Oleh Fu Longshan, Vision Times
Ketika Resolusi Majelis Umum PBB 2758 disahkan pada 1971, Beijing membingkainya sebagai salah satu kemenangan diplomatik terbesar Perdana Menteri Komunis Tiongkok saat itu, Zhou Enlai. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengambil “kursi Tiongkok,” Majelis Umum PBB mengusir delegasi Republik Tiongkok (ROC), dan RRT masuk ke dalam sistem PBB sebagai satu-satunya wakil resmi Tiongkok.
Namun, di dalam korps diplomatik RRT sendiri, beredar cerita lain. Menurut sejumlah pejabat yang kini telah lama pensiun, Zhou di kemudian hari justru memandang pemungutan suara tersebut bukan sebagai kemenangan sempurna, melainkan kesalahan strategis yang mempersempit ruang gerak Beijing dan justru memperkuat posisi jangka panjang Taiwan.
Alasannya, kata mereka, bisa dirangkum dalam satu kalimat yang konon diucapkan Zhou setelah itu: “Pemungutan suara itu terjadi terlalu cepat.”
Keputusan yang Terlalu AgresifROC, yang pernah memerintah seluruh Tiongkok, terpaksa meninggalkan daratan utama setelah kalah dalam perang saudara Tiongkok dan mundur ke Pulau Taiwan pada 1949, tempat ia bertahan hingga kini.
Republik Rakyat Tiongkok yang diproklamasikan oleh pemimpin komunis Mao Zedong, meskipun menguasai hampir seluruh wilayah yang diklaim ROC, tidak terwakili di Perserikatan Bangsa-Bangsa—sebuah situasi yang sangat mengusik PKT.
Namun setelah keputusan internasional mencabut perwakilan Taiwan demi rezim PKT, catatan internal menggambarkan bahwa penyesalan Zhou bukanlah soal gengsi, melainkan soal timing strategis.
Pada 1971, Amerika Serikat pernah mengajukan model dua perwakilan: RRT akan mengambil kursi “Tiongkok,” sementara ROC tetap berada di PBB dalam bentuk tertentu—mungkin sebagai “Taiwan” atau “Chinese Taipei”—setidaknya dengan status pengamat.
Zhou menolaknya mentah-mentah dan menuntut pengusiran penuh terhadap segala sesuatu yang terkait dengan “perwakilan Chiang Kai-shek.”
Baru kemudian, menurut berbagai catatan, ia menyadari bahwa pilihan itu telah menghapus platform tawar-menawar yang kelak dibutuhkan Beijing. Seandainya ROC dibiarkan tetap berada dalam sistem sebagai pengamat, Beijing mungkin akan memiliki ruang yang lebih besar—lebih banyak kendali narasi, lebih banyak legitimasi untuk negosiasi di masa depan, dan lebih sedikit peluang bagi Taiwan untuk membingkai posisinya sebagai “belum ditentukan.”
Pengusiran Taiwan justru memunculkan simpati internasional; absennya Taiwan menciptakan ruang bagi argumen bahwa statusnya tidak pernah benar-benar diselesaikan. Dan tanpa kehadiran ROC di dalam PBB, RRT kehilangan apa yang oleh sebagian diplomat kemudian disebut sebagai “ambiguitas yang masih dapat dikelola.”
Seorang mantan pejabat, dalam catatan yang beredar di dalam sistem, merangkum kritik internal itu demikian: “Kami merebut semua kartu sekaligus, dan dengan itu kami justru memberikan narasi kepada Taiwan.”
Sinyal dari Tahun-Tahun Terakhir Zhou EnlaiMeski Beijing tidak pernah mengakui keraguan apa pun secara terbuka, sejumlah jejak sejarah menguatkan cerita internal tersebut:
- Dalam memoar Henry Kissinger, Zhou digambarkan tampak “belum sepenuhnya tenang” soal Resolusi 2758, seraya mencatat bahwa Tiongkok memang memenangkan kursi, tetapi “belum menyelesaikan masalahnya.”
- Antara 1973 hingga 1975, publikasi internal urusan luar negeri mengutip Zhou yang mengatakan bahwa persoalan Taiwan “akan membutuhkan perjuangan jangka panjang”—sebuah pernyataan yang tidak lazim jika Beijing benar-benar yakin 2758 telah menyelesaikan persoalan itu.
- Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Zhou dilaporkan mengatakan kepada para diplomat bahwa penyatuan memerlukan “kekuatan” dan “waktu yang tepat,” yang memunculkan pertanyaan: jika 2758 sudah menyelesaikan status Taiwan, mengapa masih perlu menunggu timing?
Tidak satu pun dari catatan ini bertentangan dengan implikasi yang lebih dalam: Zhou mengetahui bahwa kemenangan diplomatik itu tidaklah lengkap.
Lima Kerentanan yang Enggan Diakui BeijingMing Chu-cheng, profesor emeritus ilmu politik di National Taiwan University (NTU), menilai bahwa klaim Beijing bahwa Resolusi 2758 telah menyelesaikan status Taiwan berdiri di atas landasan yang rapuh. Akar persoalannya terletak pada lima kerentanan berikut:
1. Resolusi itu tidak pernah membahas status TaiwanResolusi 2758 hanya mengalihkan kursi Republik Tiongkok kepada RRT, mengakui RRT sebagai wakil Tiongkok, serta mengusir “perwakilan Chiang Kai-shek.” Resolusi ini tidak pernah menyebut “Taiwan,” apalagi membahas kedaulatan, wilayah, atau rakyat di pulau tersebut.
Sekretariat PBB secara terbuka menegaskan hal ini pada 2023–2024: Resolusi 2758 tidak menyelesaikan persoalan Taiwan.
2. Ini adalah keputusan politik, bukan penetapan hukumResolusi Majelis Umum PBB tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan kedaulatan, membatalkan hak penentuan nasib sendiri, atau membubarkan suatu pemerintahan.
Beijing mempromosikan 2758 sebagai putusan hukum yang mengikat, tetapi secara hukum resolusi ini tidak memiliki kekuatan seperti itu.
3. Tidak ada demokrasi besar yang mengakui kedaulatan RRT atas TaiwanAmerika Serikat tidak mengakui klaim RRT atas Taiwan, meskipun mengakui adanya “satu Tiongkok.”
Jepang mengakui RRT sebagai “Tiongkok,” tetapi tidak mengakui status Taiwan sebagai bagian dari RRT. Uni Eropa juga menegaskan bahwa kebijakan satu Tiongkok versi mereka tidak sama dengan prinsip satu Tiongkok versi Beijing yang mengklaim Taiwan sebagai wilayah sah RRT.
Seluruh posisi diplomatik negara-negara demokrasi besar ini bertentangan dengan narasi resmi Beijing.
4. Taiwan tidak pernah “diusir” dari PBBYang dikeluarkan adalah “perwakilan Chiang Kai-shek,” bukan pemerintah Taiwan. Taiwan sendiri tidak pernah menjadi anggota PBB atas nama “Taiwan,” melainkan hanya sebagai ROC.
5. Taiwan tetap merupakan negara secara de factoTaiwan memiliki kendali politik efektif atas wilayahnya, pemerintahan demokratis, status yang tidak pernah dicabut, serta penduduk dengan hak modern atas penentuan nasib sendiri.
Tak satu pun dari fakta ini dapat dihapus oleh Resolusi 2758, yang memang tidak bisa dan tidak pernah menyelesaikan persoalan kedaulatan.
Kelima celah ini secara mendasar melemahkan klaim Beijing tentang adanya “konsensus internasional.”
Medan Pertarungan Narasi yang Paling Ditakuti BeijingSeperti dicatat Prof. Ming, Resolusi 2758 bukanlah kata akhir dalam sengketa Tiongkok–Taiwan, melainkan justru bagian aktif dari perang informasi yang telah berlangsung lama. Strategi PKT bertumpu pada pengaburan berbagai konsep politik dan hukum, antara lain:
- perwakilan → kedaulatan
- pemungutan suara politik → putusan hukum
- keheningan global → dukungan global
- kebijakan satu Tiongkok → prinsip satu Tiongkok
Tugas Taiwan, menurut Ming, bukanlah bertarung di ruang pengadilan, melainkan di ranah narasi internasional. Dengan mengembalikan makna resolusi pada teks aslinya—apa yang benar-benar dikatakan Resolusi 2758, bukan apa yang diklaim Beijing—Taiwan dapat menegaskan kembali hak penentuan nasib sendiri secara demokratis, yang kini jauh lebih kuat dibandingkan pada 1971.
Bagi RRT, Resolusi 2758 semula dimaksudkan sebagai momen yang menutup persoalan Taiwan. Namun setengah abad kemudian, resolusi itu justru berpotensi menjadi titik awal kebangkitan diplomatik Taiwan.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5442670/original/096213000_1765556052-IMG_6604.jpeg)