Sudah bertahun-tahun berlalu sejak badai menerpa rumah tangga Fitrah. Luka telah mengering, menyisakan bekas yang menjadi pengingat abadi akan pentingnya kesetiaan dan kejujuran. Syakira dan Bang Jarwo kini hanyalah bayangan masa lalu yang kelam, sementara Fitrah, dengan bimbingan Bos Top, Bu Chintya dan restu Arine, telah menapaki puncak karirnya, menjadi Pemimpin Redaksi Kabar Kilat—sebuah jabatan yang diidam-idamkan insan pers.
Suatu sore yang sakral, di sebuah aula yang dipenuhi insan pers nasional, Fitrah berdiri di hadapan ratusan pasang mata. Ia menerima penghargaan bergengsi ‘Jurnalisme Terbaik Tahun Ini’ dari Dewan Pers atas serangkaian investigasi-nya yang berdampak besar—mengungkap kebobrokan sistemik yang merugikan rakyat.
Saat lampu sorot tertuju padanya, Fitrah menatap lurus ke arah barisan depan, di mana Arine duduk dengan anggunnya. Di sisinya, Arjuna, putranya yang kini beranjak remaja dengan tatapan mata tajam, dan Kinara, putrinya yang manis, menatap ayah mereka dengan penuh kekaguman.
Air mata haru menggenang di mata Fitrah, memburamkan sejenak aula megah itu. Dia menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar menahan emosi saat memulai pidatonya.
"Penghargaan ini... penghargaan ini bukan hanya untuk saya," ujar Fitrah, suaranya memantul di ruangan hening. "Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) itu benar, tapi kali ini, ini untuk pilar kekuatan saya. Untuk istri saya, Arine, yang mengajarkan saya arti kesabaran yang tak terhingga, pengampunan yang murni, dan cinta sejati yang mampu menyembuhkan luka paling dalam, lebih manjur dari obat medis manapun."
Ruangan itu hening, hanya terdengar isak tangis samar. Arine, di kursinya, tak kuasa menahan air mata yang kini mengalir deras di pipinya. Ia memegang erat tangan Arjuna, yang ikut terharu melihat ketulusan ayahnya, memahami bahwa drama rumah tangga bisa lebih epic dari skandal politik.
"Dulu, saya pernah tersesat," lanjut Fitrah, kini suaranya lebih mantap, penuh penyesalan yang mendalam. "Saya mengejar adrenalin, melupakan apa yang paling berharga, mengkhianati kepercayaan suci (integritas pernikahan). Tapi keluarga saya, mereka adalah rumah saya, kompas moral saya yang sejati, kebahagiaan hakiki. Mereka yang menarik saya dari kegelapan."
"Tanpa Arine, tanpa tawa Arjuna dan Kinara, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang jurnalis yang hampa, yang mungkin berhasil mengungkap kebusukan dunia, tapi gagal menjaga keindahan di rumahnya sendiri, gagal membangun kebahagiaan keluarga."
Di akhir pidatonya, Fitrah membungkuk hormat ke arah keluarganya. Seluruh ruangan bergemuruh oleh tepuk tangan panjang yang penuh simpati dan apresiasi.
Malam itu, Fitrah kembali ke meja kerjanya. Aroma tinta masih tercium, tapi kini berbaur dengan aroma kebahagiaan dan cinta yang tulus. Ia menatap lencana Pers-nya yang baru, dengan rasa damai yang absolut di hatinya.
Tantangan baru mungkin akan datang, skandal baru mungkin akan menunggu untuk diungkap. Tapi Fitrah Nusantara tahu persis, selama ia punya keluarga di sisinya, ia siap menghadapi babak selanjutnya, seberat apa pun itu. Karena integritas sejati, pada akhirnya, berawal dan berakhir di rumah, di dalam hati yang mencintai dan dicintai.
--- TAMAT ---



