Banteng dan Kebo Aliyan: Dua Wajah Magis dari Kultur Agraris Jawa Timur

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Jika Malang punya Bantengan yang kini viral dengan hentakan musiknya yang memacu adrenalin, Banyuwangi menyimpan saudara jauhnya yang tak kalah magis yang bernama Kebo Aliyan. Keduanya sama-sama lahir dari keringat dan rasa syukur petani, namun tumbuh dengan wajah yang berbeda.

Apa yang membuat dua kesenian berbasis hewan ternak tersebut begitu memikat para penikmat budaya dan generasi muda di era digital seperti sekarang?

Jawabannya tersembunyi dalam napas sejarah serta filosofi masyarakat Jawa Timur yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia dengan alam. Para pembaca perlu menyelami lebih dalam bagaimana dua entitas budaya tersebut bertahan melintasi zaman.

Jejak Historis dan Simbolisme Kerbau

Jawa Timur menyimpan kekayaan tradisi agraris yang sangat kental. Hewan kerbau atau banteng bukan sekadar ternak pembajak sawah, melainkan simbol kekuatan, kerja keras, dan kemakmuran. Dalam konteks sejarah, Bantengan di wilayah Malang Raya, Mojokerto, sampai Batu memiliki akar yang bersinggungan dengan seni bela diri pencak silat.

Kesenian tersebut konon sudah ada sejak zaman Kerajaan Singasari dan terlihat pada relief Candi Jago. Sosok hewan bertanduk itu merepresentasikan semangat perlawanan rakyat jelata yang gigih. Sementara itu, Keboan Aliyan di Banyuwangi lahir dari wangsit Buyut Wongso Kenongo pada abad ke-18 sebagai ritual tolak bala. Desa Aliyan menjadikan kerbau sebagai mitra suci yang berjasa mendatangkan panen melimpah.

Perbedaan mendasar terletak pada fungsi awal kemunculannya. Bantengan berkembang sebagai seni pertunjukan yang menghibur sekaligus menanamkan nilai kanuragan. Sebaliknya, Keboan Aliyan memegang teguh fungsi sakral sebagai upacara bersih desa yang wajib dilaksanakan setiap bulan Suro.

Meski berbeda jalur, keduanya bermuara pada satu titik temu, yaitu penghormatan manusia terhadap alam semesta. Dengan adanya dua kesenian tersebut, masyarakat bisa melihat bahwa leluhur nusantara sudah mengajarkan konsep ekologis jauh sebelum kampanye lingkungan modern didengungkan. Simbol tanduk yang gagah pada kedua tradisi tersebut menjadi pengingat bahwa kekuatan fisik harus selaras dengan kepekaan spiritual.

Anatomi Pertunjukan dan Estetika Gerak

Secara visual, kedua kesenian tersebut menawarkan tontonan yang kontras namun saling melengkapi mozaik budaya Jawa Timur. Bantengan menampilkan atraksi teatrikal menggunakan properti topeng kepala banteng yang terbuat dari kayu, lengkap dengan tanduk asli.

Dua orang pemain mengisi kostum kain hitam yang membentuk tubuh hewan tersebut, mirip konsep barongsai tetapi dengan cita rasa lokal yang kuat. Gerakan yang ditampilkan sangat dinamis, mengadopsi langkah kuda-kuda silat yang tegas. Kaki depan bertugas sebagai pengendali kepala, sedangkan kaki belakang menjadi penyeimbang. Sinergi antara dua pemain tersebut mengajarkan filosofi gotong royong yang menjadi napas kehidupan masyarakat desa.

Sisi lain ditunjukkan oleh Keboan Aliyan. Ritual tersebut tidak menggunakan topeng kayu atau kostum buatan. Para pelaku ritual merupakan warga desa asli yang tubuhnya dilumuri cairan hitam atau lumpur sawah sehingga menyerupai kerbau. Wajah manusia tersamarkan oleh riasan alami dari tanah, menciptakan kesan menyatu dengan bumi.

Gerakan yang muncul pun bersifat intuitif, menirukan aktivitas membajak sawah, berkubang di lumpur, sampai prosesi mengelilingi empat penjuru desa. Estetika yang hadir dalam Keboan Aliyan merupakan estetika raw atau mentah, sebuah kejujuran ekspresi masyarakat agraris tanpa polesan berlebih.

Fenomena Trans dan Dialog Spiritual

Daya tarik utama yang sering kali membuat bulu kuduk berdiri yaitu unsur "ndadi" atau trans. Kondisi di luar kesadaran manusia tersebut menjadi elemen tak terpisahkan dari kedua tradisi itu. Dalam pertunjukan Bantengan, momen trans sering kali terjadi saat pemain mencium aroma kemenyan atau mendengar alunan musik gamelan yang ritmis dan repetitif.

Roh leluhur atau dhanyangan dipercaya masuk ke tubuh pemain, memberikan kekuatan supranatural sehingga sang penari mampu melakukan atraksi fisik di luar nalar. Namun, perlu dicatat bahwa aspek magis tersebut bukan bertujuan untuk pamer kekuatan semata, melainkan wujud komunikasi batin dengan dimensi lain.

Keboan Aliyan pun menghadirkan fenomena serupa dengan intensitas yang lebih masif. Puluhan petani bisa mengalami kerasukan secara serentak. Roh gaib yang merasuki warga desa tersebut akan menuntun tubuh manusia untuk berperilaku layaknya kerbau. Fenomena itu dipercaya sebagai tanda bahwa leluhur desa hadir dan menerima persembahan rasa syukur warga.

Momen trans dalam kedua kesenian tersebut membuktikan bahwa masyarakat Jawa Timur memiliki mekanisme spiritual unik untuk melepas penat dan beban hidup. Melalui kondisi nir-sadar, para pelaku seni dapat mengekspresikan emosi yang terpendam, sekaligus memperkuat ikatan komunal antarwarga. Magis di sini bukan sekadar mistik, tetapi sebuah katarsis sosial yang menyehatkan mental masyarakat pendukungnya.

Transformasi di Tengah Gempuran Modernitas

Tantangan terbesar sekarang yaitu menjaga relevansi tradisi di tengah arus informasi yang serba cepat. Namun, angin segar mulai berhembus. Bantengan di masa sekarang sukses mencuri perhatian publik luas berkat media sosial. Video pendek yang menampilkan atraksi Bantengan dengan latar musik remix yang energik berhasil viral dan disukai jutaan penonton.

Fenomena tersebut membuktikan bahwa budaya tradisi mampu beradaptasi dengan selera zaman tanpa kehilangan esensinya. Adaptasi tersebut menjadi pintu masuk bagi anak muda untuk mulai mengenal, menyukai, dan akhirnya mempelajari filosofi di baliknya.

Peran komunitas kreatif dan pemerintah daerah juga sangat vital. Di Banyuwangi, Keboan Aliyan dikemas dalam bingkai festival budaya yang profesional bertajuk Banyuwangi Festival. Narasi "Mystic, Magic, and Unique" yang diusung berhasil menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sementara itu, tokoh seni seperti Didi Nini Thowok sempat memberikan masukan berharga bagi pegiat Bantengan di Mojokerto.

Sang maestro menyarankan agar aspek koreografi dan keindahan gerak lebih ditonjolkan, sehingga Bantengan tidak hanya dikenal karena unsur kesurupannya yang menyeramkan, tetapi juga sebagai karya seni tari yang indah dan harmonis. Sentuhan artistik sangat diperlukan agar kesenian tersebut bisa diterima di panggung internasional.

Melestarikan Identitas Lewat Inovasi Digital

Upaya pelestarian tidak cukup hanya dengan menggelar festival tahunan. Diperlukan strategi kebudayaan yang lebih komprehensif dan melibatkan partisipasi aktif kaum milenial. Generasi yang melek teknologi tersebut memegang kunci masa depan Bantengan dan Keboan Aliyan.

Dokumentasi digital yang estetik, pembuatan film dokumenter, sampai pada pengenalan melalui teknologi Virtual Reality (VR) dapat menjadi metode edukasi yang efektif. Sekolah-sekolah dasar di Mojokerto bahkan sudah memasukkan materi Bantengan ke dalam buku teks muatan lokal. Langkah konkret semacam itu patut diduplikasi oleh daerah lain agar anak-anak tidak merasa asing dengan warisan leluhurnya sendiri.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi poin krusial. Sinergi antara seniman tradisi, akademisi, pelaku pariwisata, dan pembuat konten kreatif akan menciptakan ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. Generasi muda bisa membayangkan jika narasi tentang Keboan Aliyan ditulis dalam berbagai bahasa dan disebarkan ke seluruh dunia, maka Desa Aliyan akan menjadi destinasi riset budaya yang bergengsi.

Begitu pula dengan Bantengan yang berpotensi menjadi ikon seni pertunjukan jalanan kelas dunia jika dikelola dengan manajemen pertunjukan modern. Ekonomi kreatif warga sekitar pun otomatis akan terdongkrak seiring meningkatnya jumlah kunjungan wisata.

Refleksi Bagi Generasi Penerus

Dua kesenian yang dibahas tersebut mengajarkan satu hal penting, yaitu kemajuan zaman tidak harus membunuh tradisi. Justru, modernitas bisa menjadi panggung baru bagi kearifan lokal untuk bersinar lebih terang.

Bantengan mengajarkan tentang keberanian dan sportivitas, sedangkan Keboan Aliyan mengingatkan manusia untuk selalu bersyukur atas hasil bumi. Nilai-nilai luhur tersebut sangat relevan untuk dijadikan pegangan hidup di tengah era yang serba materialistis.

Mencintai budaya sendiri menjadi langkah awal membangun jati diri bangsa yang kuat. Tidak perlu menjadi penari atau pelaku ritual untuk berkontribusi. Sekadar membagikan kabar baik tentang keunikan Bantengan dan Keboan Aliyan di media sosial sudah menjadi bentuk dukungan nyata.

Mari jadikan warisan agraris Jawa Timur tersebut sebagai sumber kebanggaan yang tak lekang oleh waktu. Dengan demikian, wajah magis nusantara akan terus mempesona dunia, membawa pesan damai dan harmoni dari tanah Jawa Timur ke seluruh penjuru semesta.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Mengapa Prabowo Ingin Tambah Polisi Hutan?
• 7 jam lalukompas.com
thumb
Siswi SMP di Bali Diduga Mau Bunuh Diri karena Jadi Korban Bullying
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
BWF World Tour Finals 2025: Putri KW Akui Banyak Belajar usai Dikalahkan An Se-young
• 1 jam lalutvrinews.com
thumb
Menaker Tegaskan Upah Minimum Tak Akan Turun Meski Ekonomi Daerah Minus
• 3 jam lalumatamata.com
thumb
10 Ide Jualan Frozen Food, Usaha Rumahan Paling Laris
• 3 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.