JAKARTA, KOMPAS – Asosiasi Pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri, serta serikat pekerja sama-sama tidak puas dengan skema upah minimun 2026. Pengusaha menilai skemanya memberatkan dunia usaha sehingga bisa kontraproduktif bagi tujuan menyejahterakan masyarakat lewat pekerjaan formal. Sementara buruh keberatan karena skema tidak mencerminkan aspirasi tenaga kerja.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, Rabu (17/12/2025), berpendapat, peraturan pemerintah (PP) tentang pengupahan yang baru diterbitkan pemerintah berisiko memberatkan dunia usaha. Alasannya, rentang koefisien atau alfa terlalu tinggi. Skema itu tidak mempertimbangkan produktivitas serta kemampuan perusahaan.
Menurut Bob, rentang koefisien dalam PP di luar perkiraan pelaku usaha. Apindo sebelumnya mengusulkan koefisien sebesar 0,1–0,3 untuk daerah dengan upah minimum yang sudah berada di atas kebutuhan hidup layak (KHL). Untuk daerah dengan upah minimum masih dibawah KHL, Apindo mengusulkan koefisien maksimal 0,5.
“Yang keluar justru alfa 0,5 menjadi batas bawah. Sementara batas atasnya mencapai 0,9. Ini sangat tinggi. Pertanyaannya, bagaimana penerapannya di daerah,” ujar Bob, saat dihubungi.
Maluku Utara, misalnya, yang mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 39 persen pada triwulan III-2025. Menurut Bob, lonjakan tersebut terutama didorong oleh smelter atau instalasi tambang untuk pemurnian komoditas. Sementara industri pengolahan ikan dan industri lainnya kontribusinya tidak setinggi smelter.
“Maksud saya ini kan upah minimum. Kita bahaslah yang minimal. Bahkan perusahaan yang nggak mampu itu bisa melaksanakan. Kalau misalnya ingin lebih tinggi (upah), silakan tripartit di masing-masing perusahaan. Kan, sebenarnya udah cukup fair (adil),” ujarnya.
Bob juga mempertanyakan kepastian keberlakuan formula pengupahan tersebut, apakah hanya untuk satu tahun atau akan digunakan untuk tahun-tahun berikutnya. Ketidakpastian ini dinilai menyulitkan dunia usaha dalam menyusun perencanaan jangka menengah dan panjang.
Peran pemerintah seharusnya difokuskan pada penetapan ambang batas atau threshold nasional. Sementara pelaksanaan kenaikan upah sebaiknya diserahkan pada dialog bipartit di tingkat perusahaan.
Hubungan industrial Pancasila itu menekankan dialog antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Ambang batas tersebut, menurut Bob, idealnya mengacu pada KHL yang dipenuhi secara bertahap.
Bob mengingatkan, kondisi ketenagakerjaan nasional masih rapuh. Sepanjang 2024, Apindo mencatat, terjadi sekitar 170.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Meskipun indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur berada di zona positif, pengurangan tenaga kerja masih terus terjadi akibat efisiensi dan peningkatan otomatisasi.
“Kalau ini terjadi secara meluas, penyediaan lapangan kerja bisa terancam,” katanya.
Bob juga menyoroti rendahnya tingkat produktivitas nasional yang berkisar 1,5–2 persen. Dengan produktivitas tersebut, kemampuan perusahaan menyerap kenaikan biaya, termasuk upah, menjadi sangat terbatas.
Perusahaan yang mampu silakan menaikkan gaji. Tapi realitasnya, banyak perusahaan menyampaikan kepada kami bahwa pelaksanaan upah minimum 2025 saja sudah berat, apalagi 2026.
Kalau produktivitas naik 1,5–2 persen, tapi upah naik sampai 7 persen, maka ada dua pilihan. “Perusahaan menaikkan harga, yang kontraproduktif karena daya beli sedang lemah, atau melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja,” ujarnya.
Bob juga menambahkan, pilihan menurunkan keuntungan pun tidak mudah. Alasannya, sekitar 90 persen perusahaan terbuka saat ini kinerjanya berada di bawah konsensus pasar. Kondisi tersebut mencerminkan tekanan berat terhadap profitabilitas dunia usaha.
“Bukan berarti kami menolak kenaikan upah. Perusahaan yang mampu silakan menaikkan gaji. Tapi realitasnya, banyak perusahaan menyampaikan kepada kami bahwa pelaksanaan upah minimum 2025 saja sudah berat, apalagi 2026,” kata Bob.
Wakil Ketua Umum Bidang Otonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Sarman Simanjorang, mengatakan, para pelaku usaha akan mengikuti seluruh kebijakan pemerintah, khususnya terkait formulasi perhitungan UMP.
Namun ia menekankan, kenaikan UMP 2026 pada sektor tertentu, seperti industri padat karya, ritel, dan industri barang konsumsi (consumer goods) akan memberatkan. Ini mempertimbangkan faktor daya beli masyarakat dan banjir barang impor yang berdampak pada turunnya penjualan sektor-sektor tersebut.
“Jangan sampai kenaikan UMP ini memaksa pengusaha untuk melakukan rasionalisasi, bahkan tidak melakukan rekruitmen pegawai baru pada tahun depan yang pada akhirnya mengurangi lowongan kerja,” ujarnya yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).
Kenaikan UMP setiap tahun menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh sebab itu, ia mengingatkan, kenaikannya harus disesuaikan dengan kemapuan dunia usaha. Sebab, masalah upah bukan hanya terkait dengan kepentingan buruh, melainkan juga pelaku usaha.
Di sisi lain, ia menambahkan, kebijakan kebaikan UMP pada 2026 juga harus mempertimbangkan kondisi perekonomian, baik dari global maupun domestik. Dari sisi global, ketidakpastian masih terjadi seiring dengan konflik geopolitik dan perang dagang.
Kondisi tersebut pun berdampak terahadap perekonomian nasional. Sementara itu, dari sisi domestik, dunia usaha masih menghadapi tantangan daya beli masyarakat yang belum kunjung pulih. Akibatnya, mara terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Rencana teman-teman buruh yang akan melakukan aksi demo menolak formula yang telah ditetapkan oleh Presiden perlu dipertimbangkan. Jangan sampai ada kesan kenaikan UMP, karena tekanan aksi demo tentu ini bisa menurunkan daya saing kita,” ujar Sarman.
Terkait waktu penetapan upah minimum dilakukan paling lambat 24 Desember 2025, Sarman berpendapat, dinas tenaga kerja (disnker) provinsi sudah bisa langsung memproses surat keputusan gubernur ketika rekomendasi Dewan Pengupahan masuk ke meja gubernur melalui disnaker provinsi.
“Hari ini Kemenaker dan Kemendagri melakukan sosialisasi PP tersebut ke seluruh Disnaker. Artinya, mulai Kamis (18/12/2025), Dewan Pengupahan Provinsi sudah bisa melakukan sidang penetapan besaran kenaikan UMP 2026,” kata Sarman.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Partai Buruh, Said Iqbal, menyatakan menolak peraturan pemerintah tentang pengupahan yang baru ditetapkan pemerintah. “Buruh tidak pernah diajak untuk berdiskusi merumuskan aturan pemerintah tersebut,” ujar Said dalam konferensi pers secara daring, Rabu.
Pembahasan di Dewan Pengupahan yang disebut sebagai sosialisasi hanya dilakukan satu kali pada 3 November 2025 dan berlangsung sekitar dua jam. Hingga saat ini, sampai PP Pengupahan diterbitkan, Said mengaku tidak mengetahui isi pasal dalam PP Pengupahan terbaru.
KSPI dan Partai Buruh juga menyoroti definisi KHL yang digunakan pemerintah. Said menegaskan, KHL seharusnya mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 yang menetapkan 64 komponen KHL, antara lain kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya.
“Permenaker Nomor 18/2020, yang kita kenal dengan KHL berjumlah 64 item seperti beras 10 kg, daging 0,75 kg, cicilan rumah atau sewa rumah, transportasi, dan lainnya,” ujarnya.
Akibatnya, menurut said, muncul definisi KHL yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah tanpa kejelasan dasar perhitungan. KSPI mempertanyakan lembaga yang menghitung KHL tersebut, apakah Badan Pusat Statistik (BPS), Dewan Ekonomi Nasional, atau Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kalau menggunakan data BPS, seharusnya memakai Survei Biaya Hidup. Berdasarkan survei itu, biaya hidup di Jakarta bisa mencapai Rp 15 juta per bulan. Tidak mungkin hidup layak hanya dengan Rp 5 juta,” ujar Said.
Ia juga mempertanyakan peran Dewan Ekonomi Nasional dalam konteks tripartit ketenagakerjaan. Lembaga tersebut bukan bagian dari struktur resmi tripartit yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dewan Ekonomi Nasional hanya satu lembaga adhoc untuk membantu presiden saja.
Said menilai definisi KHL yang disampaikan pemerintah berpotensi menjadi alat framing seolah-olah upah minimum di Indonesia sudah melampaui kebutuhan hidup layak. “Dengan demikian, jelas isi jelas PP tersebut dengan menggunakan definisi KHL yang tidak punya dasar hukum adalah merugikan buruh,” lanjutnya.
Alasan lain penolakan PP Pengupahan adalah karena aturan tersebut dinilai mengadopsi kembali rezim upah murah sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 51 Tahun 2024 tentang Pengupahan yang sebelumnya telah dicabut.
“Banyak pasal dari PP lama yang menganut rezim upah murah kembali diadopsi. Karena itu, kami menolak PP Pengupahan ini secara keseluruhan,” kata Said.
KSPI juga menolak rumusan penetapan upah minimum 2026 sebagaimana disampaikan Menteri Ketenagakerjaan, yang menggunakan formula inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu atau alfa, dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, sebagaimana merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2024.



