Kreator konten bernama Adimas Firdaus atau dikenal sebagai Resbob ditangkap karena ujaran kebencian. Semakin hari, konten media sosial lebih berorientasi ekonomi perhatian dan mengesampingkan tanggung jawab sosial.
Tidak sekali ini kreator konten tanah air menuai polemik dan berujung pada persoalan hukum. Mengejar viral demi engagement yang mendatangkan cuan, hingga meninggalkan etika dan tanggung jawab sosial.
Masih ingat bukan, tentang kreator digital ditangkap karena dinilai melakukan pornoaksi secara langsung di dunia maya? Atau, ada pesohor yang tampil dengan muka lebam dengan narasi habis dipukuli, namun kemudian ketahuan bahwa hal itu tidak benar.
Begitu banyak sajian informasi di media sosial dengan muatan mencaci maki orang, menebar kabar bohong, marah-marah, menjelekkan, dan hal-hal yang di luar batas etika yang selama ini diajarkan di rumah maupun bangku sekolah. Tak sedikit pula, pelaku ujaran kebencian itu ditangkap, lalu pada postingan berikutnya keluar dengan video penyesalan dan rasa bersalah (yang entah benar atau tidak).
Tindakan hukum pun tak membuat jera. Meski sudah berkali-kali muncul video permintaan maaf (dari pembuat konten digital yang dinilai melanggar aturan), namun, hal itu tidak menghentikan konten-konten negatif terus bermunculan. Justru, seolah-olah teramplifikasi dan menyebar ke mana-mana. Dan kali ini, dilakukan oleh Resbob dengan menyebar ujaran kebencian untuk orang Sunda.
Kenapa hal seperti itu terus terjadi? Kenapa kreator konten tidak jera dan mengejar viral meski melanggar hukum atau etika?
Pakar Manajemen Isu dan Krisis Komunikasi Universitas Brawijaya Maulina Pia Wulandari, mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh ekosistem komunikasi digital di mana memberikan insentif struktural justru pada konten-konten beremosi tinggi. Terutama konten memicu kemarahan, konflik, dan polarisasi.
“Media sosial bekerja dalam kerangka attention economy atau ekonomi perhatian. Dalam ekonomi ini, perhatian audiens adalah sumber daya berharga. Platform media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menghasilkan engagement (keterikatan) maksimum. Ini seringkali melalui konten dengan emosi kuat, baik itu kekaguman, tawa, atau, yang paling mudah adalah kemarahan dan kontroversi,” kata Pia, panggilan akrabnya.
Menurut Pia, perhatian pengguna adalah ‘mata uang’, yang dikonversi menjadi impresi iklan/monetisasi. “Beberapa penelitian akademis menunjukkan adanya pergeseran insentif di mana algoritma platform medsos (misalnya, TikTok, YouTube Shorts, Instagram Reels) cenderung mempromosikan konten "memecah belah" atau provokatif, Itu karena secara inheren akan menghasilkan reaksi lebih cepat dan intensif (komentar, share, perdebatan) dibandingkan konten informatif netral. Algoritma berbasis engagement dapat mengamplifikasi konten yang mengekspresikan kemarahan dan permusuhan terhadap kelompok lain, karena konten semacam itu “menggerakkan” interaksi,” katanya.
Menurut Pia, bagi kreator konten, viralitas instan artinya adalah peningkatan jumlah pengikut, dan potensi monetisasi (iklan, endorsement), dan pengakuan sosial. Oleh karena itu, konten “melanggar norma” (provokasi, penghinaan, ujaran kebencian, atau drama) menurut Pia menjadi strategi ‘murah’ dan mudah untuk memancing interaksi.
Apalagi, menurut Pia, dari sisi psikologi komunikasi, muncul istilah online disinhibition effect (John Suler, 2004). Itu adalah kondisi di mana berkurangnya kekangan saat seseorang berada di media sosial. Orang-orang menjadi lebih terbuka, dan bebas berekspresi. Oleh karena itu, saat bermedia sosial, orang dapat mengungkapkan dan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan di dunia nyata.
Kenapa situasi online disinhibition effect itu bisa muncul? Menurut Pia, ada beberapa faktor penyebab yaitu anonimitas (identitas tidak diketahui) atau ‘jarak’ sosial, invisibilitas, asinkronitas, serta minimnya otoritas langsung. Faktor-faktor itu membuat orang lebih mudah “lepas kontrol” dibanding saat berkomunikasi tatap muka secara langsung. Tak heran jika kemudian, terkadang orang di media sosial bisa sangat berani bicara, namun saat ditemui di dunia nyata mereka menjadi sangat pendiam.
“Meskipun kreator konten seperti Resbob tidak anonim, namun lingkungan digital secara umum menciptakan online disinhibition effect, di mana batas-batas perilaku sosial yang membatasi/menahan/mengekang seseorang seperti rasa malu, takut akan sanksi sosial, kini menjadi kabur. Ketika batas itu kabur, kreator merasa lebih bebas untuk melanggar norma demi perhatian. Apalagi, dalam bentuk “toxic disinhibition” seperti ujaran kasar, merendahkan kelompok, dan lainnya,” kata Pia.
Kelanjutan dari toxic disinhibition itu menurut Pia adalah dehumanisasi. “Seringkali konten kreator dengan toxic disinhibition ini menggunakan kelompok atau individu sebagai target untuk gimmick mereka. Misalnya, menghina suku, ras, atau agama. Tindakan ini adalah bentuk dehumanisasi. Yaitu, kelompok target direduksi menjadi alat untuk menciptakan engagement, melanggar prinsip dasar komunikasi etis yang menuntut perlakuan hormat terhadap subyek komunikasi,” katanya.
Tren medsos menghalalkan segala cara untuk mendapat cuan ini menurut Pia bukan semata-mata terjadi karena turunnya moral individu. Tetapi, karena ekologi media telah mengalami perubahan sangat signifikan. “Platform medsos memberi insentif, audiens memberi penguatan, komunikator yang rentan (butuh pengakuan/status/uang) terdorong melakukan transgresi (melanggar norma) sebagai “mesin pertumbuhan,” katanya.
Dan untuk menghentikan tren ini, menurut Pia, semua pihak harus bekerjasama. Mulai dari individu, komunitas, platform company atau perusahaan platform medsos, dan regulator.
“Platform medsos harus didorong (melalui tekanan publik atau regulasi) untuk memodifikasi algoritmanya agar tidak hanya memprioritaskan engagement kontroversial. Algoritma harus memasukkan faktor nilai sosial, informasi kredibel, dan keaslian sebagai metrik promosi. Serta, mengurangi insentif untuk konten viral negatif dengan jalan membatasi merekomendasikan konten bermuatan kebencian/pelecehan pada pengguna platform, atau memperingatkan atau menurunkan rangking untuk konten yang memicu dehumanisasi,” katanya.
Pertanyaannya kemudian, bisakah kita menekan perusahaan platform untuk itu? Harusnya bisa, jika memang ada niat dan usaha.
Regulasi Emosi
Kenapa persoalan konten ini harus diatur? Karena paparan konten ini tanpa sadar akan mempengaruhi regulasi emosi dan mental masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh dokter spesialis jiwa RSU Hermina Tangkubanperahu Malang dr Dennada bagus Putra Perdana SpKJ, dalam webinar sinau untuk masyarakat umum yang digelar oleh IDI Malang Raya dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Malang, Minggu (17/12/2025).
Menurut Dennada, secara umum, maraknya aneka konten digital sekarang ini akan membuat kita bisa mengalami overload digital. Itu adalah kondisi di mana kemampuan kognitif dan emosional tak mampu mengikuti intensitas dan volume input digital.
“Era digital ini kita dipaksa multitasking, mulai dari membalas chat, scrolling medsos, mendengarkan podcast, dan lainnya. Dalam 60 detik, otak menerima lebih dari 20 stimulus digital. Kita pun terbisa scrolling cepat, membuka puluhan video dalam 10 detik. Otak kita dipaksa switching atau berganti-ganti mencerna info puluhan kali per menit. Ini akan menyebabkan oleh kelelahan,” kata Dennada.
Menurut Dennada, overload digital ini akan memberikan beberapa dampak. Di antaranya adalah sulit fokus, depresi, gangguan regulasi emosi (regulasi emosi yang buruk), gangguan tidur, disfungsi hubungan sosial, dan isolasi sosial.
Regulasi emosi buruk ini menjadikan orang mudah tersulut emosinya baik itu marah, sedih, gembira, dan lainnya. Regulasi emosi buruk itu, pada titik tertentu, menurut Dennada akan mengganggu.
“Biasanya kalau tahapannya sudah parah, maka akan membuat mereka lari ke dokter jiwa untuk menjalani terapi gangguan mental. Itu sebabnya, penting bagi kita sendiri untuk membatasi konten yang akan kita tonton atau diet digital. Ketika diri kita mulai merasa terganggu, sebaiknya kita skip. Harus sadar untuk apa kita bermedsos dan apa yang kita cari. Tentukan batasan kita dalam bermedsos,” kata Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.
Pada akhirnya, berselancar di dunia digital tetap harus mematuhi rambu-rambu etika dan memegang prinsip tanggung jawab sosial. Baik itu bagi penyedia konten, maupun penontonnya. Jika tidak, maka ancaman hukum akan menanti. Bahkan lebih serius lagi, kita bisa terkena gangguan mental.




