Jenis huruf atau font ternyata menjadi arena perebutan kekuatan politik. Baru-baru ini Marco Rubio, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menghapus jenis huruf Calibri dan memilih Times New Roman sebagai font resmi Secretary of state AS. Situasi seperti ini sangat kentara di negara yang terbelah secara politik tersebut.
Bisa dimaklumi, perubahan dalam aspek kecil seperti ini bisa bergeser menjadi adu kuat pertempuran ideologi. Lalu publik memahami bahwa ini font Republikan atau Demokrat, font konservatif atau liberal. Bisa jadi publik akan terpancing dan teralihkan pada isu-isu font ini tinimbang memperjuangkan hak-hak mereka dalam pelayanan dasar.
Apa Argumen Marco Rubio? Menurutnya, font Calibri ini dipakai oleh Menteri sebelumnya di Era Joe Biden. Calibri dipercaya waktu itu sebagai font yang mengakomodasi kepentingan keberagaman. Misalnya bentuknya agak berjarak menjadikan mudah dibaca bagi pembaca dengan pandangan yang lemah. Font tersebut dipandang menjadi simbol keberagaman. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pandangan politik konservatif Marco Rubio.
Menurut Rubio, Calibri mengurangi wibawa pemerintah, kurang estetika. Bisa jadi, sejatinya Rubio memandang Calibri condong ke DEIA atau Diversity (Kegeragaman), Equity (Keadilan), Inclusion (inklusi), Accessibility (Aksisibilitas). Ini tidak sejalan dengan ideologi partainya Donald Trump. Simbol keberagaman ini cocok untuk partai Demokrat yang menjadi seterus utama partai dari Marco Rubio.
Simbol-simbol seperti font ini sebenarnya sudah lama digunakan sebagai nilai-nilai pembawanya. Padahal font-font ini sebenarnya adalah tipografi atau seni mengatur huruf, namun ternyata digunakan untuk mendukung nilai sesorang.
Fenomena seperti ini sering terjadi di Indonesia. Kita mungkin tidak terlalu perduli atas jenis-jenis font yang digunakan di publik, misalnya selebaran, spanduk, baliho di jalanan. Tetapi pada ruang tertentu yang lebih sempit, misalnya di kantor, terutama ketika ada pejabat baru masuk. Ia akan mencoba merombak visualisasi misalnya tampilan font.
Ketika tulisan menggunakan font yang diinginkan pejabat itu, maka ini bisa menunjukkan loyalitas, mengiyakan apa yang menjadi pesan pimpinan baru tersebut. Suatu saat pejabat akan bisa berujar bahwa pada era saya, jenis huruf yang saya pakai adalah yang ini, karena huruf sebelumnya tidak rapi, boros halaman dan sebagainya.
Sebuah simbol sebagai penanda kekuasaan. Sementara itu pegawai juga akan mengenang bahwa font yang sebelumnya digunakan oleh pejabat lama sudah waktunya ditinggalkan. Jika kita bertanya pada Ludwig von Mises atau James Q. Wilson tentang fenomena ini, maka jawabannya cukup singkat. Birokrat menyukai hal-hal yang baru.
Lalu di mana letak persoalannya? Fenomena seperti ini baik yang terjadi di AS maupun di Indonesia, simbol administratif bisa berubah menjadi simbol kekuasaan. Birokrat yang seharusnya bekerja dalam lingkup adminitratif tiba-tiba menjadi ideologis.
Waktu yang dihabiskan untuk mengurusi hal seperti ini berbahaya, selain berpotensi membentuk kelompok-kelompok yang berseberangan, juga melemahkan fungsi birokrat itu sendiri. Birokrat akan sibuk mengurusi format, margin, font, layout dan sejenisnya tinimbang tugas suci melayani masyarakat.
Konsekuensi yang tidak diinginkan juga muncul, para birokrat berlomba-lomba menunjukkan “era saya” tinimbang “era kita”. Ketergantungan pada jejak seperti ini sesungguhnya berbahaya, menjadikan situasi yang tidak produktif. Sangat mungkin seorang birokrat akan dijauhkan atau dikenakan sanksi gegara simbol tulisan ini. Pimpinan akan memanfaatkan hierarki birokrasi untuk memastikan kepatuhan bawahan atas ketundukan pada idenya.




