JAKARTA, KOMPAS — Dua polisi pengeroyok debt collector atau mata elang (matel) di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat dalam Sidang Komisi Kode Etik Profesi. Keduanya dinilai memiliki peran yang dominan sehingga mengakibatkan dua orang mengalami luka berat hingga meninggal.
Kepala Bagian Penerangan Umum Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Komisaris Besar Erdi A Chaniago dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (17/12/2025), mengatakan, Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri telah menyidangkan enam polisi pelaku pengeroyokan dua orang debt collector di depan TMP Kalibata pada Kamis (11/12/2025). Sidang digelar di Gedung Presisi III Mabes Polri pukul 08.00-17.45 WIB.
Sidang KKEP memutuskan, dari enam polisi pelaku pengeroyokan tersebut, dua orang dipecat. Mereka adalah Brigadir Dua AMZ selaku pemilik sepeda motor NMAX hitam yang dicegat dan diberhentikan pihak penagih utang dan Brigadir IAM selaku pihak yang menerima informasi melalui grup Whatsapp dari AMZ tentang AMZ beserta motornya yang dihentikan penagih utang.
”Sanksi etika, yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Sanksi administratif, yaitu pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri. Atas putusan tersebut, kedua pelanggar menyatakan banding,” kata Erdi.
Proses negosiasi bisa dilakukan di kantor, bukan dengan merampas unitnya di jalan.
Keduanya dinilai terbukti melanggar Pasal 13 Ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 8 Huruf c Angka 1 Perpol No 7/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Pasal berikutnya yang dilanggar adalah Pasal 13 Ayat 1 PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 13 Huruf m Perpol No 7/2022.
Dituturkan, Brigadir Dua AMZ dihentikan oleh penagih utang atau mata elang di depan TMP Kalibata. Si mata elang atau penagih utang dikatakan lekas mencabut kunci sepeda motor milik Bripda AN (AN adalah inisial yang disebut saat konferensi pers di Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu, sedangkan AMZ disebut pada konferensi pers Rabu ini. AN dan AMZ merujuk pada orang yang sama).
Melalui pesan aplikasi Whatsapp, AMZ memanggil rekannya, Brigadir IAM. Spontan, IAM mengajak 4 orang lainnya mendatangi AMZ di Kalibata. Mereka adalah Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, dan Bripda BN.
Dengan tangan kosong, keenam polisi tersebut menganiaya dua mata elang hingga mengalami luka berat. MET (41) dinyatakan tewas di lokasi. Adapun NAT (32), korban lainnya, mengalami luka serius dan kemudian meninggal di Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta.
Kematian MET dan NAT menyulut konflik lanjutan. Para anggota kelompok mata elang yang tidak terima rekannya dianiaya menyerbu kios di seberang TMP Kalibata dan merusak kendaraan yang berada di lokasi. Mereka mengira penganiaya rekannya adalah warga setempat.
Akibat tindakan tersebut, setidaknya 4 unit mobil dan 7 unit sepeda motor rusak. Lalu ada 14 lapak pedagang rusak, 2 kios terbakar atau rusak berat, dan 2 rumah warga mengalami kerusakan, seperti kaca pecah.
Erdi mengatakan, dari persidangan etik tersebut diperoleh fakta bahwa empat polisi lainnya hanya mengikuti ajakan senior. Mereka disebut turut melakukan pengeroyokan untuk menolong AMZ yang diberhentikan pihak penagih utang.
Berdasarkan perannya itu, keempat polisi tersebut dijatuhi sanksi etika berupa perilaku mereka dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Mereka juga diwajibkan meminta maaf secara lisan kepada Sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri. ”Atas putusan tersebut, pelanggar menyatakan banding,” ujar Erdi.
Menurut Erdi, kasus pembakaran yang terjadi di depan TMP Kalibata hingga saat ini masih didalami penyidik Polda Metro Jaya. Erdi memastikan Polri berkomitmen untuk menuntaskan penyidikan kasus tersebut secara menyeluruh. ”Kita pastikan juga dalam proses tersebut, rasa keadilan tetap kita prioritaskan,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto menyatakan, apa pun yang terjadi, aksi premanisme tidak boleh terjadi, termasuk merampas kendaraan milik nasabah di jalan. ”Proses negosiasi bisa dilakukan di kantor, bukan dengan merampas unitnya di jalan,” kata Budi.
Menurut dia, kejadian di Kalibata merupakan dampak dari cara-cara penagihan yang salah oleh penagih utang. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak semua penagih utang dibekali pengetahuan tentang norma hukum yang perlu dijadikan pedoman. Oleh karena itu, evaluasi regulasi dan edukasi sangat diperlukan agar kejadian di Kalibata tidak terulang.
Budi pun berharap warga tidak segan untuk melapor jika menjadi korban perampasan unit oleh pihak penagih utang. ”Kami akan tangani segera,” ujarnya (Kompas.id, 16/12/2025).



