Jakarta: Jepang selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu negara dengan harapan hidup tertinggi di dunia. Selama ini, pola makan khas seperti ikan, teh hijau, dan nasi kerap disebut sebagai kunci utama umur panjang. Namun, pandangan tersebut dinilai terlalu menyederhanakan persoalan.
Mengutip Times of India, seorang ahli bedah saraf berbasis di Amerika Serikat, Dr Baibing Chen, menawarkan perspektif berbeda. Menurutnya, rahasia utama panjang umur masyarakat Jepang bukan terletak pada satu jenis makanan tertentu, melainkan pada pola hidup sehari-hari yang dijalani secara konsisten dan mendukung kesehatan otak serta tubuh dalam jangka panjang.
Melalui penjelasannya di media sosial, Dr Chen menekankan bahwa kehidupan masyarakat Jepang dibentuk oleh kebiasaan sederhana yang dilakukan terus-menerus. Rutinitas tersebut secara perlahan mengurangi beban pada sistem saraf, metabolisme, dan pembuluh darah, sehingga berdampak langsung pada kualitas hidup hingga usia lanjut. Rutinitas Stabil dan Teratur Menurut Dr Chen, kehidupan di Jepang berjalan dengan ritme yang relatif stabil. Waktu makan cenderung teratur, pola tidur konsisten, dan aktivitas harian memiliki struktur yang berulang. Dari sudut pandang neurologi, kestabilan ini membantu menjaga keseimbangan gula darah, hormon stres, serta siklus tidur.
Dalam jangka panjang, kondisi tersebut menekan peradangan kronis dan melindungi fungsi kognitif, dua faktor penting dalam penuaan yang sehat. Porsi Makan yang Terkontrol Ukuran porsi juga menjadi faktor kunci. Hidangan Jepang umumnya disajikan dalam porsi kecil dengan beberapa menu pendamping. Kebiasaan berhenti makan saat merasa cukup membantu mencegah konsumsi berlebihan.
Dr Chen menilai pola ini mengurangi tekanan metabolik yang kerap mempercepat penuaan dan meningkatkan risiko penyakit jantung serta gangguan otak. Aktivitas Fisik sebagai Bagian Hidup Masyarakat Jepang tidak selalu memisahkan olahraga sebagai aktivitas khusus. Aktivitas fisik hadir secara alami melalui kebiasaan berjalan kaki, menggunakan tangga, serta menjalani aktivitas harian tanpa ketergantungan berlebihan pada kendaraan.
Gerakan ringan yang dilakukan setiap hari terbukti meningkatkan sirkulasi darah ke otak dan menurunkan risiko stroke serta penurunan fungsi kognitif. Stres Lebih Terkelola Meski bukan negara tanpa tekanan, struktur sosial dan rutinitas di Jepang dinilai membantu membatasi stres kronis. Menurut Dr Chen, stres berkepanjangan dapat merusak sistem saraf otonom yang mengatur detak jantung, pencernaan, dan daya tahan tubuh.
Pengelolaan stres yang lebih baik berkontribusi pada rendahnya prevalensi penyakit terkait tekanan psikologis. Ikatan Sosial dan Deteksi Dini Penyakit Keterlibatan sosial juga memainkan peran penting. Lansia di Jepang umumnya tetap aktif dalam komunitas, pekerjaan ringan, atau kegiatan sukarela. Interaksi sosial menjaga kesehatan mental dan menurunkan risiko depresi serta demensia.
Selain itu, sistem kesehatan Jepang menekankan pemeriksaan rutin, memungkinkan penyakit terdeteksi lebih awal sebelum menimbulkan kerusakan serius.
Pada akhirnya, Dr Chen menegaskan bahwa umur panjang masyarakat Jepang bukan semata hasil faktor genetik atau satu kebiasaan tertentu. Pola hidup konsisten, aktivitas ringan, manajemen stres, serta hubungan sosial yang kuat membentuk fondasi kesehatan jangka panjang.
“Kebiasaan ini sebenarnya dapat diterapkan di mana saja,” ujar Dr Chen. Ketika kehidupan sehari-hari mendukung tubuh dan pikiran, kualitas hidup di usia lanjut dapat terjaga secara alami. (Keysa Qanita)
Baca juga: Ikigai: Resep Panjang Umur




