Beijing Mengancam Para Pengkritik Usai Kebakaran di Hong Kong

erabaru.net
8 jam lalu
Cover Berita

Kantor Beijing untuk Perlindungan Keamanan Nasional di Hong Kong mengeluarkan pernyataan bernada keras pada malam 3 Desember, ketika kemarahan publik atas kebakaran di Hong Fuk Court terus meningkat. Kantor tersebut menyatakan bahwa hukum akan menjangkau “siapa pun yang menentang Tiongkok dan mengacaukan Hong Kong, sejauh apa pun mereka melarikan diri,” serta memperingatkan bahwa siapa pun yang melintasi “garis merah,” sekalipun berada di luar negeri atau di Taiwan, akan menghadapi konsekuensi.

Juru bicara yang tidak disebutkan namanya itu menuduh “segelintir kecil kekuatan asing yang bermusuhan” telah memanfaatkan tragedi ini sambil berpura-pura menjadi pembela kepentingan publik. Pernyataan tersebut mengklaim kelompok-kelompok ini berusaha menghidupkan kembali pola gerakan protes anti-ekstradisi tahun 2019 dengan mendukung jaringan kontak lokal, mengganggu pekerjaan bantuan, serta merusak operasi pascabencana. Tindakan mereka, menurut pernyataan itu, bersifat “jahat dan menjijikkan.”

Beijing Menuding ‘Kekuatan Asing’

Kantor tersebut kemudian menuduh para aktor eksternal itu sama sekali menghindari upaya penyelamatan dan justru “menyebarkan rumor dari balik bayang-bayang, memutarbalikkan fakta, serta menyerang pemerintah dan para petugas di garis depan.” Perilaku semacam ini, katanya, telah menutupi kontribusi pihak-pihak yang benar-benar terlibat dalam penanganan bencana.

Mengulangi peringatannya, sang juru bicara menegaskan bahwa “siapa pun yang mengacaukan Hong Kong akan dihukum, tanpa memandang jarak.” Dengan diberlakukannya secara penuh Undang-Undang Keamanan Nasional serta Ordinansi Perlindungan Keamanan Nasional, Hong Kong disebut tidak akan “pernah lagi dibiarkan tanpa perlindungan.” Siapa pun yang berharap menghidupkan kembali gerakan perlawanan masa lalu atau “melancarkan revolusi warna,” tambahnya, dinilai sebagai “khayalan belaka.”

Menurut pernyataan tersebut, undang-undang keamanan nasional telah “menebarkan jaring yang tak dapat ditembus.” Setiap tindakan yang dianggap merugikan Hong Kong akan didokumentasikan dan dikejar tanpa batas waktu, dan setiap “tangan hitam” yang mencampuri kota itu akan dihadapi dengan “pedang supremasi hukum.”

Ruang Kritik Publik Kian Menyempit

Setelah kebakaran pada 26 November, warga Hong Kong bergerak cepat—mengorganisasi pasokan bantuan, menawarkan pertolongan, serta mengajukan pertanyaan tentang persoalan-persoalan yang lebih dalam di balik terjadinya kebakaran tersebut. Campuran antara duka cita publik dan kritik itu segera memicu reaksi cepat dari pemerintah Hong Kong maupun Beijing. Para pejabat senior, komentator pro-Beijing, serta kantor keamanan nasional sama-sama memperingatkan agar tidak ada upaya “memanfaatkan bencana untuk mengguncang stabilitas Hong Kong,” yang menandakan semakin diperketatnya sikap terhadap perbedaan pendapat.

Pada 2 Desember, Asosiasi untuk Demokrasi dan Penghidupan Rakyat (Association for Democracy and People’s Livelihood/ADPL) merencanakan konferensi pers untuk menyampaikan keprihatinan atas penanganan tragedi tersebut. Namun sesaat sebelum acara dimulai, para penyelenggara memberi tahu media bahwa kegiatan itu harus dibatalkan. Mereka mengatakan bahwa “sebuah departemen tertentu” telah memberi tahu bahwa acara tersebut неapat dilanjutkan. Laporan kemudian menyebutkan bahwa para pemimpin organisasi, termasuk ketuanya Liu Shing-lei, telah dihubungi oleh Departemen Keamanan Nasional Kepolisian Hong Kong untuk menghadiri pertemuan tertutup.

Komentator Lokal Meluapkan Kekecewaan

Pada hari yang sama, kolumnis pro-pemerintah Judy Fok menulis sebuah artikel berjudul “Perbaiki Dulu Pembusukan yang Mengundang Lalat.” Ia berpendapat bahwa Hong Kong selama bertahun-tahun telah terjebak pada prioritas yang keliru—menitikberatkan persatuan politik dan pertunjukan seremonial, sementara mengabaikan tata kelola pemerintahan, persoalan penghidupan rakyat, serta reformasi birokrasi. Dengan anggota legislatif dan media yang dibatasi ketat, fungsi pengawasan pun hampir sepenuhnya lenyap.

“Bencana besar hanyalah soal waktu,” tulisnya. “Yang tidak pernah diduga oleh siapa pun adalah bahwa harga yang harus dibayar mencapai ratusan nyawa dan ribuan keluarga.”

Penangkapan Terkait Kampanye Petisi

Sebelum gelombang penangkapan terbaru, warga Hong Kong telah melancarkan sebuah petisi yang memuat empat tuntutan: dukungan bagi para korban, penyelidikan independen, peninjauan terhadap sistem pengawasan regulasi, serta pertanggungjawaban dari para pejabat.

Namun pada 29 November, salah satu penggagas petisi tersebut, Kwan Ching-fung, ditahan oleh Departemen Keamanan Nasional. Keesokan harinya, polisi menangkap mantan anggota dewan distrik Tuen Mun, Cheung Kam-hung, serta seorang relawan bermarga Lee. Baik Kwan maupun Cheung kemudian dibebaskan dengan jaminan pada 1 Desember, yang justru memunculkan pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana otoritas menanggapi tuntutan atas transparansi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Prabowo Targetkan 2.500 SPPG Beroperasi di Papua pada 17 Agustus 2026
• 12 jam lalukumparan.com
thumb
Bukan Cuma Nadiem Makarim, ini Daftar Pihak yang Diperkaya di Kasus Korupsi Chromebook Kemendikbudristek
• 11 jam lalumerahputih.com
thumb
Kritik dan Saran Jadi Kunci Konsistensi Alwi Farhan Setelah Raih Emas SEA Games
• 23 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Imigrasi Periksa Ribuan TKA di Kawasan Tambang, Salah Satunya PT IMIP Morowali
• 13 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Program BETA Resmi Diluncurkan, Pemkot Ambon Lindungi 25 Ribu Pekerja Rentan
• 15 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.