Kediri Bertumbuh: dari Candi ke Monumen SLG-Simpang Lima Gumul

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Kediri bertumbuh, menampilkan transformasi simbol ruang publik, dari candi sebagai penanda spiritual zaman kerajaan, bangunan kolonial sebagai penanda administrasi modern, hingga Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) sebagai simbol kota kontemporer yang melangkah ke masa depan.

Perjalanan panjang perubahan ruang bukan sekadar perpindahan bentuk arsitektur, tetapi perjalanan ide, identitas, dan keberanian untuk terus tumbuh.

Candi: Arsitektur yang Mejaga Ingatan dan Kekuasaan

Candi merupakan tempat leluhur menanamkan rasa hormat pada alam dan langit. Sebelumnya, masyarakat agraris Jawa Kuno membangun punden berundak. Arsitektur sederhana sebagai penanda kesucian, tempat berdoa memberi sesaji, dan menjaga keseimbangan hidup.

Bata, tanah, dan batu disusun seadanya, tetapi dibalik kesederhanaannya terdapat kesadaran kosmologis yang mendalam, bahwa manusia tidak pernah berdiri sendiri, ia bagian dari alam semesta.

Transformasi besar terjadi ketika Airlangga mengembalikan stabilitas Jawa pada abad ke-11. Dari tangan para arsitek dan pemuka agama, punden berundak tumbuh menjadi candi batu.

Candi bukan sekadar batu yang ditumpuk rapi, melainkan pernyataan politik. Pada masa Kerajaan Kediri, candi dibangun sebagai penanda legitimasi, pusat ritual, sekaligus arsip visual tentang siapa yang berkuasa, siapa yang dihormati, dan nilai apa yang ingin diwariskan.

Dalam Prasasti Ngantang (1135 M) dan catatan Kakawin Bharatayuddha (1157 M) karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, candi selalu disebut sebagai “pamyekti” atau peneguh dharma dan kekuasaan. Ia tidak hanya memfasilitasi ziarah spiritual, tetapi juga menghadirkan stabilitas simbolis, bahwa pusat kerajaan hadir tidak hanya sebagai pemerintahan, tetapi sebagai tata kosmos.

Secara bentuk, candi-candi di kawasan Kediri termasuk Candi Tondowongso, Candi Gurah, dan struktur bata di seputaran lereng Maskumambang, mencerminkan tipologi Jawa Timur Klasik. Bentuk pada umumnya kaki kokoh, tubuh ramping, puncak yang mengarah ke langit. Arkeolog Soekmono menyebut bentuk ini sebagai “visualisasi mandala”, ruang yang menghubungkan dunia manusia dan para dewa.

Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia:

Fungsi dan Filosofi Candi

Fungsi candi pun majemuk, sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu raja, pusat kegiatan, hingga simbol kehormatan. Candi bukan benda statis, melainkan “bahasa kekuasaan” yang mudah dibaca masyarakat masa itu.

Candi-candi seperti Surowono, Tegowangi, Mirigambar, hingga situs-situs non-fungsional yang tersebar di Kediri, bukan sekadar rumah ibadah, melainkan representasi struktur kosmos itu sendiri.

Dalam berbagai sumber, seperti Nagarakretagama (Mpu Prapanca, 1365), Kakawin Smaradahana dari masa Airlangga, dan Prasasti Kamalagyan (1194), berulang kali menegaskan bahwa candi tidak hanya berfungsi sebagai tempat sembahyang.

Pada masa itu candi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan spiritual dan filsafat, ruang astronomi di mana matahari dan bayangan menentukan waktu tanam, tempat penyimpanan memori kosmis dalam bentuk relief, bahkan manifesto politik yang menegaskan hubungan raja dengan dewa.

Candi di Jawa bukan tempat untuk memuja patung. Candi adalah buku, kalender, peta kosmos, pusat pendidikan, dan arsip negara. Dan arsitekturnya yang meruncing, menurut catatan Soekmono dan kajian KITLV, adalah miniatur Gunung Mahameru, pusat alam semesta.

Kediri memulai reputasinya sebagai pusat ilmu dan spiritual justru dari candi yang terlihat diam, yang sebenarnya terus hidup melalui simbol, cerita rakyat, dan ritual.

Di sinilah filosofi candi menemukan maknanya. Sebuah perjalanan dari bawah ke atas, dari dunia ke nirwana, dari lahir ke pembebasan. Setiap anak tangga dan relung adalah simbol spiritual.

Bila kita menyentuh dinding bata merah yang tersisa hari ini, sebenarnya kita sedang menyentuh sisa-sisa sistem pengetahuan. Candi adalah perpustakaan tanpa rak, universitas tanpa bangku, dan ruang kuliah tanpa dosen. Arsitekturnya sendiri adalah teks.

Monumen SLG: Candi di Era Modern

Memasuki era abad ke-19, masyarakat tidak lagi menyembah dewa melalui candi, tetapi tetap membutuhkan simbol yang menyatukan identitas kota. Di titik inilah monumen modern mengambil alih fungsi candi dalam konteks kontemporer.

Monumen, dalam banyak kajian urban studies, tidak pernah benar-benar netral. Ia menunjukkan arah masa depan, kebanggaan lokal, dan ambisi pemerintah. Bagi Kediri, pembangunan Simpang Lima Gumul (SLG) menjadi penanda baru, tentang bagaimana kota ingin dilihat modern, berani, dan menatap dunia luar.

Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) berdiri megah dengan inspirasi visual yang sering disandingkan dengan L’Arc de Triomphe di Paris. Namun simbolisme SLG bukan sekadar imitasi arsitektur Eropa. Monumen SLG adalah lanjutan logis dari tradisi arsitektur Jawa, bukan tiruan Eropa.

SLG berdiri di pusat mandala modern. Jika candi ditempatkan di pusat mandala kosmis, Monumen SLG di pusat pertemuan lima jalur strategis. Pusat menuju Pare, Plosoklaten, Wates, Pesantren, dan Kota Kediri. Titik ini bukan kebetulan, melainkan statement ruang. Simpul keterhubungan geografis sekaligus simbol keterhubungan sosial.

Dalam catatan RPJPD dan kajian arsitektur Pemkab Kediri (2007), monumen ini juga memuat panel-panel relief tentang sejarah Kediri dari era Panjalu, Daha, Majapahit, hingga modern. Di sinilah kita melihat fungsi candi yang diadaptasi, mengarsipkan sejarah melalui visual.

Monumen SLG menjadi ruang yang mempertemukan masyarakat dalam pergerakan ekonomi, budaya, dan pembangunan. Ruang baru ini menjadi pasar malam, ruang festival, pameran UMKM, ruang publik muda-mudi, dan panggung perayaan identitas.

Jika candi dahulu adalah tempat festival ritual dan kerajaan. SLG adalah pusat aktivitas rakyat hari ini. Pergeseran simbol ini bukan sekadar perubahan bentuk, tetapi perubahan cara kita membaca ruang publik. Dari ritual sakral ke ruang partisipatif, dari pusat kekuasaan ke pusat masyarakat. Keduanya adalah ruang memori kolektif.

Puncak candi merepresentasikan Mahameru. Monumen SLG berdiri sebagai "puncak" simpul transportasi Kediri, pusat yang menghubungkan segala arah. Secara simbolis, mengulang pesan kuno, bahwa Kediri adalah poros, bukan daerah pinggiran.

Transformasi: Dari Ruang Sunyi yang Menjadi Ruang Publik

Jika candi adalah ruang sakral, SLG adalah ruang profan. Namun keduanya berbagi satu fungsi, menjadi poros identitas. Transformasi ini menunjukkan bagaimana Kediri beradaptasi pada tiap zaman tanpa kehilangan benang merah sejarahnya.

Transformasi tersebut tercermin dari beberapa aspek. Pada umumnya bentuk candi adalah vertikal, menuju langit, sedangkan Monumen SLG berbentuk horizontal-masif, menegaskan sebagai pusat kota.

Pada aspek fungsi, candi digunakan sebagai kegiatan ritual dan legitimasi kerajaan. Monumen SLG sebagai pusat ekonomi, ruang publik, dan memori kolektif.

Candi mengandung filosofi kesucian dan kosmologis. Monumen SLG mempunyai filosofi konektivitas, pertemuan, dan modernitas. Makna sosial pada candi adalah tempat menyendiri, sedangkan Monumen SLG adalah tempat berkumpul.

Transformasi ini tidak terjadi tiba-tiba, melalui proses panjang dari era Hindu-Buddha, masuk Islam, kolonial, hingga reformasi. Kota berubah mengikuti kebutuhan masyarakatnya.

Dengan begitu, SLG bukan sekadar monumen tanpa makna. Ia adalah “candi baru” dalam pengertian simbolik sebagai wajah kota yang berdialog dengan masa lalu tanpa terjebak romantisme

Dari candi hingga Monumen SLG, Kediri sedang menceritakan sesuatu, bahwa setiap generasi membangun ruang pusatnya sendiri. Bahwa ruang publik menentukan cara kita membangun memori. Bahwa apa yang dulu sakral kini menjadi komunal, dan apa yang dulu monolitik kini menjadi inklusif.

Jika candi-candi itu adalah “tanah awal”, SLG adalah “jembatan masa depan”. Kediri, sekali lagi, membuktikan dirinya sebagai kota yang terus bertumbuh. Tidak diam, tidak statis, tidak tenggelam oleh waktu.

Kediri Bertumbuh Tanpa Hilang akar

Perjalanan dari candi menuju Monumen SLG adalah perjalanan dari kesunyian menuju keramaian, dari ritual menuju publik, dari simbol kosmos menuju simbol kota modern. Namun inti narasinya tidak berubah, Kediri adalah kota yang berusaha menjaga keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.

Monumen SLG berdiri bukan untuk menghapus candi, tetapi untuk melanjutkan tradisi simbolik Kediri dalam bentuk yang sesuai zaman. Inilah wajah kota yang tak lagi diam, tetapi tetap menyimpan suara sejarah yang pelan namun kokoh.

Kediri bukan kota yang diam. Ia mengalami transformasi simbol dan identitas melalui ruang-ruang publik yang dibangun oleh sejarah, masyarakat, dan waktu. Ini adalah fondasi untuk memahami tulisan berikutnya dalam tema Kediri Bertumbuh.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tingkat Monogami Manusia Jauh Lebih Tinggi dari Simpanse
• 6 jam lalukompas.id
thumb
​​​​​​​Ramalan Cinta Zodiak 18 Desember 2025: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, hingga Pisces
• 9 jam lalutvonenews.com
thumb
Berkat Avatar, Pria 71 Tahun Masuk Geng Miliarder Dunia
• 8 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Kontradiksi Retorika Transisi Energi dan Realitas Domestik dalam Komitmen Net-Zero 2060 Indonesia
• 4 jam lalumediaindonesia.com
thumb
NTB Targetkan 2 Persen Kemiskinan Ekstrem di 106 Desa Berkurang Tahun 2029
• 1 menit lalutvrinews.com
Berhasil disimpan.