AI hingga Etnoparenting: Simposium ECED 2025 Bahas Masa Depan Anak Usia Dini

kumparan.com
22 jam lalu
Cover Berita

Setelah sukses digelar di tahun sebelumnya, Tanoto Foundation kembali menggelar simposium internasional terkait pendidikan dan pengembangan anak usia dini, 2025 International Symposium on ECED (Early Childhood Education and Development). Kali ini topik yang diangkat adalah ECED Ecosystem Synergy in Promoting the Best Start in Life (Sinergi Ekosistem Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini dalam Mempromosikan Awal Terbaik Kehidupan).

Acara yang digelar pada Rabu, 17 Desember 2025 di Thamrin Nine, Jakarta Pusat, ini dihadiri oleh panelis dari berbagai pihak terkait mulai dari kementerian, lembaga, akademisi, hingga organisasi masyarakat. Semua bersinergi untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak dari berbagai sisi.

Pendidikan Anak Usia Dini Jadi Kunci Kemajuan Bangsa

Dalam sambutannya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan bahwa Indonesia sedang mengejar cita-cita menjadi negara berpenghasilan tinggi tahun 2035. Tantangan utamanya adalah memanfaatkan bonus demografi yang hanya terjadi sekali dalam sejarah bangsa, sekitar tahun 2030–2035. Jika kesempatan ini terlewat, Indonesia dikhawatirkan akan terjebak selamanya sebagai negara berpendapatan menengah.

Untuk mencapai target tersebut, kunci utama peningkatan pendapatan bangsa ada pada kecerdasan dan kesehatan masyarakat, terutama anak usia dini. Oleh karena itu, sektor kesehatan harus memberikan perhatian sejak masa kehamilan hingga usia lima tahun, sebagai periode emas untuk membentuk anak yang sehat dan cerdas.

Ia juga menyoroti masalah besar seperti angka kematian anak dan tingginya kasus stunting, yang menghambat kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Oleh karena itu ia mengajak semua pihak, terutama orang tua, untuk mengoptimalkan kesehatan anak dan mendukung tumbuh kembang mereka.

“Ada begitu banyak program untuk anak, tapi jangan lupa yang paling penting adalah bagaimana agar mereka hidup dan bagaimana membuat mereka sehat,” ujar Budi.

Pentingnya Peran Orang Tua

Country Head Tanoto Foundation Indonesia, Inge Kusuma juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendukung perkembangan anak. Ia menyoroti urgensi pendidikan anak usia dini dengan fakta global bahwa lebih dari 43% anak balita berisiko tidak mencapai potensi penuh akibat kurang stimulasi, gizi, dan kesempatan belajar dini.

“Di Indonesia, terdapat 8,7 juta anak balita, dengan 88% pengasuhan utama dalam keluarga, namun hanya sebagian kecil orang tua menerima pendampingan rutin soal pengasuhan responsif,” kata Inge.

Solusi kunci terletak pada pemberdayaan orang tua, karena mereka adalah “aktor utama” perkembangan anak. Strategi model edukasi pengasuhan berbasis komunitas seperti Rumah Anak SIGAP yang dikelola Tanoto Foundation, mendorong perubahan perilaku, dukungan ayah, dan penguatan lingkungan belajar di rumah, ditawarkan sebagai pendekatan untuk memastikan setiap anak mendapat stimulasi, gizi, perlindungan, dan kesempatan belajar sedini mungkin, lewat kolaborasi lintas pihak.

Tantangan Membesarkan Anak di Era AI

Dalam paparannya, Wamendikti Prof. Stella Christie berfokus pada pertanyaan besar: bagaimana anak-anak seharusnya belajar di era AI. Ia menyoroti penelitian dari Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat (MIT) yang membandingkan mahasiswa yang belajar dengan bantuan AI, search engine, dan tanpa bantuan teknologi. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan penuh pada AI justru menurunkan performa otak, menjadi bukti bahwa kemampuan manusia tidak bisa digantikan mesin begitu saja.

Stella menekankan bahwa anak tidak boleh dibentuk untuk “menjadi seperti AI,” karena mereka tidak akan pernah bisa melampaui AI dalam hal kecepatan atau kapasitas data.

Ia berpendapat bahwa kunci agar manusia tidak tergantikan adalah fokus pada kemampuan unik manusia: berpikir, menemukan pola, membandingkan struktur, berinovasi, dan belajar secara alami dari lingkungan. Stella menunjukkan penelitian kognitif yang pernah ia lakukan di Tsinghua University, China, pada anak usia 2–3 tahun yang mampu memahami pola sederhana sejak dini—kemampuan ini merupakan dasar inovasi ilmiah dan teknologi di dunia nyata. Ia menekankan bahwa anak-anak belajar efisien melalui pengalaman, interaksi, dan generalisasi, bukan sekadar menghafal.

Stella juga menjelaskan bahwa AI berkembang dari cara anak manusia belajar, bukan sebaliknya. Karena itu, menurutnya, masa kecil bukan saat yang tepat menjejali anak dengan coding atau pelatihan teknis yang menyerupai mesin. Pendidikan anak usia dini harus fokus pada koneksi dengan pengasuh dan penguatan kemampuan berpikir manusia, seperti kreativitas, relasi sosial, empati, pemecahan masalah, dan eksplorasi dunia nyata dengan sains—kemampuan-kemampuan yang tidak dimiliki AI.

“Jika Anda mengajari anak untuk menjadi seperti AI, mereka tidak akan lebih baik dari AI,” kata Stella.

Pengasuhan dan Budaya

Di sisi lain, pesatnya perkembangan zaman dan kemudahan akses informasi membuat orang tua di era kini punya lebih banyak referensi pola asuh. Namun demikian, menurut Deputy Director Program SEAMEO CECCEP (Southeast Asian Ministers of Education Organization - Centre for Early Childhood Care Education and Parenting), Widodo Suhartoyo, pengasuhan tidak dapat dilepaskan dari budaya.

Model Barat menekankan kemandirian, sementara budaya Indonesia menekankan gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab kolektif. Jika Indonesia hanya mengadopsi teori Barat tanpa konteks budaya, dikhawatirkan anak tumbuh pintar secara kognitif tetapi kehilangan akar identitas dan solidaritas sosial.

Konsep “ethnoparenting” menegaskan bahwa praktik pengasuhan dipengaruhi agama, tradisi, nilai komunitas, dan struktur sosial. Karena itu model global sebaiknya dipadukan dengan kearifan lokal agar perkembangan anak berjalan selaras secara mental, sosial, karakter, hingga budaya. Di tingkat ASEAN, strategi umum pengasuhan menekankan keterlibatan ayah, pendekatan komunitas, kolaborasi multipihak, serta layanan holistik bagi anak sejak usia dini.

Sinergi Pengelolaan PAUD Holistik Integratif

Sementara itu dari sisi pemerintah juga ditekankan mengenai pentingnya kejelasan kebijakan agar layanan anak usia dini lebih terarah dan selaras dengan kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah melalui Rencana Aksi Nasional Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (RAN PAUD HI) 2025–2029. Sebab hasil refleksi menunjukkan PAUD-HI selama ini seringkali dipahami bahwa P adalah Pendidikan, bukan Pengembangan sehingga tumpuan layanan hanya di sektor pendidikan, sehingga layanan bagi usia 0–3 tahun, ibu hamil, dan keluarga belum tertangani optimal.

RAN PAUD-HI 2025–2029 disusun agar menjadi rujukan substantif bagi daerah, dengan indikator kerja yang konsisten dan mudah diadopsi ke dalam perencanaan daerah. Dokumen ini juga memperkuat peran PAUD-HI dalam agenda pembangunan SDM di RPJMN serta memastikan layanan lintas sektor—pendidikan, pengasuhan, kesehatan, gizi, perlindungan, hingga kesejahteraan sosial—terintegrasi untuk mendukung tumbuh kembang anak dari janin hingga usia enam tahun.

Dari Kemenko PMK, Kemenduk Bangga, Kemen-PPPA, hingga Bappenas, berkomitmen untuk memperkuat layanan PAUD-HI.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif 4 Ruas Tol Hingga Januari 2026
• 18 jam lalubisnis.com
thumb
Mahasiswa di Gowa Ditangkap usai Setubuhi Anak
• 36 menit lalumetrotvnews.com
thumb
BNPB Fokus Koordinasikan Pembangunan Huntara
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Viral Senandung “Ya Allah Lindungi Bilqis” Ciptaan Ayu Ting Ting, Begini Cerita di Baliknya
• 4 jam lalutvonenews.com
thumb
Kemenag serahkan bantuan Rp37,95 miliar bagi penyintas bencana di Aceh
• 18 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.