Pemerintah Provinsi Bali menutup TPA Suwung pada Selasa (23/12). TPA Suwung nanti hanya menerima sampah jenis residu.
Kebijakan ini mendesak kepala daerah di tingkat desa memutar otak agar sampah di wilayah tak menumpuk dan bau. Salah satunya Desa Sanur Kauh di Kota Denpasar.
"Kalau berbicara terkait dengan penutupan TPA Suwung intinya kita jangan menyalahkan si A, B, C. Sebenarnya kalau kita mau memilah sampah berbasis sumber, kita tidak memerlukan TPA besar," kata Koordinator TPS3R Sekar Tanjung, I Wayan Merta, Kamis (18/12).
TPS3R Sekar Tanjung merupakan tempat pengolahan sampah milik Desa Sanur Kauh. Walau sudah punya tempat pengolahan sampah, Desa Sanur Kauh belum bisa 100 persen mengolah sampah masyarakat secara mandiri.
TPS3R ini melayani sekitar 2.825 pelanggan yang terdiri dari rumah tangga, indekos, warung, hotel dan restoran. BPBS mencatat jumlah penduduk Desa Sanur Kauh pada tahun 2019 sekitar 8 ribu jiwa.
Jumlah sampah organik, anorganik dan residu yang diangkut setiap hari mencapai 9-14 ton setiap hari. Jumlah sampah residu seperti pembalut, popok bayi, kardus, kertas makanan dan lainnya mencapai 6-8 ton setiap hari.
Sampah organik diolah lagi agar menjadi media tanam. Media tanam ini biasanya disumbangkan ke sekolah dan universitas untuk kebutuhan pendidikan atau kepada petani di sekitar desa.
Sampah organik dibersihkan sehingga bisa dijual ke pengepul, sedangkan sampah sisa makanan dijual ke peternak babi.
Warga membayar iuran sebesar Rp 50 ribu setiap bulan. Sedangkan pengusaha mulai dari Rp 300 sampai Rp 500 ribu setiap bulan untuk pengangkutan sampah.
"Kami hanya mampu mengolah sampah-sampah yang diangkut itu sekitar 35 persen. Walaupun tidak sempurna kami tetap dengan tim berusaha dan selalu memiliki inovasi," katanya.
Mau Bangun 200 Teba ModernDesa Sanur Kauh berencana membangun 200 teba modern di rumah penduduk dan fasilitas umum seperti pura dan kuburan untuk mengolah sampah berbasis sumber menyikapi penutupan TPA Suwung.
Teba modern adalah sistem pengelolaan sampah organik berbasis rumah tangga atau komunitas, yang memanfaatkan lubang, mirip sumur sedalam 2 meter. Teba modern terbuat dari beton dan ditutup untuk mengurai sampah dapur dan dedaunan secara alami menjadi pupuk kompos.
Desa Sanur Kauh memanfaatkan dana APBDES untuk membangun teba modern agar masyarakat tak terbebani. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat satu unit teba modern sekitar Rp 2,3 juta.
Desa Sanur Kauh baru bisa membangun sekitar 50 unit teba modern sampai saat ini. Pembangunan teba modern selanjutnya menunggu dana APBDES turun.
Wayan Merta berharap pembangunan teba modern rampung pada akhir Desember sehingga masyarakat tidak kelimpungan mengolah sampah.
"Rencana 200 unit, yang baru terealisasi 50 unit dan yang menjadi percontohan adalah kepala wilayah Karena beliau nanti yang akan mensosialisasikan langsung fungsi dan penggunaan teba modern kepada warga," katanya.
Wayan Merta juga tak yakin pembangunan 200 teba modern ini bisa mengolah sampah masyarakat satu desa. Dia berharap masyarakat bisa membangun teba modern secara mandiri.
Selain itu, Desa Sanur Kauh berencana membagikan tempat pengolahan sampah dengan biopori bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan kosong untuk membangun teba modern.
Lingkungan Tak Bakal BauWayan Merta mengaku pembangunan ratusan teba modern ini tak akan membuat lingkungan bau. Menurutnya, desa akan membantu masyarakat membangun agar proses pengomposan aerobik benar dengan sirkulasi udara baik.
Masyarakat bisa menuang hasil cucian berar atau cairan konsentrat mikroorganisme (EM4) agar tidak bau. Selain itu, pihak desa akan siap datang ke rumah warga untuk memanen hasil popok kompos apabila tidak digunakan masyarakat.
Biasanya teba modern penuh dan siap panen dalam kurun waktu tiga bulan.
"Saya sudah membuat teba modern sejak tahun 2013 di lahan bekas tangki septik di rumah, jadi dia cukup dalam dan belum penuh karena sampahnya turun jadi kompos," katanya.




