Penangkapan sejumlah aktivis terkait demonstrasi pada 29 Agustus 2025 terus terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jawa Tengah. Yang terbaru, polisi menangkap tiga aktivis di Magelang, Jawa Tengah, dengan tuduhan menghasut orang lain untuk mengikuti demonstrasi. Lantas, apa dampak dari penangkapan aktivis yang hingga kini masih terjadi?
Lebih dari 1.700 orang yang mayoritas anak-anak ditangkap polisi dengan tuduhan terlibat dalam demonstrasi yang berujung ricuh di sejumlah kabupaten/kota di Jateng pada 29 Agustus 2025. Dari jumlah itu, sedikitnya 46 orang yang ditangkap ditetapkan sebagai tersangka.
Beberapa bulan berlalu, polisi kembali melakukan penangkapan terkait demonstrasi tersebut. Pada Kamis (27/11/2025), misalnya, polisi menangkap Adeyta Pramdira atau Dera dan Fathul Munif di sebuah indekos di Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Dera merupakan anggota staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng, sementara Fathul Munif merupakan salah satu koordinator Aksi Kamisan Semarang.
Penangkapan yang dinilai sewenang-wenang terhadap Dera dan Munif dikecam sejumlah pihak. Gelombang protes pun terjadi hingga ratusan orang, mulai dari tokoh nasional, akademisi, dan mahasiswa ramai-ramai mengajukan penangguhan penahanan terhadap Dera dan Munif. Kedua aktivis yang vokal dalam mengkritik pemerintah dan aparat itu lantas ditangguhkan penahanannya mulai Rabu (10/12/2025).
Pada Senin (15/12/2025) atau lima hari berselang setelah penangguhan penahanan Dera dan Munif dikabulkan, giliran tiga aktivis di Kota Magelang ditangkap. Mereka adalah Enrille Geniosa Championy, Azhar Fauzan, dan Yogi Antoro. Sama dengan Dera dan Munif, ketiganya dikenal kritis terhadap pemerintah dan aparat.
Enrille, Azhar, dan Yogi dijerat dengan pasal yang sama dengan yang diterapkan Kepolisian Resor Kota Besar Kota Besar Semarang kepada Dera dan Munif. Pasal yang disangkakan adalah Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 dan atau Pasal 45A Ayat 3 juncto Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 161 KUHP.
Serupa dengan Dera dan Munif, Enrille, Azhar, dan Yogi dinilai polisi telah melakukan penghasutan sehingga membuat orang lain berkumpul untuk berdemonstrasi yang kemudian berakhir ricuh. Jika Dera dan Munif dianggap bertanggung jawab terhadap sebuah unggahan yang diunggah ulang dari akun lain mengenai kondisi terkini demonstrasi 29 Agustus, tiga aktivis di Magelang dianggap bersalah karena telah membuat dan atau menyebarkan poster konsolidasi demonstrasi 29 Agustus.
Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia Masduki mengatakan, belum tentu ada hubungan langsung antara unggahan-unggahan para aktivis itu di media sosial dan kericuhan yang terjadi dalam demonstrasi. Hal tersebut, dinilai Masduki, bisa saja hanya asumsi.
”Asumsi-asumsi yang dibentuk, dikonstruksi, yang kemudian pasti mereka (kepolisian) akan melakukan kolaborasi dengan lembaga peradilan, yang pada ujungnya adalah upaya untuk melakukan represi. Melakukan pembungkaman terhadap aktivisme,” kata Masduki saat dihubungi, Rabu (17/12/2025) petang.
Maraknya penangkapan terhadap aktivis yang terjadi belakangan ini dinilai Masduki sebagai salah satu praktik autocratic legalism atau penggunaan hukum oleh penguasa untuk merepresi warga. Penangkapan itu juga diduga merupakan bagian dari upaya menciptakan ketakutan sehingga para aktivis berhenti melakukan kritik.
Padahal, dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, penyampaian kritik ataupun demonstrasi merupakan hak warga negara yang dijaminundang-undang. Tindakan yang dianggap polisi sebagai bentuk penghasutan untuk berdemonstrasi dinilai Masduki bukan suatu tindak pidana.
Penangkapan terhadap aktivis semacam itu dinilai Masduki justru bisa mengancam demokrasi. Dalam negara demokrasi, aktivis yang merupakan bagian dari masyarakat seharusnya berada pada posisi yang kuat dan dilindungi karena masyarakat adalah pilar utama demokrasi.
Dalam demonstrasi 29 Agustus masyarakat memprotes perilaku sejumlah polisi yang melindas seorang pengojek daring hingga tewas menggunakan kendaraan taktis kepolisian. Pada kegiatan yang digelar serentak di berbagai daerah itu, masyarakat juga mendesak agar Polri direformasi. Tuntutan itu pun dijawab dengan dibentuknya tim reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto.
Selama proses reformasi tersebut, Masduki mengharapkan kepolisian berhenti melakukan tindakan kontraproduktif, seperti menangkapi para aktivis. Polri diminta fokus melakukan refleksi, evaluasi, serta berbenah diri. Ia berharap para aktivis yang ditahan bisa dibebaskan dan proses hukumnya dihentikan polisi sebagaimana amanat dari tim reformasi Polri.
”Banyak sekali elemen-elemen atau kepentingan-kepentingan dan juga struktur Polri yang tidak lagi kompatibel dengan kebutuhan kita sebagai negara demokrasi hari ini. Polri harus segera mereposisi dirinya dari partisan kepada lembaga publik yang profesional, lembaga negara, bukan lagi sebagai alat kekuasaan otokratik untuk menindas dan membungkam para aktivis,” kata Masduki.
Penggunaan Pasal 160 KUHP terkait penghasutan yang digunakan polisi untuk menjerat para aktivis dinilai Pakar Hukum Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Theo Adi Negoro, hanya tepat dilakukan apabila unsur-unsur delik penghasutan terpenuhi secara ketat. Artinya, polisi harus bisa membuktikan bahwa ada niat atau kesengajaan untuk menghasut orang lain melakukan tindakan melawan hukum, bukan sekadar mengorganisasi perkumpulan untuk melakukan aksi menyuarakan pendapat.
”Jika mengajak untuk aksi penyampaian aspirasi atau pendapat secara publik, hal demikian tidak bisa masuk ke dalam delik ini. Ditambah, penghasutan tersebut harus dalam rangka kesengajaan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa, yang mana dalam hal ini menjadi pasal karet,” ujar Theo.
Kemudian, penggunaan Pasal 45A Ayat 2 dan 3 UU ITE tentang ujaran kebencian untuk menjerat para aktivis itu juga dinilai Theo harus memenuhi unsur-unsur tertentu, termasuk adanya kesengajaan yang dibarengi dengan maksud mendorong orang lain melakukan tindak pidana atau menolak kewajiban hukum. Yang terpenting adalah membuktikan adanya akibat nyata atau setidaknya keterkaitan kausal yang dapat dihubungkan dengan ujaran tersebut.
Theo menyebut, dalam praktik pembuktian modern, terutama kasus yang berkaitan dengan unggahan media sosial, penuntut harus menghadirkan bukti forensik berupa metadata, jangkauan atau engagement, bukti bahwa pesan itu diikuti tindakan tertentu, serta korelasi waktu dan pelaku tindakan. Hal tersebut juga perlu memperlihatkan hubungan sebab-akibat, bukan hanya menyajikan isi pesan yang bernada provokatif.
Theo menilai penggunaan pasal-pasal yang sama untuk menjerat aktivis bisa menimbulkan dampak serius terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi karena hal tersebut menciptakan ketidakpastian hukum yang mendorong swasensor atau chilling effect.
Ketika ancaman pidana menjadi respons standar terhadap ujaran bernada krtik atau ajakan aksi, masyarakat, terutama generasi muda, akan cenderung menahan diri dari menyampaikan pendapat atau terlibat dalam mobilisasi sosial karena takut terseret dalam proses pidana.
Secara normatif, pembatasan pidana atas kebebasan berekspresi disebut Theo hanya boleh dibenarkan jika terpenuhi syarat-syarat yang ketat, seperti adanya dasar hukum yang jelas (asas legalitas), tujuan yang sah, proporsional, serta bukti konkret bahwa ujaran tersebut memang menimbulkan akibat nyata yang dilarang, misalnya menimbulkan makar, kerusuhan, dan perpecahan.
”Jika aparat mengabaikan standar pembuktian ini dan menuntut secara luas atas dasar tafsir longgar terhadap penghasutan, itu melanggar prinsip kepastian hukum dan menggusur batas wajar pembatasan atas hak yang dijamin konstitusi,” kata Theo.
Menurut Theo, para aktivis yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka bisa melakukan upaya perlawanan hukum. Salah satunya yaitu permohonan praperadilan untuk menguji sah tidaknya tindakan penyidik dalam menangkap, menetapkan tersangka, atau menahan mereka.
Theo menyebut, praperadilan adalah mekanisme cepat yang berwenang menilai apakah upaya paksa yang dilakukan penyidik sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apabila ditemukan adanya cacat prosedur atau tidak terpenuhi bukti permulaan, pengadilan praperadilan dapat membatalkan penetapan tersangka atau perintah penahanan.
”Selain itu, bila klien ditahan, pengacara dapat mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada penyidik/penuntut, dengan atau tanpa jaminan, sambil menyiapkan pembelaan substansial,” kata Theo.
Koordinator Pusat Kajian Militer dan Kepolisian (Puskampol) Indonesia Andy Suryadi menduga upaya penangkapan yang dilakukan oleh polisi di sejumlah daerah di Jateng terhadap sejumlah aktivis yang terlibat dalam demonstrasi Agustus 2025 dilakukan untuk mengendalikan massa dan meredam situasi. Namun, penangkapan yang baru-baru ini dinilai Andy tidak perlu dilakukan polisi, apalagi situasi saat ini sudah terkendali.
”Saat ini, tensinya kan sudah turun ya. Lebih baik kepolisian fokus untuk hal-hal lain saja daripada mencari orang-orang baru untuk dijadikan tersangka. Di sisi lain, penting juga bagi mereka yang ditangkap, kalau kesalahannya tidak terlalu berat diampuni atau diselesaikan secara restorative justice,” ujar Andy.
Sebelumnya, Royan Juliazka Chandrajaya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang mendampingi tiga aktivis Magelang dalam proses hukum di Kepolisian Resor Magelang Kota menyebut, penangkapan, penetapan tersangka, dan penahanan tiga orang sebagai salah satu upaya sistemik dari negara untuk mematikan gerakan masyarakat sipil.
”Kami melihat ini seperti ada instruksi yang sistematis dari pusat. Kami menduga dari Mabes Polri kepada setiap polda ataupun polres untuk menggunakan satu rumusan yang sama sehingga pasal-pasal yang digunakan termasuk pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan itu hampir sama semua di tiap kota yang kami lihat,” kata Royan.
Hingga kini, Royan masih berfokus pada pendampingan terhadap ketiga tersangka dalam menjalani pemeriksaan. Upaya hukum lanjutan, seperti pengajuan penangguhan penahanan atau praperadilan, masih akan dikaji.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Artanto membantah bahwa ada instruksi khusus untuk menangkap para aktivis yang terkait dengan demonstrasi 29 Agustus. Menurut dia, penyidik melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan prosedur.
”Polri melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur, melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana dengan alat bukti yang sudah ada, dan oleh karena itu kami sampaikan kepada penyidik silakan untuk dilakukan sampai pemberkasan selesai, untuk kemudian dikirimkan ke kejaksaan,” ujar Artanto.
Saat ditanya terkait dampak atau bahaya yang timbul dari perbuatan pidana yang dituduhkan pada para aktivis yang ditetapkan sebagai tersangka, Artanto menyebut, hal itu bakal diungkap di persidangan. ”Nanti dari sidang pengadilan itu akan terkuak semua. Saat ini polisi hanya melakukan proses mengumpulkan alat bukti yang sesuai dengan fakta yang terjadi,” imbuhnya.




