Banyak dari kita tumbuh dengan pemahaman yang sederhana tentang syukur.
Jika kita bersyukur, Allah akan menambah nikmat. Tambahan itu sering kita bayangkan dalam bentuk yang paling mudah diukur, misalnya gaji.
Saya dulu juga berpikir begitu.
Jika saya bersyukur dengan gaji tiga juta, mungkin Allah akan menaikkannya menjadi enam juta. Jika saya bersyukur dengan enam juta, mungkin akan naik lagi. Syukur terasa seperti tangga menuju angka yang lebih besar.
Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari bahwa pemahaman itu tidak selalu tepat.
Ada orang yang gajinya tetap tiga juta, tetapi hidupnya terasa tenang. Ia tahu apa yang bisa dipenuhi, apa yang harus ditunda, dan apa yang tidak perlu dikejar. Di sisi lain, ada orang yang bergaji ratusan juta, tetapi selalu merasa kurang. Penghasilannya besar, tetapi pikirannya sempit. Kebutuhannya terus bertambah, dan rasa puasnya tidak pernah datang.
Di titik itu saya sadar, masalahnya bukan pada jumlah uangnya, tetapi pada rasa yang tidak pernah diajarkan cara berhenti.
Di sanalah saya mulai memahami sesuatu yang lebih dalam. Tambahan nikmat tidak selalu berarti tambahan angka. Kadang, tambahan nikmat hadir dalam bentuk yang tidak terlihat, tetapi sangat terasa.
Ketika Allah berfirman bahwa nikmat akan ditambah bagi orang yang bersyukur, tambahan itu bisa berupa rasa cukup. Gaji boleh tetap sama, kondisi hidup boleh tidak berubah drastis, tetapi cara kita merasakan hidup berubah sepenuhnya. Apa yang dulu terasa menekan, kini terasa cukup. Apa yang dulu membuat gelisah, kini bisa diterima.
Rasa cukup inilah yang sering luput kita sadari sebagai nikmat. Padahal, di sanalah letak kenikmatan yang paling tinggi. Orang yang memiliki rasa cukup tidak hidup dalam kejaran tanpa akhir. Ia bekerja, berusaha, dan berharap, tetapi tidak diperbudak oleh rasa kurang.
Sebaliknya, tanpa rasa cukup, nikmat sebesar apa pun akan terasa kecil. Gaji yang besar tidak menjamin ketenangan. Fasilitas yang lengkap tidak otomatis menghadirkan damai. Tanpa rasa cukup, hidup berubah menjadi perlombaan yang tidak pernah selesai.
Di titik ini, syukur tidak lagi tentang berharap hidup berubah, tetapi tentang cara hati memandang hidup yang sedang dijalani. Allah tidak selalu menambah apa yang kita punya, tetapi sering kali memperbaiki cara kita merasakannya.
Mungkin itulah sebabnya rasa cukup terasa begitu mahal. Ia tidak datang dari luar, tetapi ditanamkan di dalam. Ia membuat hidup sederhana terasa lapang, dan hidup sulit terasa masih bisa dijalani.
Jika nikmat diukur dari besarnya angka, maka selalu ada orang yang lebih beruntung. Tetapi jika nikmat diukur dari rasa cukup, maka siapa pun berpeluang merasakannya. Dan di sanalah letak keindahan janji Allah tentang syukur, yang tidak selalu mengubah keadaan, tetapi hampir selalu mengubah hati.
Namun rasa cukup sering disalahpahami sebagai berhenti melangkah. Padahal, justru dari rasa cukup itulah usaha yang lebih jujur dan tidak melelahkan bisa dimulai.



