Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencemaskan dampak dari pengesahan aturan kenaikan upah minimum 2026 yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan aturan tersebut berpotensi memengaruhi pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas atau manufaktur, utamanya berisiko pada biaya produksi, iklim investasi, dan dinamika penyerapan tenaga kerja.
“Sebagai kontributor utama PDB industri dan ekspor manufaktur, sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan pengupahan,” kata Saleh dalam keterangan tertulis, Kamis (18/12/2025).
Adapun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan sebagai dasar penetapan Upah Minimum Tahun 2026 menetapkan formula kenaikan upah minimum adalah inflasi + (pertumbuhan ekonomi × alfa) dengan rentang alfa 0,5–0,9.
Menurut Saleh, peningkatan upah minimum melalui perluasan rentang indeks penyesuaian maupun pengenalan upah minimum sektoral cenderung menaikkan biaya tenaga kerja secara struktural.
Dalam jangka pendek hingga menengah, kenaikan biaya ini berisiko menekan laju pertumbuhan output industri nonmigas, khususnya pada subsektor padat karya.
Baca Juga
- Apindo: Keterlambatan PP Pengupahan Rugikan Dunia Usaha di Batam
- Formula UMP 2026 Resmi Diumumkan, Buruh KSPN Soroti Disparitas Upah
- Aturan Formula Upah Minimum 2026 Diteken, Riau Tetapkan Sebelum 24 Desember
Saleh menilai perusahaan industri akan makin waspada dalam melakukan ekspansi kapasitas dan perekrutan tenaga kerja baru. Kondisi ini juga memicu strategi penyesuaian yang umumnya berfokus pada efisiensi, otomasi terbatas, atau rasionalisasi tenaga kerja, yang dapat membatasi kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dari sisi investasi, ketidakpastian akibat perubahan kebijakan pengupahan yang relatif sering berpotensi menahan realisasi investasi baru di industri pengolahan nonmigas,” jelasnya.
Pihaknya memperkirakan sikap investor pun akan cenderung menunda atau mengalihkan investasi ke sektor atau wilayah dengan struktur biaya yang lebih stabil, sehingga laju pembentukan modal tetap (PMTB) di sektor manufaktur dapat melambat.
Alhasil, dengan situasi tersebut akan terjadi penurunan pertumbuhan jangka menengah industri nonmigas, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi teknologi.
Di sisi lain, Saleh juga menyoroti kebijakan pengupahan terbaru ini yang berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan melalui peningkatan daya beli pekerja industri.
Meski demikian, dia melihat terdapat efek positif terhadap permintaan domestik yang cenderung naik bertahap dan tidak langsung, sementara dampak kenaikan biaya produksi bersifat lebih cepat dan langsung dirasakan oleh pelaku industri.
“Akibatnya, dalam jangka pendek, efek bersih terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas berpotensi moderat hingga cenderung menahan laju pertumbuhan, terutama pada subsektor yang berorientasi ekspor dan menghadapi persaingan global ketat,” tuturnya.
Secara keseluruhan, Kadin menilai PP 49/2025 berpotensi menimbulkan trade-off antara perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
Dalam hal ini, menurut Saleh, tanpa kebijakan pendukung yang kuat, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja, insentif investasi industri, dan penguatan rantai pasok domestik, pertumbuhan sektor industri nonmigas ke depan berisiko bergerak lebih lambat dibandingkan potensinya.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5442550/original/068265100_1765543015-20251212BL_Timnas_Indonesia_U-22_Vs_Myanmar_SEA_Games_2025-42.jpg)

