Di dunia nyata, pacaran sudah menjadi hal yang nyaris dianggap “normal”, terutama di kalangan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda. Mulai dari sekadar chat intens, jalan berdua, pegangan tangan, sampai hubungan yang lebih jauh, semua sering dibenarkan dengan alasan “yang penting saling sayang” atau “biar saling mengenal sebelum menikah”. Namun, jika dilihat dari kacamata fikih, praktik pacaran yang lazim terjadi hampir selalu bersinggungan dengan hal-hal yang dilarang: khalwat (berduaan tanpa mahram), sentuhan fisik, pembicaraan yang menggoda syahwat, dan interaksi tanpa kejelasan ujungnya.
Mayoritas ulama memandang bahwa pola pacaran seperti ini mendekatkan pada zina dan membuka banyak pintu kemaksiatan. Karena itu, pacaran dalam bentuk yang longgar, romantis, dan penuh rayuan biasanya dikategorikan sebagai sesuatu yang harus dihindari. Di sisi lain, ada juga anak muda yang merasa terjebak: ingin menjaga diri, tetapi pada saat yang sama hidup di lingkungan yang menganggap pacaran sebagai syarat kedewasaan. Di sinilah tulisan dengan judul ini dapat menggambarkan konflik batin generasi muda secara jujur, tanpa menghakimi, sambil menjelaskan posisi fikih secara lugas.
Ta’aruf sebagai jalan alternatif yang ideal dan realitasnyaSebagai respon terhadap kritik terhadap pacaran, ta’aruf kemudian banyak diperkenalkan sebagai alternatif yang dianggap lebih sesuai syariat. Secara ideal, ta’aruf dipahami sebagai proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan yang jelas: pernikahan. Prosesnya biasanya melibatkan pihak ketiga (keluarga, ustaz, atau teman terpercaya), ada batasan dalam komunikasi, tidak ada sentuhan fisik, dan fokus pada nilai-nilai penting seperti akidah, akhlak, visi hidup, serta kesiapan membangun rumah tangga.
Dalam teori, ta’aruf tampak rapi dan aman. Namun di lapangan, praktik ta’aruf juga tidak selalu seideal bayangan. Ada yang menyebut prosesnya ta’aruf, tetapi komunikasinya tetap intens tanpa pendamping, bahkan sampai curhat personal yang dalam dan membangkitkan rasa keterikatan emosional yang mirip pacaran. Ada pula fenomena “pindah ta’aruf”, yaitu berpindah dari satu calon ke calon lain dengan pola komunikasi yang berulang, sampai muncul kelelahan dan luka yang tak kalah rumit dengan putus pacaran.
Penjelasan dalam tulisan dapat menggarisbawahi bahwa ta’aruf bukan sekadar label, tetapi soal bagaimana menjaga adab, niat, dan struktur hubungan. Selama proses saling mengenal dilakukan dengan menjaga batasan syariat, menghindari rayuan, dan melibatkan pihak yang bisa dipercaya, ta’aruf bisa menjadi jalan yang lebih aman. Namun jika hanya mengganti istilah tanpa mengubah praktik, maka masalahnya tetap sama.
“Tidak keduanya” sebagai pilihan yang sering terlupakanBagian menarik dari judul ini adalah frasa “atau Tidak Keduanya?”. Ini membuka ruang bagi pembaca untuk menyadari bahwa tidak harus semua orang sekarang juga memilih antara pacaran atau ta’aruf intens. Ada pilihan lain yang sering terlupakan: fokus memperbaiki diri terlebih dahulu, membangun karakter, memperkuat ilmu dan keimanan, memperjelas arah hidup, sambil menjaga interaksi dengan lawan jenis dalam koridor umum yang wajar.
Dalam perspektif fikih, menjaga diri dari hal-hal yang mendekatkan pada zina, menghindari hubungan yang tidak jelas arah dan komitmennya, serta menahan diri dari interaksi yang berpotensi menjerumuskan hati, merupakan sikap yang sangat dihargai. Pilihan untuk tidak pacaran dan belum ta’aruf, sembari terus mempersiapkan diri menjadi pribadi yang layak menikah, adalah bentuk ikhtiar yang dewasa. Tulisan dapat menegaskan bahwa keimanan dan kedewasaan tidak diukur dari “sudah punya pasangan atau belum”, tetapi dari sejauh mana seseorang mampu menjaga diri dan memegang prinsip.





