Tidak semua yang mengatasnamakan sabar adalah kebajikan. Dalam banyak kasus, kesabaran justru dijadikan alasan untuk diam, pasrah, bahkan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Islam tidak pernah mengajarkan sabar yang membunuh akal sehat dan nurani. Pertanyaannya jelas: Kapan sabar harus dipertahankan, dan kapan justru wajib ditinggalkan untuk bertindak?
Di tengah kehidupan sosial hari ini, konsep sabar sering dipahami secara keliru. Sabar dianggap identik dengan menerima apa pun keadaan tanpa perlawanan, meski jelas melanggar nilai keadilan dan kemanusiaan. Dalam keluarga, pekerjaan, bahkan ruang publik, banyak orang dinasihati untuk “bersabar” ketika menghadapi perlakuan zalim, penindasan, atau kebijakan yang merugikan.
Padahal, dalam Islam, sabar bukan konsep pasif. Sabar adalah sikap mental yang terikat kuat dengan hikmah, keadilan, dan tanggung jawab moral. Para ulama fikih sejak lama menegaskan bahwa sabar memiliki batas. Melewati batas itu, sabar justru berubah menjadi kelalaian.
Makna Sabar dalam Perspektif FikihSecara bahasa, sabar berarti menahan diri. Namun dalam fikih dan akhlak Islam, makna sabar jauh lebih luas. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa sabar adalah kemampuan menahan dorongan nafsu agar tetap berada dalam koridor syariat. Artinya, sabar selalu berjalan beriringan dengan ketaatan, bukan sekadar menahan emosi.
Para ulama membagi sabar dalam beberapa bentuk: sabar dalam ketaatan, sabar menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah. Ketiganya memiliki konteks yang berbeda. Tidak semua situasi menuntut sikap yang sama. Di sinilah pentingnya memahami batas kesabaran secara proporsional.
Kapan Sabar Harus Bertahan?Sabar wajib dipertahankan ketika seseorang menghadapi ujian yang berada di luar kendali dirinya, seperti musibah alam, penyakit, atau kondisi hidup yang tidak dapat diubah secara langsung. Dalam situasi ini, sabar menjadi bentuk keimanan dan pengakuan atas kehendak Allah.
Sabar juga dianjurkan ketika menghadapi perbedaan pendapat, hinaan personal, atau gangguan ringan yang tidak menimbulkan dampak besar. Rasulullah saw. dikenal sebagai teladan kesabaran dalam menghadapi cercaan dan perlakuan kasar, selama hal tersebut tidak mengancam prinsip kebenaran dan keadilan.
Dalam konteks sosial, sabar dibutuhkan agar tidak terburu-buru mengambil keputusan emosional yang justru memperkeruh keadaan. Sabar memberi ruang untuk berpikir jernih dan bertindak dengan pertimbangan matang.
Kapan Sabar Harus Berubah Menjadi Tindakan?Namun, Islam juga tegas: tidak semua keadaan boleh disikapi dengan diam. Para ulama sepakat bahwa kesabaran tidak dibenarkan jika berujung pada pembiaran kezaliman. Imam An-Nawawi menegaskan bahwa menolak kemungkaran adalah kewajiban, sesuai dengan kemampuan.
Jika kesabaran membuat seseorang terus dirugikan, dilecehkan, atau dizalimi, bertindak menjadi keharusan. Bertindak di sini bukan berarti anarkis atau emosional, melainkan upaya rasional dan etis untuk menghentikan ketidakadilan, baik melalui nasihat, jalur hukum, maupun sikap tegas.
Dalam fikih, dikenal kaidah la dharar wa la dhirar dan tidak boleh ada bahaya serta saling membahayakan. Artinya, bersabar atas sesuatu yang terus merusak diri, martabat, atau hak orang lain bukanlah ajaran Islam.
Kesabaran yang Keliru dan DampaknyaSalah kaprah dalam memahami sabar sering melahirkan budaya diam. Orang enggan bersuara atas nama “ikhlas”, padahal yang terjadi adalah normalisasi ketidakadilan. Dalam jangka panjang, sikap ini merusak tatanan sosial dan menumpulkan sensitivitas moral umat.
Ulama menegaskan bahwa sabar harus dibedakan dari sikap takut, malas, atau enggan mengambil risiko. Sabar yang benar melahirkan keteguhan, bukan ketundukan buta.
Sabar dalam Islam bukan alasan untuk berhenti berpikir dan bertindak. Ia adalah kekuatan batin yang bekerja bersama akal dan nurani. Ketika kesabaran menjaga iman dan akhlak, ia wajib dipertahankan. Namun, ketika kesabaran justru melanggengkan kezaliman, bertindak adalah bentuk kesabaran yang lebih tinggi.
Islam tidak mengajarkan umatnya menjadi lemah di balik kata “sabar”. Yang diajarkan adalah keseimbangan: tahu kapan bertahan dan berani bertindak ketika kebenaran menuntutnya.



