FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo dinilai bukan semata isu hukum, melainkan sebagai persoalan politik yang sarat kepentingan. Isu ini dinilai terus dipelihara karena berkaitan dengan dinamika kekuasaan, relasi elite, serta tarik-menarik kepentingan di lingkaran pemerintahan pasca-Pemilu 2024.
Mantan Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi menilai bahwa isu ijazah Jokowi tidak berdiri sendiri sebagai gugatan administratif, melainkan telah berkembang menjadi bagian dari permainan politik.
Ia menyebut polemik ini kerap digunakan untuk membangun narasi tertentu di ruang publik, terutama dengan tujuan melemahkan posisi politik Jokowi di tengah perubahan konstelasi kekuasaan nasional.
Ia berpesan, publik perlu berhati-hati agar tidak mudah menarik kesimpulan yang justru menyerang institusi negara secara serampangan.
Ia menegaskan bahwa Jokowi telah menunjukkan sikap terbuka dengan memilih jalur hukum untuk menjawab tudingan tersebut.
“Kalian boleh skeptis dengan ijazahnya Pak Jokowi, tapi kan beliau sekarang mau maju ke pengadilan. Buat membuktikan ijazahnya asli atau hal lain,” ujarnya dalam Podcast Total Politik dilansir dari Youtube, Rabu (17/12).
Langkah itu, menurut Hasan, seharusnya dibaca sebagai bentuk kepercayaan terhadap mekanisme hukum, bukan sebaliknya dijadikan bahan spekulasi politik yang berlarut-larut.
Hasan juga mengingatkan agar isu ijazah tidak digunakan sebagai alasan untuk menyerang lembaga negara secara keseluruhan. Kecenderungan menembak institusi hanya akan memperkeruh situasi dan merusak kepercayaan publik.
“Jangan dengan mudah juga tembak institusi ini, institusi itu. Di semua institusi ini ada oknumnya,” katanya.
Ia menekankan bahwa persoalan individu tidak bisa digeneralisasi menjadi kegagalan sistemik.
Dalam pandangan Hasan, isu ijazah Jokowi justru mencerminkan betapa kuatnya tekanan politik yang dihadapi seorang presiden. Ia menyebut bahwa daya tahan Jokowi dalam menghadapi berbagai tudingan menunjukkan posisi politik yang tidak biasa.
“Saya yakin ini, daya tahan segini ini, kalau bukan levelnya berbeda dengan kita orang-orangnya, bukan manusia biasa kayak kita ini,” ujarnya.
Lebih jauh, Hasan beranggapan bahwa isu tersebut beririsan dengan kepentingan kekuasaan pasca pergantian presiden.
Ia melihat bahwa narasi ijazah kerap dimunculkan bersamaan dengan pembicaraan soal stabilitas pemerintahan dan pembentukan koalisi jangka panjang.
Dalam konteks itu, Jokowi tetap menjadi figur penting yang posisinya diperhitungkan, baik oleh pendukung maupun pihak yang berseberangan.
Dengan demikian, polemik ijazah Jokowi tidak bisa dipahami hanya sebagai persoalan administratif atau hukum semata.
Isu ini telah bertransformasi menjadi simbol pertarungan narasi politik, relasi kekuasaan, dan upaya membentuk persepsi publik.
Selama kepentingan politik masih menyelimuti isu tersebut, perdebatan mengenai ijazah Jokowi tampaknya akan terus bergulir, meskipun jalur hukum telah ditempuh sebagai ruang penyelesaian formal. (*)




