Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Perantauan orang Bugis pada abad ke-18 bukan sekadar perpindahan tempat tinggal, melainkan strategi bertahan hidup yang berkembang menjadi jalan menuju kekuasaan. Dari Sulawesi Selatan, orang Bugis bergerak menyusuri jalur laut Nusantara hingga ke Semenanjung Malaka, Sumatra Timur, dan Kepulauan Riau. Di wilayah-wilayah inilah mereka perlahan mengubah posisi, dari perantau dan tentara bayaran menjadi elite politik Kesultanan Johor.
Gelombang perantauan Bugis dipicu oleh konflik internal di Sulawesi. Salah satu peristiwa penting adalah terusirnya bangsawan Bugis Upu Tenribong Daeng Rilaka dari Boni sekitar 1676. Bersama lima putranya: Daeng Perani, Daeng Menambon, Daeng Marewa, Daeng Pali, dan Daeng Kamasih. Mereka meninggalkan tanah asal untuk menghindari hukuman adat akibat konflik politik dan skandal istana. Perantauan ini membawa keluarga Daeng Rilaka ke berbagai pusat kekuasaan di Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaka.
Di Kalimantan Barat, orang Bugis berhasil menembus struktur politik lokal. Daeng Menambon naik takhta sebagai Sultan Mempawah, sementara Daeng Kamasih kemudian menjadi Sultan Sambas. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa perantauan Bugis tidak berhenti pada aktivitas dagang dan militer, tetapi berlanjut pada penguasaan institusi kekuasaan.
Sementara itu, Johor pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 berada dalam kondisi rapuh. Konflik antara Sultan, Bendahara, dan Laksamana, ditambah trauma kehancuran ibu kota akibat serangan Jambi pada 1673, melemahkan stabilitas kerajaan. Dalam situasi inilah orang Bugis masuk sebagai kekuatan militer yang dibutuhkan. Mereka terlibat dalam perang Johor–Jambi dan memperoleh reputasi sebagai pelaut dan pejuang yang tangguh.
Keberhasilan militer membuka jalan bagi migrasi Bugis yang lebih besar. Perkampungan Bugis tumbuh di kawasan strategis seperti Klang di Selangor, pusat perdagangan timah yang penting. Dari basis-basis ini, orang Bugis membangun jaringan dagang, menguasai jalur laut, dan memperkuat solidaritas antarkelompok Bugis di berbagai wilayah.
Puncak peran Bugis di Johor terjadi pada konflik perebutan kekuasaan antara Raja Kecil dari Siak dan Sultan Abdul Jalil. Awalnya, Raja Kecil menjanjikan jabatan Yamtuan Muda kepada bangsawan Bugis sebagai imbalan bantuan militer. Namun pembatalan sepihak atas perjanjian itu justru berujung pada perlawanan. Orang Bugis kemudian bersekutu dengan Tengku Sulaiman, putra Bendahara Pahang, untuk menjatuhkan Raja Kecil.
Pada 1721, Raja Kecil berhasil diusir dari Johor. Tengku Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Johor, sementara jabatan Yamtuan Muda diserahkan kepada Daeng Marewa. Sejak saat itu, jabatan tersebut menjadi posisi turun-temurun di tangan bangsawan Bugis, menandai perubahan mendasar dalam struktur kekuasaan Johor-Riau.
Perjanjian Bugis–Melayu yang ditandatangani pada 4 Februari 1721 mengukuhkan posisi orang Bugis. Mereka memperoleh hak otonom dalam komunitasnya, kebebasan berdagang, serta kendali atas kekuatan laut dan ekonomi maritim. Secara de facto, orang Bugis menjadi kekuatan penentu dalam politik dan ekonomi Kesultanan Johor.
Pada abad ke-18, perantauan Bugis mencapai puncaknya. Dari pelaut dan pedagang, mereka menjelma menjadi penguasa dan penyangga utama kerajaan. Sejarah Bugis di Johor-Riau membuktikan bahwa perantauan bukan hanya soal meninggalkan kampung halaman, tetapi juga tentang kemampuan membaca peluang, menguasai laut, dan menegosiasikan kekuasaan dalam pusaran politik regional. (*)



