Survei terbaru Segara Research Institute, yang dirilis pada 9 Desember 2025, menunjukkan bahwa banyak peminjam datang ke platform pinjaman daring (pindar) dalam kondisi terdesak, sehingga mereka lebih mengutamakan kecepatan pencairan dan kemudahan syarat ketimbang memahami struktur biaya dan cicilan secara menyeluruh.
Dari 2.119 responden di 20 kabupaten/kota, lebih dari 73,5% peminjam mengaku memilih layanan ini bukan karena mempertimbangkan suku bunga atau skema pembayaran, tetapi karena butuh dana cepat untuk menutup kebutuhan darurat seperti ongkos kesehatan, biaya hidup, atau tagihan yang sudah jatuh tempo.
Dalam situasi mendesak semacam itu, banyak peminjam cenderung melewati rincian kontrak dan tidak menyadari bahwa pola cicilan yang mereka setujui bukan cicilan wajar yang tersebar merata, menyebabkan mereka rentan terjebak skema tadpole dengan beban sangat besar di awal tenor.
Secara sepintas, angka bunga di skema tadpole tampak patuh terhadap batas resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, di balik itu tersembunyi struktur pembayaran “kepala kecebong”: cicilan atau potongan besar di awal yang langsung mengerek rasio cicilan terhadap penghasilan, terutama bagi kelompok berpendapatan menengah ke bawah yang menjadi mayoritas pengguna.
Regulator memandang tadpole sebagai praktik yang bertentangan dengan pelindungan konsumen. Skema ini mengalihkan risiko dari platform ke peminjam secara tidak seimbang: platform dan pemberi pinjaman (lender) menikmati arus kas yang cepat, sementara peminjam menghadapi risiko gagal bayar sejak bulan pertama dan kerap terpaksa mencari pinjaman baru, bahkan ke pinjaman online ilegal (pinjol), untuk menutup kewajiban yang sejak awal tidak mereka pahami sebagai bagian dari skema tadpole.
Skema tadpole memiliki beberapa variasi yang berbeda jauh dari skema normal yang konsisten:
- Tipe 1 (jumlah tidak merata + interval tidak merata): Menghasilkan tekanan arus kas yang tidak terduga karena pembayaran di awal yang lebih berat, dengan jumlah angsuran dan interval yang bervariasi.
- Tipe 2 (jumlah merata + interval tidak merata): Angsuran sama, tetapi frekuensi pembayaran di awal dipercepat (front-loaded frequency), sehingga mengurangi waktu peminjam menggunakan dana.
- Tipe 3 (biaya di muka besar, dana tidak sepenuhnya dicairkan): Peminjam menerima dana lebih sedikit (misalnya, hanya menerima 70 dari 100) tetapi harus membayar kembali seluruh pokok pinjaman, menciptakan ketidakseimbangan ekonomi. Pada skema tadpole tipe ini, peminjam yang mengajukan pinjaman sebesar Rp1.000.000 bisa jadi hanya akan menerima Rp900.000, namun besarnya angsuran pertama yang harus ia bayarkan hampir sama dengan jumlah pinjaman penuh.
Dengan asumsi pinjaman sebesar Rp1.000.000, berikut adalah perbandingan proyeksi besarnya angsuran dan interval pembayaran untuk skema wajar (non-tadpole) dan ketiga tipe skema tadpole:
Selain itu, dalam skema pindar, batas utama yang mengikat adalah “manfaat ekonomi maksimum”, yakni seluruh imbal hasil yang diterima platform dan/atau lender dari peminjam. Komponen ini mencakup bunga, biaya layanan, komisi, dan biaya lain (kecuali denda, pajak, dan materai). OJK menetapkan plafon manfaat ekonomi sebagai berikut:
Pada praktiknya, bunga pindar umumnya dihitung flat harian, yaitu bunga harian = pokok × tarif harian. Total bunga = bunga harian × tenor, selama tidak melampaui batas manfaat ekonomi. Selain itu, OJK juga membatasi total kewajiban agar pokok + manfaat ekonomi + denda tidak boleh melebihi 100% dari nilai pendanaan.
Agar tetap menarik bagi lender, platform biasanya menargetkan imbal hasil tahunan 15-20%, jauh lebih tinggi dari deposito atau Surat Berharga Negara (SBN). Karena itu, paduan antara tarif bunga, jenis biaya, dan pola cicilan menjadi aspek desain produk yang sangat menentukan.
Secara administratif, skema tadpole bisa saja tampak “mematuhi” batas manfaat ekonomi harian OJK. Ini karena batas dihitung sebagai rata-rata manfaat ekonomi per hari terhadap pokok dan tenor, bukan berdasarkan bentuk atau distribusi cicilan di sepanjang tenor. Celah ini kemudian dimanfaatkan melalui dua cara:
- Memperbesar porsi pokok di cicilan awal, sehingga platform dan lender menerima pengembalian lebih cepat.
- Mengalihkan sebagian biaya/bunga ke komponen pembayaran di awal,misalnya biaya administrasi, biaya layanan, atau komisi, tanpa mengubah angka bunga harian resmi di kontrak.
Di atas kertas, skema tadpole tampak sesuai aturan. Tetapi secara substansi, beban finansial yang ditanggung peminjam menjadi jauh lebih berat. Ketika cicilan pertama dan kedua dibuat besar dan jatuh pada periode penghasilan yang sama, debt service ratio (DSR) peminjam melonjak. Akibatnya, risiko gagal bayar meningkat dan banyak peminjam terdorong mencari pinjaman baru, sering kali melalui pinjol untuk menutup kewajiban awal tersebut.
Dengan kata lain, tadpole bukan hanya mengubah urutan pembayaran, tetapi juga menggeser risiko ke peminjam secara tidak proporsional, sehingga bertentangan dengan semangat pelindungan konsumen yang menjadi dasar regulasi pindar dan jasa keuangan secara menyeluruh.
Struktur Informasi yang Timpang dan Tidak TransparanIndustri dan asosiasi fintech sering menekankan kontribusi pindar dalam membuka akses pembiayaan bagi jutaan orang yang sebelumnya tidak tersentuh perbankan. Data pembiayaan ke sektor produktif memang menunjukkan peran besar fintech lending dalam menopang modal kerja usaha mikro dan mempercepat perputaran ekonomi.
Namun, struktur cicilan tadpole berpotensi membalik manfaat tersebut. Cicilan awal yang besar dapat mengubah solusi pembiayaan menjadi jerat keuangan, terutama bagi rumah tangga dengan pendapatan tidak pasti. Banyak peminjam akhirnya mengambil pinjaman baru, baik legal maupun ilegal, untuk menutupi kewajiban awal. Kondisi ini menggandakan beban bunga dan memperkecil peluang keluar dari siklus utang.
Di berbagai aplikasi pindar yang menerapkan skema tadpole, tampilan utama mereka biasanya menonjolkan kecepatan pencairan, batas kredit, dan estimasi cicilan. Namun, informasi penting seperti Internal Rate of Return (IRR), rincian distribusi pokok dan bunga, atau total biaya dalam rupiah cenderung tersembunyi atau disajikan dalam format yang tidak intuitif. Tanpa standar label informasi yang seragam, konsumen mustahil melakukan perbandingan yang adil hanya dengan mengandalkan tampilan simulasi cicilan.
Struktur informasi semacam ini membuat konsumen kesulitan memahami besaran bunga yang sebenarnya mereka tanggung. Akibatnya, posisi tawar mereka sebagai konsumen terhadap penyelenggara jasa keuangan menjadi lemah dan keputusan pinjaman kerap diambil dengan informasi yang terbatas. Dalam situasi ini, penurunan batas bunga secara nominal berisiko hanya menjadi perubahan di permukaan jika cara perhitungan dan penyajian seluruh komponen biaya tidak turut dibenahi.
Dalam konteks inilah, posisi konsumen yang lemah perlu dilihat berdampingan dengan narasi besar tentang peran positif pindar. Struktur informasi yang tidak seimbang bukan berarti menafikan kontribusi pindar, tetapi justru menjadi pengingat bahwa perlu ada keseimbangan antara kemudahan akses dan kejelasan risiko yang ditanggung peminjam.
Risiko ini semakin parah karena tingkat literasi keuangan di Indonesia belum setara dengan tingkat penggunaan layanan keuangannya. Riset Studi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang dirilis pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin banyak menggunakan layanan keuangan, tetapi tidak selalu memahami struktur biaya dan risiko yang melekat pada produk yang mereka ambil.
Riset tersebut mencatat bahwa meskipun inklusi keuangan di Indonesia terus meningkat, dari 59,7% pada 2013 menjadi 80,51% pada 2025, literasi keuangan masyarakat masih tertinggal, baru mencapai 66,46% pada 2025. Kesenjangan inilah yang menjadi celah utama meningkatnya kerentanan terhadap produk keuangan yang tidak transparan, seperti skema tadpole, dan praktik pinjol.
Ketika struktur cicilan dibuat tidak linear seperti dalam skema tadpole, ketimpangan informasi ini makin diperburuk. Banyak peminjam menilai pinjaman hanya dari besaran bunga yang tertera, tanpa menyadari bahwa profil cicilan bulanan bisa jauh lebih memberatkan dibandingkan angka bunga di kontrak.
Tadpole Pisau Bermata Dua bagi LenderSkema tadpole menjadi jauh lebih strategis sekaligus berisiko ketika pemberi dana atau lender bukan lagi individu, melainkan institusi keuangan yang berperan sebagai superlender dengan porsi pendanaan dominan di banyak platform pindar. CELIOS dan OJK mencatat bahwa perbankan kini menyumbang lebih dari 60% outstanding pendanaan fintech lending, dengan nilai puluhan triliun rupiah dan target imbal hasil yang bersaing dengan instrumen kredit atau surat berharga lain.
Bagi bank dan lembaga keuangan lain, skema tadpole di atas kertas tampak menarik karena mempercepat perputaran kas dan meningkatkan portofolio IRR, terutama ketika cicilan awal yang besar membuat pengembalian pokok dan bunga terkonsentrasi di bulan-bulan pertama.
Namun, ketika tekanan cicilan awal memicu lonjakan gagal bayar dan rasio TWP90 mulai merangkak naik, risiko tidak hanya berhenti di level platform, tetapi ikut mengenai neraca institusi pemberi dana, baik dalam bentuk penurunan kualitas aset maupun kebutuhan pencadangan kerugian kredit yang lebih besar.
Posisi perbankan dan lembaga keuangan lain sebagai superlender menempatkan mereka pada standar risiko reputasi dan regulasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan lender individu, karena setiap masalah di portofolio pindar akan langsung dikaitkan dengan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan institusi yang diawasi ketat oleh OJK.
Berbeda dengan lender individu yang pada dasarnya dipandang sebagai investor ritel, superlender institusional wajib memenuhi berbagai ketentuan prudensial, pelaporan, dan uji kepatuhan; sehingga bila mereka terasosiasi dengan praktik skema cicilan yang dianggap menyesatkan seperti tadpole, konsekuensinya tidak berhenti pada kerugian finansial, tetapi bisa merembet ke penilaian regulator terhadap kualitas pengawasan internal dan integritas bisnis mereka.
Karena itu, jika praktik tadpole dinilai regulator dan publik sebagai bentuk predatory lending , yang dapat berujung pada gagal bayar, maka sentimen negatif tidak hanya diarahkan ke platform, tetapi juga ke institusi keuangan yang memasok dananya, sehingga membuka ruang bagi pengawasan yang lebih ketat, pembatasan eksposur, atau kewajiban tata kelola tambahan dari otoritas.
Dalam skenario ekstrem, pengetatan aturan atau pembatasan kerja sama dengan platform berisiko dapat memaksa institusi keuangan melakukan penataan ulang portofolio secara mendadak, yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutan model bisnis pindar itu sendiri.
Di tengah tren margin yang tertekan akibat penurunan batas manfaat ekonomi, ketergantungan platform pada dana institusi justru makin besar, sementara porsi lender individu terus menyusut dan dianggap “mini” dalam komposisi pendanaan.
Dalam kondisi seperti ini, skema tadpole mungkin menggoda sebagai jalan pintas untuk menjaga daya tarik imbal hasil bagi institusi keuangan, tetapi secara jangka panjang justru berpotensi menggerogoti kualitas kredit, memicu intervensi regulasi, dan mengurangi selera risiko bank dan lembaga keuangan lain untuk tetap menjadi tulang punggung pendanaan di ekosistem pindar.
Penertiban Skema TadpolePada paparan hasil risetnya, Selasa (9/9/2025), Executive Director Segara Research Institute, Piter Abdullah, menegaskan bahwa penyelenggara pindar berhak menentukan besaran bunga selama masih berada dalam koridor yang diizinkan OJK. Namun, ia menekankan bahwa masalah muncul ketika penyelenggara tidak transparan atau menyembunyikan informasi penting dari peminjam, sehingga konsumen tidak dapat menilai beban biaya secara utuh.
Riset Segara Research Institute mendorong empat arah utama perbaikan terkait maraknya skema tadpole. Riset mereka menegaskan bahwa pengetatan batas bunga saja tidak cukup, sehingga perlu didorong edukasi keuangan yang jauh lebih agresif agar masyarakat benar-benar paham struktur cicilan, mampu mengenali pola cicilan besar di awal, dan menghitung total kewajiban, bukan sekadar terpaku pada bunga harian di layar aplikasi.
Segara merekomendasikan penertiban skema tadpole karena pola ini menumpuk beban di awal tenor, mengeksploitasi kelompok dengan literasi keuangan rendah, dan berpotensi membuat manfaat ekonomi efektif melampaui batas yang ditetapkan OJK melalui lonjakan IRR. Di sisi desain produk, Segara menilai perlu ada standarisasi transparansi biaya di aplikasi, mulai dari total biaya dalam rupiah, porsi pokok dan bunga per periode, indikasi imbal hasil efektif, hingga penjelasan jika ada potongan di muka, agar konsumen bisa membandingkan produk secara lebih adil dan tidak terjebak “kepala kecebong” cicilan di awal.
Rekomendasi ini dibungkus dengan seruan penguatan pengawasan dan tata kelola: regulator didorong untuk mengawasi desain produk dan pola penagihan, menyinergikan kebijakan batas bunga dengan kebijakan makro agar tekanan margin tidak mendorong lahirnya skema tadpole baru, sekaligus menjatuhkan sanksi tegas kepada platform yang menyamarkan biaya atau menjual skema cicilan yang tidak fair.
Merespon hasil riset Segara, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, menyampaikan bahwa OJK akan memperkuat regulasi dan memperketat pengawasan terhadap penyelenggara pindar, khususnya terkait praktik skema cicilan seperti tadpole yang kerap menimbulkan ketidakjelasan biaya. Di samping itu, AFPI juga akan melakukan monitoring yang lebih intensif terhadap penyelenggara pindar dan secara berkala menyampaikan laporan bulanan kepada OJK untuk memastikan pelindungan konsumen tetap terjaga.
Menutup Celah Tadpole, Memperkuat Pelindungan KonsumenSkema tadpole lahir dari celah regulasi, tumbuh di bawah tekanan margin, dan berkembang di ruang abu-abu yang memanfaatkan ketimpangan informasi antara platform dan peminjam. Secara formal, tingkat suku bunga tetap yang tercantum di kontrak kerap terlihat wajar dan patuh terhadap aturan. Namun, distribusi cicilan yang timpang membuat suku bunga efektif yang ditanggung peminjam menjadi jauh lebih tinggi.
Perbedaan antara bunga nominal, bunga flat, dan bunga efektif inilah yang sering tidak dipahami, terutama oleh masyarakat dengan literasi keuangan rendah yang justru menjadi mayoritas pengguna layanan P2P lending. Akibatnya, keputusan pinjaman diambil berdasarkan angka yang tampak kecil di permukaan, sementara beban riil menumpuk di awal tenor.
Dalam situasi ini, batas antara upaya mendorong inklusi keuangan dan praktik yang cenderung eksploitatif menjadi sangat tipis. Penertiban skema tadpole oleh OJK dan pemerintah menjadi langkah penting untuk memperkuat fondasi ekosistem pindar, memastikan struktur cicilan yang wajar, transparan, dan selaras dengan daya bayar masyarakat. Pelindungan terhadap kelompok rentan perlu berjalan beriringan dengan upaya menjaga kepercayaan lender dan stabilitas industri.
Namun pekerjaan belum selesai. Pengawasan terhadap desain produk, transparansi biaya, dan pola penagihan harus terus dipantau agar praktik serupa tidak muncul kembali dalam bentuk lain. Hanya dengan cara itu, ekosistem pindar dapat benar-benar mendukung inklusi keuangan tanpa mengorbankan keadilan dan pelindungan bagi konsumen.




