1. Catatan publik terhadap pemulihan Sumatera
2. Bencana Sumatera dan alarm reorientasi pembangunan Indonesia
3. Mengapa lambatnya penanganan memperparah dampak bencana alam?
4. Ketika skala kerusakan bencana timpang dengan ketersediaan anggaran pemerintah
5. Bencana siklon tropis Senyar: Peringatan lemahnya mitigasi dan efek degradasi alam di Sumatera
Pemerintah menegaskan komitmen penuh untuk mempercepat penanganan, tidak hanya berfokus pada tanggap darurat, tetapi juga memasuki fase rehabilitasi dan rekonstruksi demi memulihkan kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata. Presiden Prabowo Subianto bahkan tiga kali mengunjungi wilayah terdampak serta memimpin koordinasi lintas kementerian, lembaga, TNI, Polri, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara (BUMN).
Komitmen pemerintah ini diakui publik jajak pendapat Litbang Kompas yang diwawancarai melalui telepon pada 8-11 Desember 2025. Sebanyak 56,4 persen dari 510 responden di 38 provinsi percaya pemerintah pusat memiliki komitmen kuat menjadikan penanganan bencana Sumatera sebagai agenda prioritas nasional. Bahkan, seperempat responden menilai komitmen tersebut sangat kuat. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah menangani bencana Sumatera cukup diketahui oleh publik.
Sementara itu, sebanyak 41,6 persen responden lainnya menilai komitmen tersebut masih lemah. Angka yang tidak kecil karena mendekati separuh responden. Sikap responden ini mengisyaratkan masih adanya keraguan masyarakat, terutama terkait lambannya eskalasi status bencana atau respons awal pemerintah.
Hal ini tergambar dari penilaian publik yang juga cenderung terbelah terhadap kecepatan respons pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menangani bencana. Separuh responden (51,6 persen) menilai pemerintah sudah bergerak cukup cepat. Sementara 37 persen responden menilai lambat dan 10,3 persen responden lainnya menilai sangat lambat. Hal ini menjadi potret persepsi publik yang menangkap masih terdapat kendala koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat.
Dari persepsi publik ini terekam sebuah pesan, publik sudah menangkap komitmen pemerintah dalam penanganan bencana Sumatera, tetapi kecepatan kerjanya masih dianggap belum optimal. Ada gejala publik yang merasakan ketidaksigapan di fase awal bencana, terutama untuk wilayah terpencil yang terisolasi.
Kerusakan lingkungan di wilayah utara Sumatera yang kini terdampak bencana bukanlah omong kosong belaka. Hasil penelusuran Tim Jurnalisme Data Kompas menunjukkan, luas hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar selama 30 tahun terakhir menyusut lebih dari 1,9 juta hektar. Artinya, jika dirata-rata, terjadi perusakan terhadap hampir 100 hektar hutan tiap harinya dalam periode waktu tersebut.
Ditelaah lebih dalam, dari hampir 2 juta hektar hutan yang raib tersebut, hampir 700.000 hektar disulap menjadi kawasan hutan sawit dan tambang. Adapun 9.000 hektar lainnya berubah menjadi wilayah perkotaan.
Tidak hanya itu, dari hasil pemetaan tim Jurnalisme Data Kompas, sebagian besar dari wilayah kebun kelapa sawit yang sebelumnya berupa hutan di Aceh dan Sumut menjadi titik-titik terjadinya bencana hidrometeorologis akibat siklon Senyar.
Lapisan data antara alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan pemetaan titik bencana ini menjadi bukti konkret bahwa pembangunan tanpa adanya perspektif ekologis akan sangat berisiko menimbulkan bencana.
Dalam sejarah pembangunan Indonesia, proyek-proyek serampangan, termasuk penggundulan dan alih fungsi kawasan hutan, kerap kali memunculkan konflik dan eksklusi sosial.
Tak jarang juga komunitas lokal kehilangan akses terhadap tanah dan sumber penghidupan akibat prioritas yang diberikan pada proyek investasi besar.
Hal ini selaras dengan apa yang terjadi di Sumatera di mana aktivitas ekonomi yang berlebihan menyebabkan bencana mematikan untuk rakyat.
Pola ini konsisten dengan diagnosis David Harvey tentang accumulation by dispossession, yakni alih kekayaan dan hak dari komunitas ke korporasi melalui instrumen hukum, kebijakan, dan dalam beberapa kasus kekerasan negara.
Ketidaksinkronan koordinasi terlihat ketika pemerintah enggan menetapkan status bencana di Sumatera sebagai bencana nasional. Pemerintah daerah dinilai masih cukup mampu menangani bencana di wilayahnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya, setidaknya ada tujuh pemda menyatakan tidak sanggup menangani bencana. Ketujuh daerah tersebut ialah Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Utara. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai failure of preparedness atau kegagalan dalam kesiapsiagaan.
Terdapat berbagai hal yang menyebabkan keterlambatan dalam penanganan bencana. Hal itu, antara lain, keterlambatan penetapan status kebencanaan, koordinasi antarlembaga yang tidak sinkron antara pusat dan daerah, kerusakan infrastruktur dan fasilitas dasar, regulasi dan kebijakan mitigasi bencana yang lemah, serta anggaran yang tidak memadai.
Keterlambatan penanganan dapat memperparah dampak sebuah bencana dalam berbagai hal. Pertama, keterlambatan evakuasi dan pertolongan medis pada korban bencana menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang lebih masif. Padahal, kedua hal itu seharusnya bisa dicegah jika upaya intervensi atau pertolongan dilakukan secepatnya.
Kedua, distribusi kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, dan sanitasi, yang terlambat dapat meningkatkan risiko kelaparan dan wabah penyakit.
Ketiga, keterlambatan dalam memulihkan akses dan rekonstruksi infrastruktur berpotensi memperpanjang gangguan terhadap ekonomi lokal. Hal itu sering kali menyebabkan kerugian materi dan penurunan produktivitas yang jauh lebih besar dari perkiraan awal.
Kini, sebagian dampak tersebut mulai terlihat dalam bencana di Sumatera. Sejumlah pengungsi di beberapa daerah mulai terserang penyakit. Di Kabupaten Agam, Sumbar, sebanyak 626 pengungsi mengeluhkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sementara itu, di Kabupaten Tapanuli Selatan, warga mulai terserang demam, batuk, dan gatal-gatal.
Anggaran untuk menanggulangi bencana alam di Indonesia masih sangat terbatas. Jumlah anggaran yang disediakan pemerintah masih timpang dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan bencana setiap tahun. Ironisnya, jumlah anggaran yang sudah cekak itu kian menyusut alokasinya pada pemerintahan kali ini.
Berdasarkan data RAPBN 2026, pada tahun 2021-2026 anggaran BNPB, Basarnas, dan KLH rata-rata menyusut sekitar 30 persen atau sekitar Rp 1.400 triliun setahun. Pada 2021 anggaran ketiga institusi terkait bencana ini mencapai Rp 8,1 triliun, di mana sekitar 84 persennya teralokasi di BNPB. Namun, pada tahun ini akumulasi anggaran bencana di ketiga institusi itu menyusut drastis menjadi Rp 2,22 triliun. BNPB masih memegang alokasi sekitar 80 persen, tetapi dengan nominal yang menyusut signifikan dari Rp 6,8 triliun pada 2021 menjadi Rp 1,78 triliun di tahun ini.
Pada 2026 alokasi anggaran bencana di ketiga institusi tersebut kian cekak lagi, hanya menyisakan sekitar Rp 873 miliar. Proporsinya pun tak lagi didominasi oleh BNPB, tetapi bergeser di Basarnas dengan alokasi sekitar Rp 564 miliar atau 64 persen dari total anggaran bencana di ketiga institusi. Pada tahun depan anggaran ketahanan bencana BNPB disunat secara radikal hingga tersisa Rp 250 miliar.
Kebijakan anggaran tersebut secara tidak langsung menggambarkan tentang minimnya perhatian pemerintah terhadap fenomena bencana yang terjadi di Indonesia. Pemerintah terkesan mengesampingkan ancaman bencana yang begitu besar dan selalu terjadi di Indonesia setiap tahun.
Memang, pemerintah telah menyiapkan dana cadangan penanggulangan bencana alam sekitar Rp 5 triliun per tahun serta pooling fund bencana (PFB) sekitar Rp 1 triliun. Hanya saja, nominal ini relatif kurang sepadan dengan risiko ancaman bencana alam yang terus mengintai setiap saat.
Banyaknya fenomena siklon tropis yang muncul di perairan Indonesia tidak selalu menimbulkan bencana besar seperti yang sering terjadi di Bangladesh, Myanmar, Sri Lanka, dan India.
Namun, siklon Seroja (2021) yang menghantam Nusa Tenggara Timur dan Senyar (2025) yang menyebabkan bencana hidrometeorologis di Sumatera harus menjadi perhatian serius untuk dilakukan langkah mitigasi secepatnya. Kesiapan mitigasi bencana dalam menghadapi siklon tropis perlu ditingkatkan karena pengetahuan masyarakat terkait ancaman siklon ini tergolong minim.
Sejauh ini, BMKG memang sudah aktif memberikan peringatan dini akan keberadaan siklon tropis di perairan Indonesia, termasuk potensi dampak yang dihasilkan siklon. Namun, informasi peringatan dini yang diberikan tersampaikan secara optimal. Masyarakat tampaknya masih awam dengan munculnya siklon tropis di Indonesia. Biasanya, hanya warga di pesisir yang sudah mengenal adanya ancaman siklon itu sehingga nelayan-nelayan untuk sementara akan berhenti melaut untuk menghindari gelombang tinggi dan badai.
Belajar dari negara-negara yang rentan terhadap bencana siklon tropis tersebut, ternyata penyampaian informasi peringatan dini sangat perlu dilakukan secara masif dan lebih sering. Studi berjudul ”A Great Escape from the Bay of Bengal ’Super Sapphire–Phailin’ Tropical Cyclone: A Case of Improved Weather Forecast and Societal Response for Disaster Mitigation” mengungkapkan keberhasilan model prediksi dan penyebaran informasi siklon tropis di India.
Selain meningkatkan kualitas model prediksi siklon tropis, penyebaran informasi tentang siklon juga dilakukan secara lebih intens. Informasi yang diberikan mencakup tingkatan dampak kerusakan yang berpotensi terjadi di sejumlah wilayah. Hal ini membantu masyarakat di daerah bersangkutan untuk dapat memperkirakan besaran ancaman dari siklon tropis itu. Peringatan juga dilakukan setiap tiga jam, bahkan setiap jam ketika siklon mendekati daratan.




