Penagihan Utang, Kekuasaan, dan Krisis Legitimasi Negara

kompas.com
9 jam lalu
Cover Berita

KETIKA penagihan utang berujung pada kematian dan kerusuhan, sesungguhnya masyarakat menyaksikan dengan mata telanjang kegagalan negara menjaga keseimbangan antara ketertiban dan keadilan.

Tragedi di Kalibata, Jakarta, tidak dapat dibaca semata sebagai peristiwa kriminal yang berdiri sendiri. Ia adalah peristiwa politik dalam arti yang paling mendasar: momen ketika relasi begitu retak di hadapan publik.

Kekerasan, yang seharusnya dimonopoli dan dikendalikan oleh negara, justru menyebar ke tangan aktor-aktor informal yang bergerak di luar kendali hukum.

Padahal Negara diberi mandat untuk mengatur, menertibkan, dan melindungi, bukan sekadar mengelola.

Ketika warga merasa lebih takut pada debt collector, daripada percaya pada hukum dan aparat, karuan saja legitimasi itu mulai runtuh dari dalam. Rasa aman bergeser menjadi rasa cemas, dan hukum kehilangan aura perlindungannya.

Dalam situasi legitimasi yang rapuh, amarah sosial menjadi mudah tersulut. Ketidakadilan yang menumpuk mencari salurannya sendiri, dan tindakan main hakim sendiri mulai dipandang sebagai keadilan alternatif.

var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Mata Elang, debt collector&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNy8xMzI5MTI2MS9wZW5hZ2loYW4tdXRhbmcta2VrdWFzYWFuLWRhbi1rcmlzaXMtbGVnaXRpbWFzaS1uZWdhcmE=&q=Penagihan Utang, Kekuasaan, dan Krisis Legitimasi Negara§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `
${response.judul}
Artikel Kompas.id
`; document.querySelector('.kompasidRec').innerHTML = htmlString; } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } else { document.querySelector(".kompasidRec").remove(); } } }); xhr.open("GET", endpoint); xhr.send();

Kekerasan berubah menjadi bahasa yang dimengerti banyak orang, terutama ketika jalur hukum terasa jauh, lamban, dan tak berpihak. Di titik ini, negara tidak hanya kehilangan kendali, tetapi juga kehilangan kepercayaan.

Baca juga: Ekonomi Utang dan Tontonan Kekerasan Jakarta

Tragedi Kalibata memperlihatkan bagaimana konflik ekonomi yang tampak kecil di permukaan—tunggakan cicilan, penarikan kendaraan—dapat bermetamorfosis menjadi krisis sosial-politik.

Ia adalah sinyal bahaya bahwa persoalan ekonomi mikro, jika dibiarkan tanpa regulasi dan penegakan hukum yang adil, dapat mengganggu stabilitas sosial yang lebih luas. Api yang menyala di satu sudut kota bisa menjadi cermin kegagalan tata kelola secara nasional.

Desakan Komisi III DPR agar Otoritas Jasa Keuangan menghapus aturan penagihan utang oleh pihak ketiga, sejatinya adalah jeritan halus dari kegagalan negara menjalankan fungsi regulatifnya.

Ketika aturan justru melahirkan ketakutan, hukum kehilangan makna etiknya. POJK Nomor 35 Tahun 2018 dan POJK Nomor 22 Tahun 2023 tampil rapi di atas kertas, tapi di lapangan ia berubah menjadi selimut tipis yang menutupi praktik kekerasan.

Negara seolah tidak mencegah, melainkan mengatur kadar kekerasan agar tetap berjalan dalam batas administratif.

Maka regulasi ini memperlihatkan negara yang bernegosiasi dengan kepentingan pasar. Demi menjaga denyut industri pembiayaan, negara memilih bersikap lunak terhadap cara-cara penagihan yang secara sosial merusak. Stabilitas ekonomi diletakkan lebih tinggi daripada rasa aman warga.

Pengawasan yang longgar dan sanksi yang nyaris simbolik, menandakan bahwa perlindungan masyarakat tidak ditempatkan sebagai kepentingan utama, melainkan sebagai konsekuensi sampingan.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-for-outstream'); });
.ads-partner-wrap > div { background: transparent; } #div-gpt-ad-Zone_OSM { position: sticky; position: -webkit-sticky; width:100%; height:100%; display:-webkit-box; display:-ms-flexbox; display:flex; -webkit-box-align:center; -ms-flex-align:center; align-items:center; -webkit-box-pack:center; -ms-flex-pack:center; justify-content:center; top: 100px; }
LazyLoadSlot("div-gpt-ad-Zone_OSM", "/31800665/KOMPAS.COM/news", [[300,250], [1,1], [384, 100]], "zone_osm", "zone_osm"); /** Init div-gpt-ad-Zone_OSM **/ function LazyLoadSlot(divGptSlot, adUnitName, sizeSlot, posName, posName_kg){ var observerAds = new IntersectionObserver(function(entires){ entires.forEach(function(entry) { if(entry.intersectionRatio > 0){ showAds(entry.target) } }); }, { threshold: 0 }); observerAds.observe(document.getElementById('wrap_lazy_'+divGptSlot)); function showAds(element){ console.log('show_ads lazy : '+divGptSlot); observerAds.unobserve(element); observerAds.disconnect(); googletag.cmd.push(function() { var slotOsm = googletag.defineSlot(adUnitName, sizeSlot, divGptSlot) .setTargeting('Pos',[posName]) .setTargeting('kg_pos',[posName_kg]) .addService(googletag.pubads()); googletag.display(divGptSlot); googletag.pubads().refresh([slotOsm]); }); } }

Negara pun perlahan bergeser perannya. Ia tidak lagi hadir sebagai pelindung, tetapi sebagai fasilitator pasar.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ini Penyebab Angin Kencang di Jakarta pada Beberapa Hari Terakhir
• 25 menit lalukompas.com
thumb
Siswi SMP di Bali Diduga Mau Bunuh Diri karena Jadi Korban Bullying
• 6 jam lalukumparan.com
thumb
Klaim Prabowo Tangani Bencana dan Surat Aceh ke Lembaga PBB
• 10 jam lalubisnis.com
thumb
Kisah di Balik Emas Beregu Putra dan Putri Panahan, Hasil Latihan Setahun
• 8 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Kapten Persela Hasim Kipuw Ancam Hengkang, Ikut Eksodus ke PSIS Semarang?
• 14 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.