Selat Hormuz kerap digambarkan sebagai “urat nadi” perdagangan energi global. Sekitar seperlima pasokan minyak dunia melewati jalur sempit ini setiap harinya.
Namun, yang menarik bukan hanya fakta ekonominya, melainkan juga bagaimana Selat Hormuz terus-menerus diproduksi sebagai ruang ancaman, bukan sekadar jalur pelayaran. Di sinilah politik sekuritisasi bekerja.
Dalam banyak narasi resmi—baik dari Amerika Serikat, negara-negara Teluk, maupun Iran—Selat Hormuz tidak pernah benar-benar netral. Ia selalu hadir sebagai simbol bahaya: ancaman terhadap stabilitas energi, kebebasan navigasi, bahkan keamanan internasional. Pertanyaannya kemudian bukan hanya apa yang diamankan, melainkan siapa yang mendefinisikan ancaman dan untuk kepentingan siapa.
Melalui kacamata Teori Sekuritisasi (Copenhagen School), Selat Hormuz dapat dipahami sebagai isu yang “diangkat” dari ranah ekonomi ke ranah keamanan. Ancaman terhadap selat ini dikonstruksikan sebagai ancaman eksistensial terhadap negara, pasar global, dan tatanan internasional.
Ketika sebuah isu berhasil disekuritisasi, langkah-langkah luar biasa—seperti pengerahan militer, patroli laut internasional, hingga legitimasi penggunaan kekuatan—menjadi dapat diterima.
Dalam konteks ini, pidato pejabat negara, pernyataan militer, dan pemberitaan media internasional berperan sebagai speech act. Penutupan Selat Hormuz—meskipun sering kali tidak benar-benar terjadi—cukup untuk menciptakan rasa krisis yang berkelanjutan. Ancaman menjadi efektif bukan karena realisasinya, melainkan karena pengulangannya.
Sekuritisasi Selat Hormuz secara tidak langsung menormalisasi kehadiran militer asing di kawasan Timur Tengah. Armada laut Amerika Serikat dan sekutunya diposisikan sebagai “penjaga stabilitas”, sementara Iran sering direpresentasikan sebagai sumber ketidakpastian. Narasi ini menciptakan dikotomi keamanan; siapa yang dianggap pelindung dan siapa yang dicurigai sebagai pengganggu.
Namun, dari perspektif critical security studies, keamanan tidak pernah netral. Ia selalu selektif. Keamanan energi global sering kali lebih diprioritaskan dibandingkan keamanan manusia di kawasan tersebut. Ketegangan yang terus diproduksi justru memperpanjang siklus konflik dan mempersempit ruang dialog non-militer.
Selat Hormuz menunjukkan bagaimana sumber daya alam—yang mana dalam hal ini minyak dan gas—dapat mengubah ruang geografis menjadi alat politik global. Selat ini bukan hanya diperebutkan karena lokasinya, melainkan juga karena maknanya. Ia menjadi titik temu kepentingan ekonomi, militer, dan simbolik.
Iran, misalnya, menggunakan Selat Hormuz sebagai instrumen tawar-menawar terhadap tekanan sanksi internasional. Di sisi lain, negara-negara Barat memanfaatkan narasi ancaman di selat ini untuk membenarkan keterlibatan keamanan jangka panjang. Dalam dinamika ini, Selat Hormuz bukan sekadar “dipertahankan”, melainkan juga terus-menerus diproduksi sebagai ruang krisis.
Opini ini mengajak kita untuk melihat Selat Hormuz bukan hanya sebagai checkpoint strategis, melainkan juga sebagai cermin politik keamanan global. Sekuritisasi memang menjanjikan stabilitas, tetapi juga membawa konsekuensi, seperti militerisasi permanen, ketergantungan pada logika kekuatan, dan pengaburan alternatif solusi damai.
Pada akhirnya, pertanyaan kunci bukan lagi apakah Selat Hormuz penting, karena itu sudah jelas. Pertanyaannya: Keamanan versi siapa yang terus dipertahankan? Siapa yang harus hidup di bawah bayang-bayang krisis yang tak pernah benar-benar selesai?




