Menimbang Untung Rugi Bea Keluar Batu Bara yang Diterapkan Mulai 1 Januari 2026

katadata.co.id
1 jam lalu
Cover Berita

Pemerintah berencana menerapkan kebijakan bea keluar batu bara pada 1 Januari 2026. Rencana ini mencuat di tengah tekanan penerimaan negara dan agenda transisi energi.

Di satu sisi, instrumen ini menjanjikan tambahan kas negara yang cepat. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar yaitu apakah bea keluar benar-benar menjawab persoalan struktural sektor batu bara, atau sekadar menjadi penopang fiskal sementara.

Bagaimana untung rugi bea keluar batu bara tersebut?

Bersifat Sementara

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengatakan dalam jangka pendek, bea keluar batu bara berpotensi menambah pendapatan negara. Terutama saat harga global tinggi dan ekspor masih kuat.

“Instrumen ini relatif mudah dipungut dan dapat menangkap windfall profit, sehingga efektif sebagai penopang penerimaan fiskal ketika basis pajak lain melemah,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Rabu (17/12).

Namun, efektivitasnya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Rizal menyebut. penerimaan sangat bergantung pada siklus harga global.

Sementara itu, risiko penurunan daya saing ekspor, penghindaran pajak, serta melemahnya investasi sektor batu bara cukup nyata. Terutama di tengah percepatan transisi energi.

Untuk itu, Rizal mengatakan bea keluar sebaiknya diperlakukan sebagai instrumen transisional, bukan sumber pendapatan jangka panjang.

Untuk ketahanan fiskal ke depan, menurut Rizal, pemerintah perlu mengandalkan instrumen yang lebih struktural. “Ini seperti reformulasi royalti berbasis keuntungan, penguatan pajak sektor ekstraktif, dan diversifikasi sumber penerimaan negara,” ujar Rizal.

Bukan Jawaban Masalah Batu Bara

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai bea keluar bukan menjadi jawaban utama dari persoalan batu bara. Ia mengatakan bentuk pajak yang tepat untuk batu bara harus menempel pada sumber masalah yakni emisi dan polusi.

“Biaya ekspor dapat membantu penerimaan, tetapi ia tidak menggantikan harga karbon dan pungutan polutan lokal yang lebih presisi,” ujar Syafruddin.

Syafruddin mengatakan Indonesia memiliki fondasi regulasi pajak karbon, infrastruktur bursa karbon, dan kerangka penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau royalti yang terus diperbarui.

Ia mengatakan, tantangannya terletak pada konsistensi. “Negara perlu berhenti mengirim sinyal ganda yakni mengoreksi risiko lingkungan di satu sisi, namun mempertahankan batu bara murah di sisi lain,” kata Syafruddin.

Syafruddin mengatakan pemerintah perlu menyusun paket pajak yang selaras dengan kemandirian energi dan pertumbuhan inklusif. Dengan begitu bea keluar batu bara bisa berubah dari sekadar pungutan komoditas menjadi instrumen transisi yang kredibel.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bencana Sumatra dan Bayang-Bayang Aberfan
• 10 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Prabowo Tepuk Tangan! Mentan Amran Pamer Dapat Penghargaan FAO
• 23 jam lalukompas.tv
thumb
MK Akhiri Kisruh Royalti, Kompensasi Hak Cipta Tanggung Jawab Penyelenggara Pertunjukan
• 3 jam lalukompas.id
thumb
Tujuh Tahun Berturut-Turut Raih Predikat Informatif, KKP Komitmen Terus Tingkatkan Keterbukaan Informasi Publik
• 11 jam lalupantau.com
thumb
Gubernur Bobby Nasution Serahkan Bantuan KORPRI Sumut Rp2 Miliar untuk Korban Bencana
• 5 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.