Pekerjaan dan kehidupan merupakan dua aspek yang saling berkaitan antara satu sama lain. Tiap-tiap individu memiliki tuntutan untuk bekerja tanpa mempertimbangkan bidang atau minatnya demi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Absher dalam Metris et al., 2024). Pekerjaan merupakan kegiatan yang menentukan nasib dan keberlangsungan hidup individu (Budiarjo & Ulinnuha, 2023).
Kenyataan pada masa ini di mana kondisi ekonomi sedang tidak stabil, ditandai dengan inflasi meningkatnya harga kebutuhan pokok manusia membuat seseorang berada dalam kondisi tekanan untuk kerja berlebih (overwork). Diperparah dengan budaya konsumtif yang semakin tak terkendali, di mana standar gaya hidup semakin meningkat dan mendorong seseorang untuk keep up dan menyesuaikan diri dengan pola konsumtif tersebut.
Tekanan ekonomi dan budaya konsumtif ini menciptakan lahan subur bagi munculnya praktik kerja berlebihan yang lama-kelamaan dianggap wajar dan ideal. Pada titik ini, tekanan sosial ekonomi membentuk persepsi bahwa individu harus bekerja keras secara terus-menerus untuk dianggap produktif dan sukses.
Muncul keyakinan bahwa mereka yang terlihat selalu sibuk dan bekerja tanpa henti adalah orang yang “sukses”(Kundu, 2023). Pola pikir ini kemudian berkembang menjadi perilaku kerja berlebihan yang dikenal sebagai workaholic, atau dalam konteks masyarakat Amerika Serikat disebut sebagai hustle culture.
Hustle culture dipahami sebagai budaya yang mengglorifikasi kerja keras ekstrem sebagai tolak ukur kesuksesan. Fenomena ini meluas bersamaan dengan berkembangnya industri, ekspansi korporasi, dan konsumerisme yang mendorong terbentuknya gaya hidup tidak sehat (Thieme & Masciotra dalam Iqbal & Rinaldi, 2025).
Di sisi lain Toxic positivity turut memperkuat cara seseorang merespons tuntutan hidup. Cherry K. (dalam Samha et al., 2022) mendefinisikan toxic positivity sebagai keyakinan bahwa seseorang harus terus berpikir positif meskipun berada dalam keadaan sulit. Cara pandang ini mendorong individu mengabaikan kondisi fisik dan emosionalnya yang kelelahan, lalu menilai produktivitas berlebihan sebagai sesuatu yang “baik” dan “seharusnya”. Perasaan lelah bahkan dianggap sebagai tanda kelemahan atau kegagalan. Akibatnya, individu terdorong menyembunyikan kondisi bahwa ia sedang tidak baik-baik saja demi memenuhi ekspektasi untuk selalu tampak kuat dan sukses.
Ditambah lagi dengan munculnya konten-konten di media sosial yang mengglorifikasi produktivitas berlebih dan standar gaya hidup tinggi yang ditunjukkan oleh influencer melalui laman mereka. Hal-hal tersebut semakin mendorong hustle culture bagi orang-orang yang ingin mengikuti gaya hidup influencer tersebut. Dengan demikian, toxic positivity justru menjadi justifikasi yang menormalisasi kerja berlebihan sebagai bagian dari "kesuksesan" dan menjadi ideologi yang memupuk hustle culture.
Dalam perspektif teori konstruksi sosial, media sosial kini menjadi arena yang mereproduksi realitas mengenai kesuksesan dan produktivitas. Di mana visualusasi mengenai kesuksesan dikonstruksi melalui sebuah pencapaian yang luar biasa. Representasi ini kemudian dieksternalisasikan melalui konten-konten di media sosial, diobjektivikasi sebagai standar sosial yang ideal, kemudian diinternalisasi oleh masyarakat sebagai bentuk kesuksesan yang benar dan harus diterapkan oleh semua orang, sehingga kegagalan kian tidak mendapatkan validasi.
Fenomena hustle culture yang semakin mengakar dalam kehidupan masyarakat modern tidak dapat dilepaskan dari peran toxic positivity yang menuntut individu untuk terus berpikiran positif meskipun berada dalam kondisi yang sulit. Tekanan ekonomi, budaya konsumtif, dan ekspektasi media sosial menjadikan hustle culture bukan lagi menjadi sebuah pilihan, melainkan kewajiban yang dinormalisasi. Dengan demikian, struktur ekonomi membentuk tekanan materialnya, sementara toxic positivity memberi justifikasi emosional yang membuat masyarakat menerima kerja berlebihan sebagai hal yang wajar.
Dalam konteks inilah hustle culture menjadi manifestasi dari toxic positivity.





