Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan pada 2026, sejumlah saham yang sensitif terhadap tingkat suku bunga diprediksi berpeluang moncer. Namun, potensi lagging dari aksi itu turut menghantui emiten terkait.
Adapun Bank Indonesia telah memangkas suku bunga sebesar 125 bps sepanjang 2025. Namun, sektor yang sensitif terhadap suku bunga justru belum menampilkan kinerja yang apik dalam merespons posisi suku bunga terendah sejak 2022 ini.
Dari sektor perbankan, saham BBRI terkoreksi 7,35%, BMRI terkoreksi 9,65%, hingga BBCA terkoreksi 15,50%. Hanya BBNI yang masih mencatatkan pertumbuhan tipis 0,69% YtD.
Begitu juga dengan sejumlah saham properti besar, seperti PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. (PANI) yang terkoreksi 16,48%, PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA) terkoreksi 21,22%, PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON) turun 13,07% YtD.
Kendati begitu, Economist and Strategist Sinarmas Sekuritas Isfhan Helmy menilai peluang rebound saham-saham yang sensitif terhadap suku bunga pada tahun mendatang cukup besar. Namun, efeknya dinilai baru akan terasa pada paruh kedua 2026.
“Jadi kami melihat dampak secara menyeluruh mungkin baru akan terasa di semester 2 tahun depan,” katanya dalam 2026 Outlook Sinarmas Sekuritas, Kamis (18/12/2025).
Pasalnya, penurunan suku bunga acuan sebesar 125 bps tidak diikuti dengan menurunnya suku bunga kredit secara signifikan. BI mencatat penurunan suku bunga kredit hanya sebesar 24 bps sejak awal tahun hingga November 2025.
Hal itu yang selama menjadi salah satu kontributor lesunya kinerja saham rate sensitive. Dia memprediksi, pemangkasan suku bunga lanjutan pada paruh kedua 2026 baru akan diikuti dengan gerak menguatnya saham-saham rate sensitive.
“Karena suku bunga kredit itu masih cukup tinggi saat ini, jadi kami melihat mungkin sektor properti, kalaupun jalan, itu lebih banyak di paruh kedua. Jadi potensi untuk rate sensitive stock itu baru akan jalan di paruh kedua 2026,” katanya.
Senada, Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia turut menyoroti peluang menguatnya saham-saham perbankan besar pada tahun mendatang. Menurutnya, lesunya kinerja saham perbankan belakangan lantaran upaya menyalurkan kredit yang kian sulit.
Di satu sisi, emiten perbankan besar mendapatkan kucuran likuiditas yang tinggi oleh pemerintah. Namun, lesunya permintaan kredit justru membebani perbankan karena kesulitan menyalurkan uangnya.
“Walaupun likuiditas sudah banyak dikucurkan, tapi apakah akan terserap? Apakah akan menekan NII dan malah memperbesar NPL?” kata Liza saat ditemui di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Dengan posisi yang tertekan, saham perbankan dinilai tidak mampu memberikan daya tarik terhadap investor asing. Liza menilai saham-saham blue chip ini masih layak dibeli untuk trading.
Dengan begitu, Liza menilai IHSG pada 2026 akan cenderung digerakkan oleh emiten-emiten yang mampu menampilkan rencana kerja yang jelas atau emiten yang mendapatkan investor anyar.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.



