Serba-serbi MK Kabulkan Gugatan Ariel-Raisa soal Hak Cipta

kumparan.com
20 jam lalu
Cover Berita

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Hak Cipta yang dilayangkan artis Bernadya, Nadin Amizah, Raisa Andriana, Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, hingga Nazril Irham atau akrab disapa Ariel.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di MK, Rabu (17/12).

Salah satu poin yang dikabulkan MK adalah terkait sengketa hak cipta yang harus diselesaikan lewat restorative justice (RJ).

Hal tersebut terkait dengan gugatan terhadap Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut MK, pasal ini, khususnya huruf f, bertentangan dengan UUD 1945.

"Frasa huruf f dalam norma pasal 113 ayat (2) UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice'," papar Suhartoyo.

Terkait hal tersebut, Hakim Enny Nurbaningsih menyebut bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 28/2014 pada dasarnya merupakan norma sekunder yang mengikuti pengaturan dalam norma primernya, yaitu pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h.

Norma tersebut mengatur bahwa pencipta lagu atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan untuk melakukan penerjemah ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pertunjukan ciptaan, komunikasi ciptaan.

Setiap orang yang akan melaksanakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan tersebut di atas, wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.

Menurut MK, aturan ini untuk memberikan dasar hukum perlindungan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta dari setiap bentuk penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pelanggaran terhadap pasal itu, menurut MK, harus terlebih dahulu diselesaikan dengan mekanisme perdata atau administratif. Adapun pilihan pidana, merupakan langkah terakhir. Hal tersebut, untuk menghindari kekhawatiran bagi para musisi saat tampil.

"Pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, haruslah mengedepankan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan, dibandingkan sanksi pidana," ucap Enny.

"Penerapan sanksi pidana sebagai upaya pertama akan dapat menimbulkan kekhawatiran/ketakutan bagi pengguna ciptaan yang banyak berprofesi sebagai seniman, musisi dan pelaku pertunjukkan untuk tampil di ruang publik. Hal tersebut berpengaruh pula pada ekosistem seni dan budaya yaitu kreativitas mereka dalam mengekspresikan dan menampilkan suatu karya," sambungnya.

Enny kemudian merujuk kepada pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta yang memberikan pengaturan mengenai penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta atau pemegang hak cipta dengan membayar royalti kepada LMK.

Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa hak cipta yang diterapkan dalam UU 28/2014 mengandung fleksibilitas yang seharusnya diikuti pula dengan penyelesaian sengketa yang memberikan perlindungan kepada semua pihak secara proporsional.

"Misalnya dengan penyelesaian ganti rugi secara administratif atau perdata melalui pembayaran kepada LMK, sehingga mekanisme penegakan sanksi pidana menjadi pilihan terakhir," tegas Enny.

Atas dasar tersebut, MK memberikan pemaknaan terhadap frasa dalam pasal 113 ayat (2) huruf f menjadi: 'dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice'.

Ini Pasal yang Diubah

Dalam putusannya, MK mengubah 3 pasal dalam UU Hak Cipta, yakni: Pasal 23 ayat (5); Pasal 87 ayat (1); dan Pasal 113 ayat (2). Berikut uraiannya:

Pasal 23 ayat (5)

Pasal ini sebelumnya berbunyi:

"Setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."

MK menyatakan frasa 'setiap orang' dalam pasal tersebut tak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial'.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengatakan frasa 'setiap orang' dalam pasal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Sebab, tak dijelaskan maksud siapa yang memiliki kewajiban untuk membayarkan royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

MK menilai, dalam suatu pertunjukan komersial, yang mengetahui secara rinci keuntungan yang didapat adalah pihak penyelenggara. Sehingga, mereka yang dinilai berkewajiban untuk membayarkan royalti.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan," kata Enny dalam sidang di MK, Rabu (17/12).

MK juga menyatakan perlu ada aturan yang jelas terkait batas waktu pembayaran royalti.

Pasal 87 ayat (1)

Pasal ini sebelumnya berbunyi:

"Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial."

MK memutuskan untuk menyatakan frasa 'imbalan yang wajar' tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan'.

MK menilai, frasa 'imbalan yang wajar' menyebabkan ketidakpastian hukum karena menimbulkan ruang penafsiran yang bebas oleh masyarakat. Karenanya, frasa ini perlu dipertegas.

Menurut MK, imbalan yang diberikan atas ciptaan tak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat untuk menikmati hasil ciptaannya.

"Berdasarkan pertimbangan hukum, dalil para Pemohon perihal frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’ adalah beralasan menurut hukum,” ucap Enny.

Putusan MK soal UU Hak Cipta: Penyelenggara Pertunjukan Harus Bayar Royalti

Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan penyelenggara pertunjukan membayarkan royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Pembayarannya dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Hal itu tertuang dalam putusan MK nomor: 28/PUU-XXIII/2025. Ini dimohonkan oleh sejumlah musisi Nazril Irham (Ariel), Bernadya, hingga Raisa Andriana. Mereka mempersoalkan UU Nomor 28 tahun 2014 (UU Hak Cipta).

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta. Pasal itu berbunyi:

"Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."

Dalam putusannya, MK menyatakan frasa 'setiap orang' dalam pasal tersebut tak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial'.

"Dengan demikian, frasa ‘Setiap Orang’ dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta harus dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan’," kata hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, dalam sidang di MK, Selasa (17/12).

Dalam pertimbangannya, Enny mengatakan frasa 'setiap orang' dalam pasal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Sebab, tak dijelaskan maksud siapa yang memiliki kewajiban untuk membayarkan royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

MK menilai, dalam suatu pertunjukan komersial, yang mengetahui secara rinci keuntungan yang didapat adalah pihak penyelenggara. Sehingga, mereka yang dinilai berkewajiban untuk membayarkan royalti.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan," jelas Enny.

MK juga menyatakan perlu ada aturan yang jelas terkait batas waktu pembayaran royalti.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sistem AHWA Sebagai Sarana Mengembalikan Marwah NU
• 20 jam lalurepublika.co.id
thumb
Jeritan Hati Khairani, Potret Dampak Memilukan Bencana di Aceh
• 19 jam lalukompas.id
thumb
Putin Tolak Kompromi Wilayah Ukraina, Ancam Gunakan Militer Jika Diplomasi Gagal
• 21 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Bomi Apink & Produser Rado Umumkan Pernikahan Pada Mei 2026
• 12 jam lalucumicumi.com
thumb
Wakil Komisi VII DPR RI Prihatin atas Dampak Bencana di Desa Sibalanga
• 7 jam lalutvrinews.com
Berhasil disimpan.