Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor pendek atau di bawah satu tahun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Suminto, mengungkapkan bahwa instrumen yang akan diperbanyak yaitu Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan SPN Syariah (SPNS).
Langkah ini diambil untuk tujuan pengembangan pasar uang, pendalaman pasar obligasi, serta membangun manajemen kas yang lebih efisien.
"Tahun 2026 kami akan meningkatkan penerbitan SPN dan SPNS dengan tenor di bawah 1 tahun," ujar Suminto dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis (18/12).
Suminto menjelaskan, strategi penerbitan SPN dengan tenor pendek sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak tahun ini. Adapun variasi tenor yang disediakan pemerintah cukup beragam, mulai dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, hingga 12 bulan.
Realisasi Utang
Sementara itu, terkait kinerja tahun berjalan, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara melaporkan bahwa penarikan utang baru hingga 30 November 2025 tercatat sebesar Rp 614,9 triliun.
Angka ini setara dengan 84 persen dari total outlook pembiayaan utang APBN 2025 yang dipatok Rp 731,5 triliun.
Suahasil menegaskan capaian tersebut masih on track untuk menutup defisit anggaran yang saat ini berada di level 2,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Pembiayaan utang telah direalisasikan Rp 614,9 triliun. Namun APBN sesuai dengan laporan semester di DPR kemarin kita perkirakan defisitnya 2,78 persen dari PDB. Jadi defisit saat ini 2,35 persen dari PDB itu on track,” jelas Suahasil.
Untuk menjaga agar penerbitan utang (SBN) tidak membengkak di akhir tahun, pemerintah mengoptimalkan pembiayaan non-utang. Salah satunya dengan menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun yang telah disetujui DPR.
“Pemerintah telah mendapatkan persetujuan penggunaan SAL Rp 85,6 triliun untuk membantu pengurangan penerbitan SBN kita,” tambahnya.
Kelola Utang Jatuh Tempo
Selain strategi tenor pendek dan penggunaan SAL, pemerintah juga terus bersinergi dengan Bank Indonesia (BI) untuk mengelola utang warisan pandemi COVID-19 yang jatuh tempo pada periode 2025-2028. Langkah ini dilakukan melalui skema penukaran utang atau debt switch.
"Pemerintah terus bersinergi secara solid dengan Bank Indonesia untuk menangani debt switch untuk pembiayaan SBN yang ketika itu kita terbitkan saat COVID yang telah jatuh tempo," kata Suahasil.
Strategi ini, lanjut Suahasil, bertujuan menekan risiko pembiayaan ulang (refinancing risk) sekaligus menjaga beban bunga tetap efisien. Kepercayaan investor terhadap pengelolaan utang RI juga terlihat positif, tercermin dari inflow asing ke pasar SBN sebesar Rp 2,64 triliun pada Desember ini.



