Pada saat ini, media sosial didominasi oleh konten dengan durasi pendek atau konten serba cepat, seperti video TikTok, Reels di Instagram, dan Shorts di YouTube. Tanpa kita sadari, kebiasaan mengonsumsi konten berdurasi pendek ini membuat kita semakin mudah membentuk opini, bahkan ketika belum benar-benar memahami informasi yang diterima. Banyak generasi saat ini, termasuk saya, lebih tertarik pada konten serba cepat, baik berupa video maupun tulisan singkat. Akibatnya, tidak jarang terjadi penurunan minat dalam membaca teks panjang atau menonton video berdurasi lama.
Banyak generasi sekarang lebih tertarik dengan konten serba cepat karena tidak dituntut untuk berpikir keras memahami makna dibalik konten tersebut. Ketika video yang muncul di media sosial tidak menarik, jempol kita secara otomatis akan menggeser layar ke konten berikutnya. Kita cenderung tertarik pada video dengan visual yang menarik atau momen emosional yang mewakili diri kita.
Kebiasaan ini membuat otak terbiasa menerima informasi secara singkat tanpa memberi ruang untuk memahami dan mencernanya secara mendalam. Padahal, pola konsumsi informasi seperti ini dapat berakibat serius jika berlangsung terus-menerus.
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari konten serba cepat adalah penyebaran informasi ilmiah. Penjelasan yang seharusnya disampaikan secara lengkap dan mendalam justru dipadatkan menjadi video berdurasi beberapa detik saja. Pada akhirnya, banyak orang lebih tertarik mendengarkan dari video pendek tersebut dibandingkan penjelasan lengkap dari ahlinya. Dari sini muncul berbagai salah paham di kolom komentar atau ruang diskusi online karena audiens sama-sama mengambil kesimpulan secara tergesa-gesa. Tidak hanya itu, akan banyak bertebaran konten menyesatkan, terutama dari oknum-oknum kreator yang hanya ingin mengejar jumlah penonton.
Menurut Daniel J. Levitin (2014), otak manusia tidak dirancang untuk menerima informasi secara terus-menerus. Walaupun konten singkat lebih menarik, kebiasaan ini dapat menurunkan fokus kita apabila dilakukan secara berkelanjutan. Kita merasa membaca artikel yang panjang terasa melelahkan dan menonton video yang berdurasi 10 menit terasa begitu lama. Kebiasaan ini juga akan mempengaruhi kehidupan kita di kehidupan sehari-hari. Percakapan yang mendalam akan semakin berkurang, dan kita sering sulit kesulitan memahami penjelasan guru, dosen, ataupun atasan. Tidak sedikit pula yang akhirnya akan bergantung pada AI untuk merangkum percakapan tadi menjadi teks singkat.
Pola konten serba cepat ini semakin menguat karena didukung oleh algoritma media sosial. Akibatnya, konten edukasi yang seharusnya bermanfaat malah kalah viral dibandingkan konten hiburan singkat.
Pada akhirnya, kebiasaan mengonsumsi konten serba cepat tidak hanya membuat pemahaman kita menjadi semakin dangkal, tetapi juga mendorong lahirnya opini-opini yang tergesa-gesa di ruang digital. Di tengah era teknologi yang semakin maju, media seharusnya menjadi sarana penyebaran informasi untuk memperkuat kemampuan berpikir kritis, bukan sekadar mempercepat arus informasi tanpa pemahaman.


/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F01%2F3f92bae3-0c73-49c3-b72f-1af11417dd77_jpg.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5445292/original/081672900_1765847876-Screenshot_2025-12-16_081156.png)
