Kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah satu negara adalah sebuah upaya dalam penciptaan kehidupan masa depan yang lebih baik. Hal ini karena kebijakan diskriminatif dan mengorbanakan beberapa golongan sering melahirkan dampak turun temurun yang nyata. Layaknya warisan, kebijakan politik yang diambil hari ini punya pengaruh besar dalam sistem kehidupan masyarakat di masa yang akan datang.
Sayangnya, mayoritas masyarakat masih beranggapan bahwa keputusan politik ternyata memengaruhi kehidupannya bahkan generasi setelah dirinya. Melihat urgensi ini maka penulis mencoba untuk memberikan contoh terkait dengan pengambilan kebijakan yang diskriminatif. Dampaknya akan melahirkan sistem yang tidak ideal.
Melalui pendekatan feminist audit akan kita lihat sejauh mana keputusan politik memengaruhi hajat hidup masyarakat. Baik berupa tatanan kehidupan maupun stigma masyarakat. Penulis mencoba menggunakan studi kasus di Tiongkok terhadap kebijakan diksriminatif perempuan. Hal ini akan menjadi sebuah bahan refleksi bagi kita untuk bisa terus peduli dengan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah.
Pemerintah Tiongkok terus mengambil kebijakan diskriminatif bagi perempuan terutama terkait dengan kepemilikan anak. Sejak tahun 1979, Deng Xiaoping mengeluarkan kebijakan satu anak. Hal ini sebagai respons dari tingginya kelahiran anak di Tiongkok.
Fenomena ini adalah akibat dari kebijakan dari Presiden sebelum Deng Xiaoping yaitu Mao Zedong yang melihat bahwa kuantitas jumlah penduduk yang banyak akan membawa power atau kekuatan yang besar untuk negara terutama dalam bidang ekonomi. Kebijakan satu anak yang diambil di masa pemerintahan Deng Xiaoping adalah anjuran dan kepemilikan anak kedua diperbolehkan apabila anak pertama lahir adalah perempuan, kondisi anak disabilitas, dan beberapa persyaratan lainnya.
Secara umum, kebijakan ini memberikan dampak positif bagi Tiongkok dikarenakan mampu menurunkan angka kelahiran hingga 400 juta kelahiran. Meski disampaikan sebagai anjuran ternyata pelanggaran akan kebijakan ini memiliki sanksi seperti pembayaran denda maupun aborsi. Kebijakan ini berdampak pada keputusan untuk mengaborsi bayi berdasarkan jenis kelamin yang disebut sebagai sex-selective abortion.
Janin yang berjenis kelamin laki-laki akan diprioritaskan dalam proses ini yang kemudian memengaruhi ketidakseimbangan rasio laki-laki dan perempuan di Tiongkok pada masa itu. Kondisi ini menciptakan gender gap yang juga membuat masalah di kemudian hari. Salah satu masalah yang timbul adalah surplus jumlah laki-laki yang menyebabkan sulitnya laki-laki menemukan pasangan terutama laki-laki yang berdomisili di desa.
Melihat kondisi ini Pemerintah Tiongkok di tahun 2016 saat dipimpin oleh Xi Jin Ping mengeluarkan kebijakan dua anak untuk menggantikan kebijakan sebelumnya namun belum memenuhi target hingga 2021 akhirnya kebijakan diganti menjadi kebijakan tiga anak. Kebijakan tiga anak di periode ini menghasilkan tanggapan yang kontradiktif. Terlihat bahwa kebijakan ini tentu diskriminatif terhadap perempuan.
Ini dianggap memberikan beban bagi perempuan Tiongkok terutama yang aktif berkarier di perkotaan. Mereka yang hidup di pusat kota melihat bahwa ini merupakan ancaman karena biaya hidup yang mahal. Kondisi ini sangat berkaitan dengan aspek ekonomi keluarga. Efek dari kebijakan-kebijakan ini menjadikan Tiongkok sampai hari ini memiliki populasi laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Kondisi ini menjadi salah satu alasan dalam penciptaan ungkapan perempuan sisa atau sheng nu (剩女).
Perempuan sisa adalah ungkapan bagi perempuan Tiongkok yang berusia di atas 27 tahun tetapi belum menikah. Ungkapan diskriminatif ini hadir akibat dari pengambilan kebijakan yang timpang oleh pemangku kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang diambil beberapa dekade belakang terbukti memberikan akibat jangka panjang bagi perempuan.
Kondisi ini dapat dilihat dengan pendekatan feminist audit ala Christina Enloe dengan beberapa pengembangan. Enloe menyampaikan bahwa kebijakan yang tidak mengakomodir nilai keadilan dan feminisme akan melahirkan kebijakan yang cenderung diskriminatif. Keberadaan pendekatan ini adalah untuk melahirkan evaluasi dan investigasi kebijakan yang man oriented.
Enloe banyak mengaitkan pendekatan ini terkait isu-isu militeristik salah satunya terkait kepemilikan senjata namun ternyata feminist audit dapat digunakan sebagai pisau analisis secara komperhensif dalam keputusan pemilik kuasa. Hal ini karena dikotomi kelompok laki-laki sebagai pelindung dan kelompok perempuan sebagai yang dilindungi menjadi narasi yang dinormalisasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Normalisasi kebijakan yang sebenarnya bias gender dan sarat akan nilai patriarki serta diskriminatif.
Oleh karena itu, evaluasi dan investigasi kebijakan terkait kebijakan satu, dua maupun tiga anak yang diambil oleh Pemerintah Tiongkok dengan pendekatan feminis merupakan salah satu upaya untuk melawan dominasi dari maskulinitas atau kebijakan yang man oriented. Pengambilan kebijakan yang memberatkan perempuan di Tiongkok tentu diinisiasi oleh dominasi nilai maskulinitas yang dibawa oleh Pemimpin Tiongkok dalam pengambilan kebijakan sehingga cenderung mengabaikan sisi feminisme yang seharusnya terkandung di dalamnya.
Perempuan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan apalagi dalam kondisi krisis. Dalam proses kelahiran anak seharusnya pihak yang paling berperan adalah perempuan karena perempuan yang berproses langsung di dalamnya. Sejatinya, perempuan seharusnya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Berhak untuk menentukan keinginan untuk menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan persoalan ranah private lainnya sehingga normalisasi kebijakan satu, dua maupun tiga anak merupakan suatu bentuk diskriminasi yang diusung oleh Pemerintah Tiongkok.
Kebijakan-kebijakan ini secara berkelanjutan menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan. Anggapan perempuan sisa adalah salah satu bentuk kekerasan kultural dan struktural yang tercipta dari kebijakan pemerintah yang turut dilanggengkan oleh masyarakat. Perempuan yang kemudian mengambil peran biologis paling lama dalam proses kelahiran anak ditempatkan sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa atas apa pun termasuk mengambil kebijakan atas dirinya sendiri.
Saat kebijakan satu anak muncul perempuan dipaksa untuk puas dengan satu anak, kadang dipaksa untuk menghilangkan anaknya sendiri dengan segudang bahaya kesehatan yang menanti. Begitu juga yang terjadi atas kebijakan dua anak maupun tiga anak. Perempuan hanya diposisikan sebagai mesin pencetak anak.
Hal ini yang perlu dievaluasi sejatinya bukan hanya pada kebijakan kepemilikan anak melainkan pada keseluruhan kebijakan pemerintah yang sarat akan ketimpangan gender yang diakibatkan oleh ketimpangan relasi kuasa. Ketimpangan relasi kuasa ini sejatinya dekat dengan kita hanya kita terkurung pada normalisasi ide bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang harus dilindungi; seringkali bias dan disalahgunakan. Pertanyaannya definisi perempuan harus dilindungi menurut siapa dan bagaimana cara perlindungannya? Apakah perlindungan setiap perempuan sama bentuknya?
Refleksi hari ini adalah bukan saja menghadirkan perempuan dalam setiap kebijakan tetapi menghadirkan perempuan dalam diskusi pengambilan kebijakan adalah sebuah keharusan. Menempatkan perempuan dalam posisi pengambil kebijakan tanpa menekan keleluasan perempuan dalam berpolitik adalah sebuah keharusan. Menjadikan perempuan sebagai pengambil kebijakan hanya untuk menutup kuota perempuan di kursi-kursi tertentu adalah sebuah bentuk diskriminasi baru. Perempuan hanya diberikan kursi tetapi tidak diberikan ruang yang setara dan berkeadilan.
Upaya evaluasi kebijakan diskriminatif dan bias gender adalah jalan panjang perjuangan bukan saja untuk kaum perempuan tetapi untuk semua golongan. Perempuan memiliki kesempatan yang sama terutama dalam ranah politik demi membawa rasa keadilan bukan semata rasa keterwakilan. Hal paling urgen dari tulisan ini dalam memberikan kesadaran bahwa kehidupan kita hari ini adalah hasil dari keputusan-keputusan politik pemerintah di masa yang akan datang.
Kondisi dan sistem kehidupan di masa yang akan datang adalah hasil dari keputusan-keputusan politik pemerintah saat ini. Seharusnya kita mampu lebih peduli terhadap kehidupan generasi setelah kita diawali dengan kepekaan kita terhadap kondisi politik dewasa ini. Selayaknya warisan maka jangan meninggalkan warisan buruk dan yang menyengsarakan generasi setelah kita.




