Ketua Tim Dekarbonisasi Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Sri Gadis Pari Bekti, mengatakan saat ini pemerintah tengah mempersiapkan tahapan implementasi Emissions Trading System (ETS) sektor industri, termasuk pelaksanaan proyek percontohan (pilot project).
“Nah, yang penting adalah persiapan pilot project. Periode 2025–2027 masih tahap persiapan. Kami sedang memilih perusahaan industri yang akan di-pilot-kan, menggodok skema emission allowance, serta kesiapan pembiayaan dan penyedia teknologi,” ujarnya, Kamis (18/12).
Ia berharap pada 2026 beberapa proyek percontohan ETS sektor industri sudah dapat berjalan, seiring dengan terkumpulnya komitmen industri dan kesiapan ekosistem pendukung.
Terdapat perbedaan mendasar antara Emissions Trading System (ETS) dan Voluntary Carbon Market(VCM) dalam strategi dekarbonisasi industri nasional. Keduanya sama-sama berbasis mekanisme pasar karbon, namun memiliki sifat, tujuan, dan implikasi kebijakan yang berbeda.
ETS merupakan instrumen wajib (mandatory) yang diatur pemerintah untuk memastikan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara terukur dan konsisten dalam jangka panjang.
ETS berbasis cap and trade. Pemerintah nantinya akan menetapkan batas absolut total emisi, lalu industri harus menyesuaikan diri di dalam batas tersebut. Hal ini yang dinilai mampu menjaga sektor industri tetap berada di jalur yang jelas menuju target net zero emission.
Dalam skema ETS, setiap perusahaan mendapatkan atau membeli kuota emisi (emission allowance). Perusahaan yang emisinya melebihi batas wajib membeli kuota dari perusahaan lain yang berhasil menekan emisi, atau menghadapi sanksi.
Dengan mekanisme ini, hasil penurunan emisi dapat dihitung, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan secara transparan.
Berbeda dengan ETS, VCM bersifat sukarela. Perusahaan atau individu membeli kredit karbon dari proyek-proyek pengurangan emisi, seperti reforestasi atau energi terbarukan, untuk mengimbangi emisi yang tidak dapat dihilangkan secara langsung.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa tanpa ETS, instrumen lain seperti pajak karbon tidak dapat menjamin jumlah pasti pengurangan emisi. Selain itu, industri berisiko kehilangan peluang pendanaan hijau dan terpapar kebijakan perdagangan internasional, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mulai diterapkan di berbagai negara.
Dengan ETS, harga karbon diakui secara internasional sehingga dapat mengurangi risiko beban finansial tambahan bagi industri Indonesia saat menembus pasar global.
ETS juga membuka peluang menghubungkan pasar karbon Indonesia dengan pasar karbon negara lain. Potensi pendapatan dari ETS dapat digunakan kembali untuk investasi teknologi rendah karbon. Pada 2024, total pendapatan pasar ETS global tercatat mencapai sekitar US$ 70 miliar (Rp 1.170 triliun, kurs Rp 16.720/US$).



