Banjir bukan sekadar bencana alam. Ia adalah cermin ketimpangan sosial yang selama ini tersembunyi. Dalam berbagai peristiwa banjir besar di Indonesia termasuk kasus terkini di Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada Desember 2025 perempuan kembali menanggung dampak yang tidak proporsional.
Bukan hanya karena faktor biologis, tetapi juga karena posisi sosial, ekonomi, dan kultural yang membuat mereka lebih rentan dalam situasi krisis.
Data dan laporan lapangan menunjukkan bahwa perempuan mengalami apa yang disebut sebagai dampak ganda bencana: terdampak secara langsung oleh banjir sekaligus menanggung beban pengasuhan, perawatan keluarga, dan pemulihan sosial setelah bencana.
Dalam banyak kasus di Sumatera, perempuan dan anak dilaporkan mencapai sekitar 60 persen dari total pengungsi banjir, sementara akses mereka terhadap layanan aman dan layak justru paling terbatas (Tempo, 2025; Kompas, 2025).
Kerentanan yang BerlapisKerentanan perempuan dalam situasi banjir tidak berdiri sendiri. Ia bersifat berlapis. Di pengungsian darurat, perempuan menghadapi risiko tinggi kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual, dan kehilangan privasi.
Laporan Komnas Perempuan mencatat bahwa pengungsian sering kali tidak memiliki tata ruang sensitif gender: tenda campur, toilet tidak terpisah, pencahayaan minim, dan pengawasan yang lemah kondisi yang membuka peluang kekerasan dan eksploitasi (Komnas Perempuan, 2025).
Selain risiko keamanan, persoalan kesehatan reproduksi kerap terabaikan. Kebutuhan dasar seperti pembalut, air bersih, ruang laktasi, dan layanan kehamilan darurat sering tidak masuk prioritas awal penanganan bencana.
Perempuan hamil, menyusui, atau sedang menstruasi harus bertahan di ruang sempit tanpa sanitasi layak, yang berpotensi memicu infeksi, komplikasi kesehatan, hingga trauma psikologis jangka panjang (Rumah Kitab, 2024).
Situasi menjadi jauh lebih berat bagi perempuan penyandang disabilitas dan perempuan lanjut usia. Hambatan mobilitas, minimnya alat bantu, serta desain posko yang tidak inklusif membuat proses evakuasi dan bertahan hidup menjadi berlipat sulit. Dalam banyak kasus, mereka bergantung sepenuhnya pada keluarga atau relawan yang juga terdampak banjir (Tempo, 2025).
Ketidakadilan Struktural dalam Penanganan BencanaMasalah utama dari dampak ganda ini bukan semata kurangnya empati, tetapi absennya perspektif gender dalam tata kelola kebencanaan. Penanganan bencana di Indonesia masih cenderung netral gender yang dalam praktiknya justru bias terhadap kelompok dominan.
Kebijakan dan SOP kebencanaan sering disusun tanpa data terpilah gender, usia, dan disabilitas. Akibatnya, kebutuhan spesifik perempuan tidak terbaca dalam perencanaan logistik, desain posko, maupun distribusi bantuan. Padahal berbagai studi menunjukkan bahwa respons bencana yang tidak responsif gender berkontribusi pada meningkatnya kekerasan, penyakit, dan kemiskinan pascabencana (Wacana Publik, 2021).
Dalam konteks krisis iklim yang memperparah frekuensi banjir, pendekatan semacam ini tidak lagi memadai. Ketidakadilan gender dalam bencana bukan persoalan insidental, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang tidak inklusif sejak awal.
Posko Ramah Perempuan: Bukan Tambahan, Tapi Kebutuhan DasarSalah satu intervensi paling krusial adalah penyediaan posko pengungsian ramah perempuan. Konsep ini bukan wacana normatif, melainkan standar minimum kemanusiaan yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan, BNPB, dan UNFPA.
Posko ramah perempuan mensyaratkan pemisahan area tidur perempuan dan anak dari laki-laki, toilet terpisah dengan pencahayaan 24 jam, jalur aman bagi disabilitas, serta pengawasan aktif termasuk patroli malam berbasis komunitas.
Selain itu, ketersediaan menstrual hygiene kit, pos kesehatan reproduksi dengan bidan, dan ruang konseling trauma yang privat merupakan komponen esensial, bukan pelengkap (Media Indonesia, 2025; UNFPA Indonesia, 2020).
Pengelolaan posko juga menentukan efektivitas perlindungan. Keterlibatan perempuan dalam struktur pengelola minimal 30 persen terbukti meningkatkan sensitivitas terhadap kebutuhan pengungsi perempuan dan mencegah konflik distribusi bantuan.
Pengalaman berbagai daerah menunjukkan bahwa dapur umum yang dikelola perempuan cenderung lebih higienis dan adil dalam pembagian makanan (Kemenko PMK, 2024).
Perempuan sebagai Agen Ketangguhan BencanaPendekatan responsif gender tidak berhenti pada perlindungan. Perempuan juga harus diposisikan sebagai agen perubahan dalam mitigasi dan pemulihan bencana.
Di berbagai wilayah rawan banjir, komunitas perempuan telah lama memiliki pengetahuan lokal tentang pola air, tanda-tanda alam, dan strategi bertahan hidup—pengetahuan yang sering diabaikan dalam kebijakan formal.
Pelibatan komunitas perempuan dalam edukasi literasi bencana, pelatihan evakuasi, hingga pengawasan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat memperkuat ketahanan lokal.
Di Sumatera Utara, misalnya, kolaborasi antara pemerintah daerah, LSM, dan komunitas perempuan menjadi kunci dalam penyebaran informasi mitigasi banjir berbasis kearifan lokal (Kompas, 2025).
Pemberdayaan ini juga berfungsi sebagai strategi pencegahan kekerasan. Ketika perempuan memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan, risiko eksploitasi di pengungsian dapat ditekan, dan pemulihan sosial berlangsung lebih adil.
Menuju Tata Kelola Bencana yang Berkeadilan GenderKe depan, pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana harus menjadi kebijakan arus utama, bukan respons darurat. Pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Perlindungan Perempuan dalam Bencana, memperkuat koordinasi antara BNPB, Dinas PPPA, dan layanan kesehatan, serta memastikan monitoring berbasis sistem seperti Simfoni PPA berjalan efektif.
Di tingkat nasional, integrasi perspektif gender dalam RPJMN dan kebijakan adaptasi perubahan iklim menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa bencana tidak terus mereproduksi ketidakadilan. Tanpa pendekatan ini, banjir akan terus menjadi peristiwa alam yang dampaknya ditanggung secara tidak setara terutama oleh perempuan.
Banjir memang tidak memilih korban. Tetapi kebijakan yang abai terhadap gender secara sistematis membuat perempuan selalu menjadi pihak yang paling terdampak.
Di sinilah keadilan sosial diuji: bukan pada saat air surut, tetapi pada cara negara memastikan bahwa pemulihan berjalan aman, manusiawi, dan setara.


