Akses Obat Dikhawatirkan Kian Sulit, UU Paten Digugat

kompas.id
1 hari lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Hak Pasien untuk Akses Obat menggugat Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Paten. Regulasi tersebut dinilai dapat menghambat akses masyarakat terhadap obat-obatan esensial.

Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir yang merupakan salah satu penggugat, mengatakan, terdapat satu pasal yang dihapus dalam Undang-Undang Paten yang baru, yakni pasal 4(f). Padahal, pasal tersebut menjadi instrumen krusial untuk melindungi kesehatan publik.

“Pasal ini secara tegas mencegah pemberian paten atas bentuk baru atau penggunaan kedua dari senyawa yang sudah dikenal tanpa peningkatan khasiat yang signifikan. Penghapusan pasal ini membuka ruang bagi monopoli paten yang merugikan pasien,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Baca JugaKhasiat dan Mutu Obat Murah dan Obat Mahal Sama

Dalam regulasi sebelumnya, pasal 4(f) UU Paten menyebutkan, invensi atas paten tidak mencakup pada temuan berupa penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan atau dikenal, serta bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa tersebut.

Penghapusan pasal tersebut dalam UU Paten yang baru dinilai dapat mengancam akses masyarakat terhadap obat esensial. Penghapusan itu dapat membuka peluang industri untuk melakukan praktik patent evergreening yang dilakukan untuk memperpanjang monopoli atas paten obat.

Penghapusan pasal 4(f) ini membuka ruang bagi monopoli paten yang merugikan pasien.

Tony menyampaikan, dampak praktik evergreening tersebut membuat obat-obat generik tidak dapat masuk ke pasar. Hal itu membuat harga obat tetap tinggi. Kondisi tersebut tidak hanya memberatkan pasien, melainkan juga bisa menambah beban negara dalam pembiayaan obat di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Itu sebabnya, Koalisi Advokasi Hak Pasien untuk Akses meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan pasal 4(f) seperti yang diatur dalam UU Paten sebelumnya. Hal tersebut diperlukan untuk memastikan hak masyarakat atas kesehatan terjamin dan kesenjangan akses obat bisa diatasi.

Ketua Yayasan Hipertensi Paru (YPHI) Arni Rismayanti dalam pernyataan tertulis menyampaikan, regulasi tersebut, salah satunya, bisa berdampak pada penggunaan obat Sildenafil yang bisa digunakan untuk dua penyakit berbeda, yakni disfungsi ereksi dan hipertensi paru.

Penghapusan pasal 4(f) membuat satu senyawa tersebut bisa mendapatkan dua paten sehingga monopoli industri terus berlanjut dan harga obat dengan kandungan zat aktif senyawa tersebut tetap mahal. Akibatnya, harapan untuk memberikan terapi yang terjangkau bagi masyarakat sulit diwujudkan.

Baca JugaAkses Obat Menentukan Keberhasilan Pengendalian HIV

“Ini ancaman nyata bagi akses publik terhadap obat-obatan esensial. Ketika paten diperpanjang tanpa dasar inovasi yang jelas, itu membuat harga obat tetap tinggi dan membebani pasien, keluarga, serta sistem JKN,” tuturnya.

Hal serupa disampaikan pula oleh perwakilan Indonesia AIDS Coalition (IAC) Irwandy Wijaya. Ia menuturkan, praktik pendaftaran paten sekunder oleh industri farmasi telah menghambat akses masyarakat terhadap obat-obatan penting. Hal ini termasuk pada obat Bedaquiline yang digunakan untuk pasien tuberkulosis resisten obat (TB RO).

“Paten utama untuk Bedaquiline sudah kedaluwarsa pada 2023. Namun, lima paten sekunder yang didaftarkan memperpanjang monopoli hingga 2036. Contoh ini juga terjadi pada obat HIV, hepatitis C, kanker, diabetes mellitus (DM), hingga Covid-19,” ucapnya.

Dasar regulasi

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik menambahkan, pasal 4(f) selama ini menjadi dasar hukum bagi masyarakat dalam mengajukan keberatan atau banding terhadap paten suatu obat yang dianggap tidak memenuhi syarat. Namun, penghapusan pasal tersebut membuat pengawasan dari masyarakat atas paten obat menjadi lemah.

“Dengan dihapusnya pasal 4(f), terjadi pelemahan pengawasan masyarakat atas paten obat perusahaan farmasi yang tidak memenuhi syarat paten. Padahal, paten obat adalah isu yang berkaitan langsung dengan nyawa manusia,” kata Rahmat.

Serial Artikel

Pengesahan RUU Paten Akan Menyulitkan Akses ke Obat HIV/AIDS

RUU Paten yang disetujui untuk disahkan diharapkan tidak menghambat akses masyarakat terhadap obat yang terjangkau.

Baca Artikel

Maulana mengatakan, praktik penyalahgunaan paten telah terjadi pada masa pandemi Covid-19. Perusahaan farmasi mengajukan paten baru untuk obat lama hanya karena ditemukan potensi penggunaan baru untuk obat tersebut.

Untuk itu, menurut dia, tanpa perlindungan regulasi seperti yang selama ini sudah tertuang dalam pasal 4(f), produksi obat generik dengan harga yang lebih murah akan terhambat. Akses masyarakat terhadap obat yang terjangkau pun juga lebih sulit.

“Masyarakat sipil memiliki kekhawatiran mendalam atas dampak dari monopoli paten terhadap akses publik yang terjangkau ke obat-obatan. Oleh karena itu, kami mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi,” kata Maulana.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Viral Bajing Loncat Beraksi di Cakung, Polisi Turun Tangan
• 17 jam laluliputan6.com
thumb
Bursa Asia Naik Ikuti Wall Street, Pasar Waspadai Kenaikan Suku Bunga BOJ
• 1 jam laluidxchannel.com
thumb
Israel Serang Lebanon Jelang Batas Waktu Pelucutan Senjata Hizbullah
• 5 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Peringati HUT ke-32, Jasaraharja Putera Bawa Semangat SATUNAYA
• 9 jam lalutvonenews.com
thumb
Catatan Dahlan Iskan: Sawit Atas
• 9 jam lalugenpi.co
Berhasil disimpan.