dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019-2024 Nadiem Anwar Makarim dan mantan Staf Khusus Nadiem, Jurist Tan.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan, di antaranya pengadaan Chromebook dan CDM yang tidak sesuai dengan perencanaan dan prinsip pengadaan. Nadiem, melalui para terdakwa dan Jurist, disebut membuat kajian kebutuhan TIK yang mengarah pada laptop Chromebook dengan sistem operasi Chrome. Padahal, kata JPU, kajian tersebut tidak berdasarkan identifikasi kebutuhan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, sehingga mengalami kegagalan khususnya daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan).
Selain itu, para terdakwa bersama Nadiem dan Jurist juga menyusun harga satuan dan alokasi anggaran tanpa dilengkapi survei dan referensi harga yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengadaan juga dilakukan melalui e-Katalog dan aplikasi SIPLah tanpa melalui evaluasi harga.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(H-3)




