JAKARTA, KOMPAS.com - Menara Saidah hingga kini masih berdiri tegak di tepi Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan.
Bangunan setinggi 28 lantai yang telah lama ditinggalkan itu belum juga dibongkar meski berkali-kali muncul wacana penertiban.
Di balik opsi pembongkaran, pengamat lingkungan mengingatkan adanya risiko serius terhadap kualitas udara, kebisingan, hingga getaran yang dapat berdampak langsung pada warga dan infrastruktur di sekitarnya.
Baca juga: Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
“Secara ilmiah, pembongkaran bangunan besar di kawasan perkotaan yang padat penduduk itu berisiko tinggi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial,” ujar pengamat lingkungan Mahawan Karuniasa saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/12/2025).
Debu dari proses pembongkaran dapat menyebar ke permukiman, area perkantoran, hingga koridor transportasi publik di sekitar Menara Saidah.
“PM 2,5 itu sangat kecil dan bisa masuk ke aliran darah. WHO (World Health Organization) sudah menyatakan ada korelasi kuat antara paparan PM 2,5 dengan gangguan pernapasan dan iritasi mata,” kata dia.
Ia menambahkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembongkaran gedung tanpa pengendalian basah berupa water spraying dapat meningkatkan konsentrasi PM 2,5 hingga dua sampai lima kali lipat di area sekitar lokasi.
Selain debu, Mahawan menyoroti kebisingan dan getaran sebagai risiko lanjutan. Aktivitas pembongkaran bangunan tinggi dapat menghasilkan kebisingan 70 hingga 90 desibel, jauh melampaui ambang batas aman WHO yang berada di angka 55 desibel.
“Dampaknya bukan hanya gangguan pendengaran, tapi juga stres psikologis, gangguan tidur, hingga penurunan produktivitas warga dan pekerja di sekitar lokasi,” ujar Mahawan.
Sementara itu, getaran dari alat berat berpotensi memicu retakan pada bangunan di sekitarnya, termasuk permukiman warga dan infrastruktur bawah tanah berupa pipa air dan gas.
“Getaran ini berisiko memunculkan konflik sosial. Ketika bangunan sekitar retak, siapa yang bertanggung jawab? Itu yang sering kali luput dari perencanaan,” kata Mahawan.
Baca juga: Menyelami Pesona Pasar Loak Jatinegara, Surga Barang Bekas di Jakarta Timur
Ia menekankan, jika pembongkaran Menara Saidah benar-benar dilakukan, pemerintah dan pemilik gedung harus memastikan mitigasi lingkungan dan sosial dilakukan secara ketat, bukan sekadar memenuhi aspek administratif.
Antara Dibongkar atau Dikelola dengan BijakBagi Mahawan, pilihan membongkar atau mempertahankan Menara Saidah harus didasarkan pada kajian yang komprehensif.
“Kalau dibongkar, risikonya nyata. Tapi kalau dibiarkan, juga menciptakan masalah tata kota dan keselamatan,” katanya.
Ia menegaskan, kunci utama ada pada pengawasan dan pelibatan masyarakat.
“Jangan hanya fokus pada dokumen. Pengawasan lapangan, mitigasi dampak, dan komunikasi publik itu krusial,” ujarnya.
Kajian Teknis Pernah DilakukanDari sisi Pemerintah Provinisi (Pemprov) DKI Jakarta, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta menegaskan bahwa Menara Saidah sebelumnya telah melalui kajian teknis oleh pihak profesional.
“Pada waktu itu sudah ada hasil kajian teknis dari profesional dan tidak dinyatakan membahayakan,” ujar Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Citata DKI Jakarta, Kartika Andam Dewi, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/12/2025).




