Dalam banyak keluarga, kata orang tua masih identik dengan otoritas. Ayah dan ibu diposisikan sebagai pemegang kuasa tertinggi atas keputusan, aturan, dan arah hidup anak. Pola ini telah berlangsung lintas generasi dan kerap dianggap wajar bahkan perlu demi membentuk anak yang patuh, disiplin, dan “berhasil” menurut standar sosial.
Namun, di balik niat baik tersebut, ada satu konsekuensi yang sering luput disadari: ketika otoritas dijalankan secara kaku dan sepihak, hubungan orang tua dan anak perlahan kehilangan kehangatan emosionalnya.
Tidak sedikit anak yang tumbuh dengan rasa segan, takut, atau menjaga jarak dengan orang tuanya sendiri. Komunikasi terbatas pada perintah dan larangan, bukan dialog dan saling memahami. Anak mungkin patuh secara perilaku, tetapi jauh secara perasaan. Fenomena inilah yang menjadi persoalan mendasar dalam relasi keluarga masa kini: otoritas orang tua yang tidak disertai kelekatan emosional justru menciptakan jurang yang sulit dijembatani.
Otoritas yang Diwariskan, Bukan DirefleksikanBanyak orang tua hari ini menjalankan pola pengasuhan berdasarkan apa yang mereka alami di masa lalu. Mereka dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan kepatuhan mutlak kepada orang tua, minim ruang bertanya, apalagi berpendapat. Kalimat seperti “orang tua selalu benar” atau “anak tidak boleh membantah” menjadi prinsip tak tertulis yang terus direproduksi.
Masalahnya, dunia tempat anak-anak tumbuh hari ini jauh berbeda. Anak hidup di era keterbukaan informasi, kebebasan berekspresi, dan kesadaran akan kesehatan mental. Ketika pola pengasuhan lama yang otoriter dipaksakan dalam konteks sosial yang baru, benturan tak terelakkan terjadi. Anak tidak lagi sekadar membutuhkan arahan, tetapi juga pengakuan atas perasaan dan pikirannya.
Otoritas yang tidak pernah direfleksikan berisiko berubah menjadi dominasi. Orang tua merasa memiliki hak penuh untuk mengatur, sementara anak tidak diberi ruang untuk menjelaskan, apalagi berbeda pendapat. Dalam jangka panjang, relasi seperti ini mengikis kepercayaan emosional anak terhadap orang tuanya sendiri.
Data yang Menggambarkan Jarak EmosionalBerbagai penelitian menunjukkan bahwa kualitas hubungan emosional antara orang tua dan anak berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental anak. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental pada remaja, termasuk kecemasan dan depresi. Salah satu faktor risikonya adalah minimnya dukungan emosional dari keluarga inti.
Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF Indonesia juga menemukan bahwa banyak remaja merasa lebih nyaman bercerita kepada teman sebaya atau media sosial dibandingkan kepada orang tua. Alasan utamanya bukan karena kurangnya kasih sayang, melainkan karena anak merasa tidak didengar atau takut dihakimi.
Fakta ini menunjukkan bahwa jarak emosional bukan selalu akibat kurangnya cinta, tetapi sering kali karena pola komunikasi yang timpang. Ketika orang tua lebih sering memberi instruksi daripada mendengarkan, anak belajar untuk diam bukan karena setuju, melainkan karena tidak merasa aman secara emosional.
Ketika Kepatuhan Menggantikan KedekatanDalam keluarga yang sangat menekankan otoritas, kepatuhan sering dijadikan tolak ukur keberhasilan pengasuhan. Anak yang “baik” adalah anak yang tidak membantah, mengikuti semua aturan, dan memenuhi ekspektasi orang tua. Sayangnya, kepatuhan semacam ini kerap dibangun di atas rasa takut, bukan pemahaman.
Anak mungkin menuruti perintah orang tua, tetapi menyimpan perasaan tertekan, marah, atau tidak dipahami. Emosi-emosi ini tidak hilang; ia hanya terpendam. Ketika dewasa, anak yang dibesarkan dalam pola ini berisiko mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan, membangun relasi yang sehat, atau mengambil keputusan secara mandiri.
Lebih jauh, hubungan orang tua dan anak bisa berubah menjadi relasi formal tanpa keintiman. Orang tua hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional. Anak pun belajar untuk menjaga jarak, karena merasa tidak ada ruang aman untuk menjadi diri sendiri.
Contoh Nyata dalam Kehidupan Sehari-hariKita bisa dengan mudah menemukan contoh jarak emosional ini dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang enggan pulang ke rumah, remaja yang lebih memilih mengurung diri di kamar, atau anak yang hanya berbicara seperlunya dengan orang tua. Semua itu sering dianggap sebagai “fase”, padahal bisa jadi merupakan tanda relasi yang renggang.
Ada pula anak yang berprestasi secara akademik, tetapi mengalami tekanan mental karena tuntutan orang tua yang terlalu tinggi. Setiap pencapaian dianggap belum cukup, setiap kegagalan disambut dengan kritik. Dalam situasi seperti ini, otoritas orang tua tidak lagi berfungsi sebagai penopang, melainkan sebagai sumber beban psikologis.
Ironisnya, banyak orang tua baru menyadari jarak emosional ini ketika anak sudah dewasa saat komunikasi semakin jarang dan hubungan terasa asing. Padahal, jarak tersebut tidak terbentuk dalam semalam, melainkan melalui pola interaksi yang berlangsung bertahun-tahun.
Otoritas Bukan Masalah, Cara Menggunakannya yang Perlu Dievaluasi
Penting untuk ditegaskan bahwa otoritas orang tua pada dasarnya diperlukan. Anak membutuhkan batasan, arahan, dan struktur untuk tumbuh dengan aman. Namun, otoritas yang sehat seharusnya berjalan beriringan dengan empati dan komunikasi dua arah.
Otoritas bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling bertanggung jawab. Orang tua yang berotoritas seharusnya mampu menjelaskan alasan di balik aturan, mendengarkan sudut pandang anak, dan membuka ruang dialog. Dengan demikian, anak tidak hanya patuh, tetapi juga memahami dan merasa dihargai.
Pendekatan ini sejalan dengan konsep authoritative parenting yang banyak direkomendasikan oleh para ahli perkembangan anak. Pola ini menggabungkan ketegasan dengan kehangatan, aturan dengan dialog, serta kontrol dengan kepercayaan.
Dampak Jangka Panjang bagi Anak dan Orang TuaJarak emosional yang dibiarkan berlarut-larut dapat membawa dampak jangka panjang bagi kedua belah pihak. Bagi anak, ia berisiko tumbuh dengan luka emosional yang memengaruhi hubungan interpersonal di masa depan. Anak mungkin kesulitan mempercayai orang lain atau mengekspresikan kebutuhan emosionalnya.
Bagi orang tua, kehilangan kedekatan dengan anak berarti kehilangan peran penting dalam kehidupan anak itu sendiri. Tidak sedikit orang tua yang merasa “ditinggalkan” oleh anaknya ketika dewasa, tanpa menyadari bahwa jarak tersebut terbentuk sejak lama.
Relasi keluarga yang renggang juga berdampak pada ketahanan keluarga secara keseluruhan. Keluarga yang minim komunikasi emosional lebih rentan terhadap konflik, kesalahpahaman, dan keterasingan antaranggota.
Membangun Kembali Kedekatan EmosionalMembangun kedekatan emosional tidak selalu membutuhkan perubahan besar, tetapi konsistensi dalam hal-hal sederhana. Mendengarkan tanpa menghakimi, mengakui perasaan anak, dan memberi ruang bagi anak untuk berbicara adalah langkah awal yang penting.
Orang tua juga perlu berani merefleksikan diri: apakah selama ini lebih sering berbicara daripada mendengar? Apakah aturan yang dibuat benar-benar untuk kepentingan anak, atau sekadar melanjutkan pola lama? Refleksi semacam ini bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan dalam mengasuh.
Bagi anak, keberanian untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang hormat juga menjadi bagian dari upaya menjembatani jarak. Hubungan yang sehat dibangun oleh dua arah, meskipun tanggung jawab utama tetap berada di pundak orang tua.
Menuju Relasi yang Lebih ManusiawiOtoritas orang tua tidak seharusnya menjadi tembok yang memisahkan, melainkan jembatan yang menghubungkan. Ketika otoritas dijalankan tanpa kelekatan emosional, yang tersisa hanyalah kepatuhan semu dan hubungan yang dingin. Sebaliknya, ketika otoritas disertai empati dan dialog, keluarga dapat menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang emosional anak.
Sudah saatnya orang tua dan anak sama-sama bergerak menuju relasi yang lebih manusiawi—relasi yang tidak hanya menuntut, tetapi juga mendengarkan; tidak hanya mengatur, tetapi juga memahami. Dengan demikian, keluarga tidak lagi menjadi tempat penuh jarak, melainkan ruang pulang yang hangat bagi setiap anggotanya.
Masa depan hubungan orang tua dan anak tidak ditentukan oleh seberapa kuat otoritas ditegakkan, melainkan seberapa dalam keterhubungan emosional dibangun sejak hari ini.





