Cerita Konsumen Kaget Bayar Cicilan Pakai Skema Tadpole

kumparan.com
13 jam lalu
Cover Berita

Skema cicilan tadpole di pinjaman daring (pindar) dinilai membuat beban pembayaran menumpuk di awal tenor. Beban itu yang juga dirasakan Muhammad Robby, konsumen pindar yang mengaku kaget karena harus melunasi hingga 70 persen dari total kewajiban hanya dalam 15 hari pertama.

Pola pembayaran tadpole ini merujuk pada bentuk cicilan yang menyerupai kecebong yaitu kepala besar, badan kecil, ekor meruncing. Dalam hal ini, tagihan terbesar dibebankan pada awal tenor.

Misalnya dengan pokok utang Rp 1.000.000 dan bunga Rp 300.000, total kewajiban peminjam menjadi Rp 1.300.000. Jika menggunakan tadpole, skema cicilan tiga kali yaitu: cicilan pertama Rp 700.000, cicilan kedua Rp 400.000, dan cicilan ketiga Rp 200.000.

"Yang 70 persen (setor di awal) itu banyak di 15 hari pertama," kata Robby, pria berusia 27 tahun yang tinggal di Jakarta saat dihubungi kumparan, Selasa (16/12).

Robby telah menggunakan pinjaman dengan skema tadpole itu setidaknya dari tiga platform pindar. Ia menjelaskan tenor pinjaman yang dijalaninya berlangsung tiga bulan, tetapi struktur pembayarannya tidak merata.

"Jadi tenor bulan pertama itu 15 hari setelah minjam, bulan ke 2 itu tepat 1 bulan setelahnya, bulan ke 3 itu 45 hari setelah pembayaran bulan ke 2," ungkap Robby.

Menurutnya, ketentuan pembayaran di awal membuat posisi peminjam terjepit. Ia juga menyebut tak ada ketentuan yang dijelaskan secara tertulis soal skema 70 persen di awal saat prapengajuan.

"Ya mau enggak mau udah kepinjam jadinya terima nasib. Soalnya di pengajuan enggak ada tuh tulisannya di perjanjian 15 hari pertama udah harus bayar 70 persen bunganya," cerita Robby.

“Yang kita tahu kalau pinjam Rp 1 juta. Balikinnya Rp 1.260.000 sampai Rp 1.330.000. Eh ternyata 15 hari pertama sudah harus bayar Rp 890.000 sampai Rp 920.000,” tambahnya.

Robby mengungkapkan pada beberapa aplikasi ketentuan dijelaskan tertulis saat prapengajuan, namun pada aplikasi lain baru muncul setelah pinjaman cair.

Robby mengaku telah melapor ke layanan pelanggan aplikasi terkait. Hanya saja, respons yang diterima justru mengecewakan.

"Iya pernah (lapor ke call center), malah dikatain gaptek, padahal sebelum minjam emang enggak ada tulisan apa-apa. Setelah meminjam baru ada tulisan kayak gitu," tutur Robby.

Kondisi serupa juga dialami Hayati yang karena kebutuhan mendesak harus meminjam dana di pindar. Perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di Bogor itu mengingat pada 2024 pernah meminjam uang Rp 2 juta untuk kebutuhan usahanya.

Jangka waktu pembayaran cicilan dari pinjaman Hayati selama 3 bulan. Namun, ia baru sadar kalau cicilan yang dibayarkan diawal ternyata lebih dari Rp 1 juta.

“Enggak ngeh (tahu) pas pembayaran bulan pertama. Minjem Rp 2 juta, pas bulan 1 di atas Rp 1 juta nyicilnya. Ibu waktu itu enggak sadar, pas keluar dokumen ibu langsung kebawahin (scroll) filenya terus tanda tangan, enggak baca lagi,” ungkap Hayati saat dihubungi.

Hayati tidak tahu kalau sistem itu identik dengan tadpole. Ia juga tidak sampai bertanya langsung ke customer service (CS) dari platform pindar yang digunakannya.

Dalam praktiknya, karakteristik konsumen pindar cenderung tidak memiliki banyak alternatif sumber pembiayaan, namun berpotensi besar terjebak dalam skema tadpole. Kebanyakan konsumen terpaksa meminjam dari platform lain, bahkan ke pinjol ilegal, dan pada akhirnya terjebak dalam jebakan utang.

Menurut informasi, skema tadpole sempat dilarang OJK September tahun ini. Namun, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menekankan pihaknya telah membatasi praktik skema pembayaran tadpole yang dilakukan oleh pindar. Ia mengatakan langkah itu menjadi upaya untuk melindungi konsumen.

Agusman menjelaskan skema tadpole hanya dapat dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku, memenuhi aspek transparansi yaitu menyampaikan informasi secara lengkap kepada Penerima Dana dan Pemberi Dana untuk memastikan para pihak telah memahami dan menyepakati skema pembayaran angsuran dengan jumlah yang besar pada periode awal atau front-loaded installments, dan memenuhi kualitas pendanaan TWP90 kurang dari 5 persen.

“OJK telah menerapkan langkah mitigasi dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi serta mewajibkan penyelenggara pindar melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan repayment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan Penerima Dana di penyelenggara lain. Pengaturan tersebut diharapkan dapat mendorong praktik usaha pindar yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan pelindungan konsumen,” ujar Agusman melalui keterangan tertulisnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jimly Sebut Polri Tak Bakal Lantik Pejabat di Luar Struktur Usai Penerbitan Perpol
• 8 jam laluokezone.com
thumb
Registrasi SIM Card Pakai Wajah di RI Mulai 1 Januari 2026, Wajib per 1 Juli
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
PA Bekasi Benarkan Arman Wosi Resmi Cabut Gugatan Cerai Terhadap Della Puspita
• 18 jam lalugrid.id
thumb
Jawab Tantangan Iklim, BRIN Dorong Sistem Minapadi dan Akuaponik
• 21 jam lalukatadata.co.id
thumb
3 Makanan Bisa Memicu Peradangan, Jangan Abaikan
• 15 jam lalugenpi.co
Berhasil disimpan.