Musik menjadi ruang hidup yang setara ketika pendidik musik Veny Lie membuktikan praktik gaya hidup inklusif melalui pengajaran piano bagi anak berkebutuhan khusus lintas usia nih, Beauty!
Sejak 2003, di Jakarta khususnya daerah Kelapa Gading, Veny membuka akses belajar musik bagi anak dengan autisme hingga Down syndrome, sekaligus menunjukkan bagaimana seni hadir sebagai aktivitas keseharian yang inklusif, aman, dan bermakna bagi keluarga.
Pendekatan ini dijalankan melalui metode personal, empatik, dan berkelanjutan, dengan tujuan membangun fokus, emosi, serta keberanian tampil.
Veny Lie sendiri memulai perjalanan musiknya sejak usia 3,5 tahun. Didukung keluarga pecinta seni, ia belajar organ elektronik secara privat dan di sekolah musik Yamaha hingga mencapai grade terakhir sebelum beralih ke piano.
Jauh sebelum menamatkan studi formal, Veny sudah mengajar sejak SMP kelas 2, berkeliling rumah ke rumah di Pematang Siantar.
“Waktu itu saya masih sangat muda, malah bangga bisa jadi guru. Murid-muridnya tetangga sendiri, dan semua mengalir saja,” kenangnya.
Perubahan arah terjadi pada 2003 ketika seorang ibu meminta Veny mengajar anak dengan autisme.
“Saya sama sekali tidak tahu seperti apa anak autisme. Saya pikir, ya sudah, datang saja dulu, kita coba,” ujarnya.
Pertemuan awal penuh tantangan. Anak sulit fokus dan terus bergerak. Pada pertemuan berikutnya, Veny memberi batas fisik sekaligus rasa aman.
“Saya pegang dari belakang, bukan untuk menahan, tapi supaya dia merasa aman. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, dia bisa duduk diam,” tutur Veny.
“Dulu fokusnya cuma lima menit. Setelah terapi musik, bisa sampai sepuluh menit dan mulai merespons,” lanjutnya.
Sejak itu, murid berkebutuhan khusus berdatangan dengan spektrum beragam. Veny menegaskan pendekatan individual.
“Saya akhirnya sadar, satu anak itu satu cara. Tidak mungkin disamaratakan,” kata Veny.
Seiring bertambahnya murid, Veny membuka sekolah musik Ven’s Club di Kelapa Gading. Selain anak, piano juga dimanfaatkan lansia untuk menjaga ketajaman otak.
“Main piano itu bikin otak kiri dan kanan tetap nyambung,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, tantangan fisik kerap terjadi, namun detail kecil menjadi kunci.
“Saya harus tanya ke diri sendiri: hari ini ngajar siapa? Bajunya boleh motif atau tidak? Parfumnya aman atau tidak?” jelasnya.
Selain itu, dampak nyata pun ikut dirasakan keluarga. “Ada orang tua bilang, sekarang anaknya nulis sudah tidak sampai merobek kertas lagi,” kata Veny.
Pada akhirnya, panggung pun dimaknai sebagai ruang belajar keberanian, “Panggung itu latihan mental," katanya.
Pada 2009, Veny dan murid-muridnya mencatatkan rekor MURI melalui konser piano anak berkebutuhan khusus, diikuti penampilan inklusif di dalam dan luar negeri.
“Sertifikat mereka sama. Tidak ada tulisan anak berkebutuhan khusus,” tegasnya.




